BRAAKKK!
Suara nyaring itu membuat kedua pria jahat saling pandang dengan heran. Mereka tidak berucap, tapi Syifa tahu dari raut wajah mereka bahwa mereka juga bingung.
Salah satunya akhirnya mengedikkan dagu memberi pertanda agar rekannya mengecek ke luar. Dengan sebuah decakan kesal, pria yang kedua akhirnya bangkit berdiri dan pergi ke luar ruangan. Sementara pria pertama masih mengeluarkan seringai mengerikan di wajahnya, berlutut di depan Syifa sembari menarik seragam gadis itu.
Syifa berteriak-teriak berusaha mempertahankan baju serta kehormatan dirinya.
“Ayolah, Anak Manis. Abang nggak akan kasar kok. Sini, abang ajarin sesuatu ....”
Syifa menangis pilu, merasakan kedua matanya mulai pedih. Dia mencengkeram seragamnya dengan erat, takut jika dia diapa-apakan.
Ayah, tolong! Jeritnya dalam hati. Namun itu mustahil untuk didengar. Bahkan jika sang ayah mendengarnya pun, Syifa tak yakin apakah pria itu akan mampu melindungi dirinya, mengingat kondisi sang ayah. Tetapi, setidaknya kehadiran sang ayah akan memberikannya keberanian. Dia sungguh berharap ayahnya akan datang menolong, entah dengan cara bagaimana.
“Ke mana sih si Jek? Disuruh ngecek keadaan aja lama banget,” gerutu pria itu dengan kesal. Tetapi sedetik kemudian dia sudah berdiri dan memegang ikat pinggang celananya dengan kuat.
“Ya sudahlah, kalau dia nggak mau ikutan bergabung nggak apa-apa. Biar gue nikmatin aja dia sendirian.”
Ucapan itu membuat isak tangis Syifa makin menjadi. Dia mencoba mundur lagi meski tahu bahwa tubuhnya sudah mentok. Seandainya ada keajaiban yang bisa membuatnya menembus tembok saat ini, dia akan menukarkan apa saja dengan kesempatan itu.
BRAKKK!
Kembali suara mengejutkan itu terdengar. Asalnya dari luar bangunan itu. Pria itu mengernyit heran, mendengarkan dengan seksama.
“Jek, ada apaan di situ?” teriaknya mencoba mengontak rekannya.
Namun tak ada jawaban yang terdengar. Pria itu bimbang, menatap Syifa sejenak dan pintu bergantian. Ketika suara gedebuk keras terdengar lagi, pria itu akhirnya berbalik badan dan berniat keluar untuk mengeceknya sendiri. Namun belum sempat dia keluar, terdengar suara rintihan lemah tak jauh dari ruangan.
Samar-samar Syifa dapat melihat sosok kepala menyembul di pintu yang terbuka lebar. Sebuah tangan terentang menggapai-gapai.
“Arrghhhhh,” ucap pria pertama yang keluar tadi. Dia nampak terbaring dalam posisi yang aneh.
Si pria kedua mendelik menatapnya, tubuhnya menegang kaget.
“Jek? Ada apa, Jek? Kau kenapa?!” Dia bertanya dengan nada panik.
Pria pertama tak menjawab. Dia masih merintih kesakitan, seolah dirinya sedang terluka. Yang mengherankan, raut muka pria itu memang menampakkan demikian. Tak lama kemudian, tubuh pria itu kejang-kejang tak jelas dan mulutnya menyemburkan darah merah segar ke lantai.
Syifa beringsut mundur lagi, meski punggungnya menabrak dinding dengan keras. Gadis itu terlalu takut dan ngeri mengawasi kejadian itu. Si pria kedua membungkuk di atas tubuh pria pertama dan menatapnya dengan keheranan.
“Jek? Jek? Kau mendengar aku? Jek, apa yang terjadi?” ucapnya panik.
Dia menggoyang-goyangkan tubuh rekannya yang tidak lagi bergerak. Syifa menjerit ngeri melihat kedua mata pria pertama yang melotot mengerikan.
“Jek? Astaga ....”
Pria kedua bangkit berdiri, celingukan menatap ke sekitarnya dengan panik.
“Woi!” teriaknya lantang dalam suara yang berat. “Ada orang di situ?”
Syifa berhenti menangis. Gadis itu mendengarkan dalam diam, menanti dengan degup jantung berdetak kencang. Kenapa pria itu bertanya? Apakah benar ada orang yang datang?
“Hei, siapa di sana?” teriak pria itu lagi, mulai mengusap keringat di wajahnya.
“Keluar sini kalau berani!” tantangnya.
Syifa merasakan jantungnya seakan ingin melompat keluar. Siapa yang datang? Siapa yang telah menolong dirinya kali ini?
Rasa penasaran dan ingin tahu itu tidak kunjung mendapatkan jawaban. Syifa merasa dirinya masih terjebak dan belum sepenuhnya lega sebelum dirinya benar-benar bisa pulang dengan selamat.
GUBRAKK!
Terdengar sebuah suara nyaring kembali, seperti sesuatu yang dirobohkan.
“Sialan! Siapa sih itu?” umpat si pria dengan kesal.
Pria itu mengepalkan kedua tangannya membentuk tinju, siap menghadapi siapapun yang berada di luar sana. Syifa berdebar, takut dan ngeri menjadi satu. Apa yang akan terjadi kalau sampai entah siapapun di luar menghadapi pria berbadan kekar ini.
Syifa hanya berharap agar dirinya bisa keluar selagi keduanya bertengkar. Mungkin, kesempatan itu harus diraihnya secara diam-diam. Maka dia mempersiapkan diri. Tasnya yang tergeletak tak jauh segera dia raih, dia genggam dan tak ingin dia lepaskan.
“Woi! Siapa itu?!” ucap si pria sembari melangkah maju. Dia berhenti mendadak dan menoleh kepada Syifa, yang masih meringkuk ketakutan.
“Lo di sini aja, jangan berani ke mana-mana. Awas aja kalau lo kabur. Gue bunuh lo!” ancamnya dengan berang.
Syifa hanya menatapnya tanpa berkedip. Dia tak mau mengiyakan maupun menolak ucapan pria itu.
Ketika langkah si pria terus menghilang di luar ruangan, Syifa bergegas bangkit berdiri. Dia membenahi seragamnya yang terbuka dan kacau dengan cepat. Lalu, dia mengendap-endap di belakangnya untuk mengintip. Ketika dia tiba di koridor luas yang kosong, Syifa lekas berjalan dengan cepat dan mencoba mencari jalan keluar lain. Dia harus kabur dari tempat ini sesegera mungkin.
Dia berhenti di depan jasad pria kedua yang terbujur kaku di depan pintu. Syifa bergetar karena rasa ngeri, menatap sepasang mata kosong yang tak lagi hidup. Darah merah mengalir di lantai di dekat mulutnya. Syifa terpaksa harus melangkahi pria itu, berusaha agar sepatunya tidak terkena bercak darah.
Syifa berlari ke arah yang berlawanan dengan si pria tadi. Dia berlari mencari jalan keluar dan berhasil mencapai luar bangunan lewat jalan samping, yang ternyata tembus ke lapangan kosong yang luas.
Syifa menoleh ke belakang, waspada jika pria itu membuntuti. Namun rupanya tidak. Gadis itu tidak memelankan laju larinya hingga akhirnya dia bisa berlari kembali di jalanan. Tak nampak adanya tanda-tanda si pria maupun siapapun orang yang telah melawannya. Syifa terus berlari, hingga pemandangan bangunan b****k itu lenyap dari matanya.
Dia terus berlari, berlari dan berlari semakin kencang. Namun kali ini, dia bertemu salah seorang warga tak jauh dari pemukiman desa. Seorang pria bersarung yang sedang membakar sampah di salah satu parit yang kosong, melihat Syifa berlarian dengan raut muka aneh. Dia mencegat gadis itu dan menanyainya.
Syifa berhenti dengan sekujur tubuh gemetaran dan lemas.
“Ada apa, Syifa? Kenapa kamu lari-larian seperti dikejar setan?” tanya pria itu heran.
“I-ituu ... Di sana!” tunjuk Syifa ke arah datangnya tadi. Jemarinya masih gemetar.
Pria itu melongok ke arah yang dimaksud, masih belum mengerti.
“Ada apa di sana memangnya?”
“S-saya d-di se-serang,” ucap Syifa terbata-bata.
Pria itu langsung berubah tegang. Dia menatap Syifa dengan raut wajah serius.
“Diserang? Di mana?”
Syifa mengungkapkan kejadian itu secara ringkas dan berantakan. Pria itu sudah pasti bingung, tapi dia lekas memanggil beberapa orang warga lainnya dan mengajak mereka untuk bersama-sama ke arah yang dituju.
Sementara itu warga wanita menangani Syifa yang masih shock. Mereka membawa Syifa ke rumah salah seorang warga dan menenangkan dia.
Gadis itu masih pucat dan gemetar hebat. Benaknya tak bisa mengenyahkan gambaran mengerikan tadi. Dengan jantung berdetak kencang, dia berharap pria tadi telah dilumpuhkan.