Misteri Amaya

1095 Words
“Aku ingin bicara,” kata Syifa dengan nada tegas. Amaya mendongak memandang Syifa dari tempat duduknya. Gadis itu masih tetap menyorot Syifa dengan kedua matanya yang tertutup rambut sebagian. “Apa?” balas gadis itu kemudian. “Ini tentang ucapanmu sebelum kelas dimulai. Aku ingin mengkonfirmasi sesuatu,” ucap Syifa memulai. Amaya diam tak merespon. Tapi Syifa tahu bahwa gadis itu sedang mendengarkannya. Maka Syifa yang sedang berdiri di depan tempat duduk Amaya pun menarik sebuah kursi terdekat. Dia duduk di atas kursi itu dan menatap wajah Amaya dengan tajam. “Coba kamu ulangi lagi, apa yang kamu ucapkan sebelum bel masuk kelas berbunyi tadi?” pinta Syifa. Amaya nampak tidak terlalu peduli. Dia menampilkan ekspresi wajah datar di balik rambut hitamnya yang sebagian menjuntai menutupi wajah. Syifa masih duduk diam, menunggu Amaya membuka mulut untuk bicara. Tapi, selama beberapa saat gadis itu hanya diam. Syifa mulai kesal dengan sikapnya. “Bisa nggak kamu ulangi lagi? Atau aku harus mengulangnya untukmu?” ucap Syifa lagi. Amaya sengaja mengabaikan Syifa. Dia menunduk kembali menekuri bukunya dan kedua tangannya sibuk mencoret-coret sebuah gambar. Syifa mulai merasa tak sabaran. Kelasnya sedang kosong, semua anak keluar ke depan kelas karena jam pelajaran kosong. Entah pergi ke mana guru yang harusnya mengisi jam itu, mendadak beliau tidak hadir tanpa ada keterangan apapun. “Cepatlah, Amaya. Aku ingin mendengar penjelasan darimu,” desak Syifa. “Apa yang kamu ingin tahu?” sahut Amaya dengan nada santai yang biasa. “Kamu bilang sesuatu mengenai pria jahat yang mati mengenaskan itu. Di dekat gang. Apa yang kamu maksud dengan pernyataan itu?” Amaya mengangkat bahunya dengan ringan. “May, jawab pertanyaanku dengan jelas!” tuntut Syifa. Dia merasa harus mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang selama ini terus menghantui dirinya. Dan sebelum jawaban itu dia dapatkan secara gamblang, maka dia tidak akan bisa tenang. “Apa yang harus diperjelas?” ucap Amaya. “Soal pria itu. Bagaimana kamu bisa tahu kejadian mengerikan di dekat gang itu?” desak Syifa dengan nada curiga. “Semua orang tahu,” jawab Amaya secara ringan. “Semua orang?” ulang Syifa heran. “Ya, semua orang. Mereka yang terus membicarakan pembunuhan mengerikan itu.” Penjelasan itu cukup masuk akal. Syifa baru teringat bahwa orang-orang memang ramai membicarakan perihal kejadian itu. Maklum saja, di sebuah desa yang tak terlalu besar, berita semacam ini pastilah menjadi heboh. Tak banyak kejadian yang aneh di tempat tinggalnya, sehingga satu kejadian yang aneh dan mengerikan tentunya menjadi topik hangat dalam berbagai pembicaraan. Tapi, apakah Amaya adalah salah satu di antara sekian banyak orang itu yang mendengarnya atau dia tahu lebih banyak dari yang seharusnya? “Jadi, kamu mendengar kejadian itu dari kabar berita yang beredar? Atau kamu tahu sesuatu?” Amaya tersenyum tipis. Ada kesan misterius yang nampak di wajahnya. Syifa semakin sebal menatapnya lama-lama. “Itu rahasia,” ucap Amaya. “Yang benar saja! Apa jangan-jangan kamu tahu kejadian itu? Mungkin kamu lewat jalan yang sama denganku siang hari itu sewaktu pulang sekolah. Dan kamu melihatnya.” Pemikiran ini mendadak saja muncul di benak Syifa. Tadinya dia juga sama sekali tak punya pikiran semacam ini. Tapi tiba-tiba saja, dia membayangkan Amaya menyaksikan kejadian itu dari kejauhan. Dia mungkin telah menjadi saksi akan apa yang dialami Syifa. Mengingat arah rumah mereka yang sejalan, itu bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi. Amaya hanya duduk membalas tatapannya dengan hampa. “Apa benar yang aku ucapkan?” pancing Syifa. “Itu tidak penting,” sahut Amaya cuek. Tapi bagi Syifa hal ini penting. Dia ingin tahu siapa yang menolong dirinya. Dia ingin tahu siapa sebenarnya sosok misterius itu, yang tega membunuh seorang pria jahat dengan begitu kejamnya. “Aku—“ Kringgggg! Belum juga selesai ucapan Syifa, bel pergantian jam pelajaran sudah berbunyi. Yang menandakan bahwa sebentar lagi guru lain akan masuk kelas dan mengajar pelajaran. Anak-anak berbondong masuk ke dalam kelas kembali. Syifa tak bisa melanjutkan bicaranya dengan Amaya. Jika tidak, maka anak-anak pasti akan menatap mereka dengan curiga. “Hei, ngapain lo bawa bangku gue ke situ? Sini kembaliin!” ucap salah seorang siswa padanya. Syifa bangkit dan menyerahkan kembali bangku itu ke tempatnya semula. Syifa terpaksa harus menelan kembali ucapannya yang terhenti. Dia tak melanjutkan ucapannya dan bergegas kembali ke tempat duduknya sendiri. Pemikiran tentang Amaya masih memenuhi benaknya. Jika Amaya memang menyaksikan kejadian itu, maka tentunya dia juga melihat siapa yang menolong dirinya. Artinya, Amaya tahu siapa penolong misterius itu. Syifa dapat merasakan jantungnya berdebar-debar kencang menyadari kenyataan ini. Dia akan mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya selama ini. Jika dia menanyakan hal ini padanya nanti, maka rasa ingin tahunya akan terpuaskan. Syifa menoleh ke arah belakang, ke arah tempat duduk Amaya. Gadis itu menekuri bukunya dan kelihatan sedang sibuk menggambar seperti biasanya. Syifa sudah tak sabar lagi ingin segera pulang agar dirinya bisa bertemu dan berbicara lagi dengan Amaya. Namun harapannya rupanya tidak terkabul. Sewaktu bel berdering siang itu, Amaya sudah berjalan keluar kelas secepat kilat. Ketika Syifa menoleh ke arah tempat duduknya, gadis itu sudah tidak ada. Penyesalan dan rasa kesal memenuhi d**a Syifa. Dia tak dapat menahan rasa penasarannya lebih lama lagi. Dia harus segera mengetahui jawaban dari pertanyaan yang selama ini mengusiknya. Apakah Amaya melihat kejadian itu dengan jelas dan mengetahui identitas si penolongnya? “Syifa, ayo aku antar pulang,” ucap Reza yang tahu-tahu saja sudah berada di dekatnya. Syifa tersentak dari lamunannya. Dia menatap cowok itu dengan kebingungan. “Nggak usah, Za. Aku bisa pulang sendiri,” tolaknya. “Kenapa? Aku toh ingin sekalian menemani kamu. Sudah beberapa waktu ini kamu seperti menghindar dariku.” Ucapan itu memang betul. Syifa ingin menjauh darinya. Lagipula untuk apa Reza terus mengejar Syifa? Seperti tak ada kerjaan lain saja. “Aku buru-buru ini,” kilah Syifa menolak secara halus. “Aku mau mengikuti Amaya.” “Amaya?” ulang Reza dengan kening berkerut heran. “Ada apa dengannya? Apa kalian bertengkar lagi?” “Nggak, aku hanya perlu bicara sebentar dengannya.” “Aku antar saja ke rumahnya kalau gitu,” tawar Reza. Syifa menatapnya tak percaya. “Kau tahu rumah Amaya?” “Lho, aku tidak tahu. Justru seharusnya kan kamu yang tahu. Kan kamu yang temenan sama dia selama ini. Pastinya juga kamu tahu di mana rumahnya dong?” Syifa mendengus sebal. “Tidak, aku tidak tahu.” “Aneh, kok bisa sesama teman tidak tahu rumahnya.” Komentar itu tidak membuat Syifa terhibur. Dia malah semakin sebal saja kepada Reza. Dan dia terus menolak tawaran Reza untuk pulang bareng, sampai akhirnya Reza menyerah dengan sendirinya. Syifa dibiarkannya pulang sendirian berjalan kaki sembari menekuri lamunannya seorang diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD