“Apa-apaan ini!” bentak guru killer kepada semua orang di kelas itu.
Amaya duduk di tempatnya dengan tatapan puas.
Semua suara yang tadinya berisik seperti keriuhan pesta lantas berubah senyap. Keseruan pesta itu lenyap seketika.
Baik Rere dan geng maupun semua murid lain melangkah mundur dan menundukkan kepala ketakutan.
“Siapa yang berbuat ulah di sini?” tanya guru killer dengan nada tegas.
Tak ada yang berani menjawab. Semua orang seolah telah kehilangan nyali mereka.
Perlahan, jari Rere menunjuk ke arah Syifa yang masih berkutat dengan tumpukan tepung dan telur di sekujur tubuhnya.
“Dia yang memulai, Bu,” adunya.
Guru itu menatap sosok Syifa yang sudah menyerupai kue tart itu.
“Syifa, apa benar itu?”
Syifa duduk gemetar di bangkunya. Bukan karena ketakutan, melainkan karena rasa marah yang menggelegak di dadanya.
“Itu benar, Bu. Dia memang sedang ulang tahun hari ini. Dia ingin kami merayakannya di sini,” sahut Clara yang berkata dengan begitu percaya diri.
“Itu benar,” sahut Tania juga.
Lekas saja semua orang mengiyakan ucapan itu. Guru killer menggebrak meja terdekat untuk menenangkan mereka semua.
“Jadi, begitu? Syifa, kamu yang bikin ulah di kelas ini? Sekarang juga, kamu bertanggung jawab untuk membersihkannya. Kamu tidak boleh ikut jam pelajaran dan tidak boleh pulang kalau kelas ini tidak bersih kembali. Mengerti kamu?!” gertak guru itu dengan nada keras.
Syifa hanya menunduk di sana, tak menjawab. Guru killer itu sudah pergi, meninggalkan ruangan itu dalam langkah-langkah panjang yang menyiratkan kepuasannya telah mengambil tindakan atas kejadian itu. Meski dia sama sekali tak peduli apakah ucapan Clara itu benar.
Bagi sekolah, putri para donatur Yayasan lebih penting dari pada hanya seorang murid beasiswa biasa seperti dirinya. Wajar saja jika sang guru langsung menindak tegas Syifa dan memberinya hukuman, alih-alih para pembully itu!
Gadis-gadis kurang ajar itu tersenyum lebar dan tertawa riang, merasa puas di atas penderitaan Syifa.
“Mampus lo, cupu!” ucap Clara.
“Ini hadiah ulang tahun lo dari kami,” tambah Rere.
“Selamat menikmati!” ucap Tania sembari melemparkan sebutir telur lagi.
Kali ini lemparannya sedikit meleset dan mengenai Amaya yang duduk di belakangnya. Sedikit kuning telur menciprat ke rambutnya yang panjang. Gadis itu dapat mencium bau amis yang memuakkan.
Segera setelah semua orang keluar ruangan termasuk Rere dan geng, Syifa mengeluarkan suara isakan pelan. Dia menangis di balik penampilannya yang tak karuan itu.
Dengan kesal dan setengah mati menahan emosi, dia meraih sapu untuk membersihkan kekacauan itu. Bau amis telur-telur mentah itu menusuk hidung, membuatnya merasa mual.
Amaya memegang rambutnya yang basah karena terkena cipratan telur. Dia menatap sinis ke arah pintu yang terbentang lebar.
“Aku akan membalas mereka!” ucapnya kepada Syifa, seakan mewakili gadis itu.
Syifa mengusap wajahnya dari telur dan tepung, lantas mengerjap untuk menatap Amaya dengan lebih jelas. Apakah dia hanya membayangkan saja ataukah Amaya baru saja berbicara?
Sulit untuk mengetahui, sebab Amaya selalu duduk dengan rambut yang menjuntai panjang di depan wajahnya, menutupi ekspresi gadis itu yang sesungguhnya.
“Apa kamu bilang?”
“Aku akan balas mereka!” ulang Amaya dengan lebih tenang.
“Kamu akan balas mereka untuk apa? Apa karena mereka mengerjai aku?”
Amaya diam tak menjawab.
“Kamu mau membalas mereka dengan cara bagaimana memangnya? Kamu akan menampar mereka, atau mencakar wajah Rere dan membuatnya masuk rumah sakit lagi? Atau melemparkan tubuh mereka ke dinding?”
Syifa berjongkok di lantai, menghentikan kegiatannya sekejap. Dia mendongak menatap sosok Amaya yang anehnya terasa begitu asing.
“Apa yang akan kamu lakukan?” pancing Syifa ingin tahu.
“Apapun. Membalas mereka. Itu yang penting,” jawabnya.
Syifa mencebik kesal. “Jangan mengada-ada! Kamu nggak bisa membalas perbuatan mereka. Nggak bisa!”
Amaya menatap Syifa dengan sorot mata yang aneh.
“Kenapa?”
“Karena mereka memegang kuasa di sini. Posisi mereka jauh di atas kita. Mengerti?”
“Tidak bisa dibiarkan,” gumam Amaya dengan kedua tangan terkepal erat.
Dia bisa mencium bau amis dari tubuh Syifa. Pastinya telur-telur itu melekat erat di tubuhnya, membuatnya akan kesulitan untuk membersihkan diri.
“Kamu mau melakukan apa memangnya?” tanya Syifa selagi bangkit berdiri.
“Melawan mereka. Seperti yang seharusnya kamu lakukan,” ucap Amaya dengan nada menantang.
Syifa menghadap Amaya dengan tatapan yang sinis.
“Kamu nggak paham juga ya, waktu itu, kamu menolak mengerjakan tugas Rere dan melempar buku-buku mereka ke lantai. Itu membuatku berada dalam masalah besar, kamu tahu? Apa kamu tidak berpikir apa akibatnya bagi diriku?”
Amaya diam saja. Dia tak menjawab.
“Ayah Rere membiayai sekolahku, biaya yang tidak sedikit jika dihitung-hitung. Kalau aku sampai melawan, maka itu artinya Rere akan menendang aku keluar dari sekolah ini. Dan aku tidak ingin hal itu terjadi.”
Penjelasan itu tak lantas membuat semangat Amaya padam. Gadis itu juga bangkit berdiri, sejajar dengan Syifa.
“Beasiswa itu kamu dapatkan dengan kerja keras bukan? Bukan berarti kamu harus selalu tunduk pada Rere.”
“Ya!” balas Syifa tegas. “Memang aku mendapatkannya dengan usaha keras. Tapi Ayah Rere adalah kepala Yayasan, donatur sekaligus pemilik beasiswa itu. Jika beasiswaku dicabut, maka aku tidak bisa lagi sekolah di sini.”
“Itu membuatmu mau menjadi bawahan dan pesuruhnya?!” sindir Amaya dengan jelas.
Syifa mengepalkan kedua tangannya. Dia dapat merasakan amarah yang mulai memuncak naik ke kepalanya.
“Jika aku tidak melakukannya, maka aku akan selesai. Ayahku hanya seorang penjahit. Dia bahkan tidak mampu membiayai banyak hal dalam hidup kami. Jadi, apa yang bisa kulakukan?” sahut Syifa dengan nada suara meninggi.
Amaya menatapnya dengan sorot mata tajam, seakan gadis itu ingin menekankan ketidaksetujuannya kepada Syifa.
“Mereka harus dibalas!” ucap Amaya dengan keras kepala.
“Terserah, tapi aku tidak mau ikut-ikutan. Lagipula, untuk apa kamu membalas mereka sementara mereka tidak melakukan sesuatu yang mengganggumu?” ucap Syifa.
Amaya nampak tak senang dengan ucapan itu. Sebab, bagaimanapum juga Amaya masih menganggap Syifa sebagai temannya.
“Ini untukmu juga,” gumam Amaya lirih.
“Jangan bilang begitu. Aku tidak pernah menyuruhmu untuk menyerang siapapun. Ingat, kalau aku mendapatkan masalah gara-gara kamu, aku tidak akan pernah mau bicara denganmu lagi!” ujar Syifa dengan sorot mata tegas yang tak ingin dibantah.
Amaya hendak membalas lagi, namun Syifa sudah keburu pergi keluar kelas. Gadis itu berjalan ke arah toilet dan membersihkan diri di sana sebelum mengambil peralatan pel. Dia harus bekerja keras membersihkan kelas sebelum bel masuk kembali berdering. Di antara rasa letih dan malu, Syifa terisak pelan sendiri. Dia merasa sedih dan kesal di hari yang bahagia ini. Hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas.