Mimpi Buruk 2

1093 Words
Syifa membeku di tempatnya berdiri, masih menguping pembicaraan ayahnya dengan tamu wanita di ruang tamu. “Ah, itu pasti kebetulan saja, Bu. Ada yang lewat setelah kejadian itu,” ucap sang ayah dengan tenang, tak merasa terpengaruh oleh ucapan si wanita. “Tapi aneh loh, Pak. Anak itu berlari ketakutan dan nampaknya waktu itu cukup dekat dengan waktu kejadian. Jadi, mungkin saja anak itu ada hubungannya,” sergah si wanita dengan nada ngotot. “Hmm, mungkin saja,” sahut sang ayah yang terus bekerja. Suara mesin jahit menyembunyikan degup jantung Syifa yang berdetak dua kali lebih kencang. Gadis itu berdiri gugup, menantikan obrolan selanjutnya. “Si korban sendiri identitasnya sudah ditemukan?” “Sudah,” jawab si ibu. “Dia pemuda pengangguran yang biasanya suka memerkosa gadis-gadis. Dia anak deza sebelah, yang baru keluar dari penjara beberapa bulan lalu.” “Sepertinya dia bukan orang baik-baik. Apa yang dia lakukan di tempat seperti itu?” sahut sang ayah. “Entahlah, saya juga nggak tahu,” ucap si ibu seraya mengedikkan bahu. “Mungkin saja dia memang datang ke jalan itu karena sepi dan berniat untuk melakukan aksinya.” “Wah, kalau begitu, siapapun yang telah membunuh dia, bukan membunuh tanpa alasan?” Syifa dapat melirik ekspresi wajah tamu wanita ayahnya. Dia nampak berpikir dalam. “Betul juga. Mungkin pelakunya adalah si calon korban yang akan dia serang. Lalu korban melawan dan membunuh pemuda itu. Tapi, ada yang janggal dalam kematiannya, Pak.” “Janggal?” suara ayah Syifa terdengar heran. “Apa yang janggal?” “Dia ditemukan dalam posisi telentang dengan tangan dan kaki yang terpelintir ke arah yang berlainan. Itu aneh bukan? Dan juga kondisi kepalanya pecah dan berdarah-darah. Sepertinya dia dipukul menggunakan benda tumpul sedemikian kerasnya hingga terluka begitu parah.” “Kalau begitu, dia pasti sudah mati dengan satu pukulan keras itu. Kenapa harus memelintir tangan dan kakinya juga?” sahut sang ayah yang kini perhatiannya teralihkan sepenuhnya. “Itu dia, Pak. Aneh bukan? Siapa juga yang bisa memelintir kaki orang sampai seperti itu? Kalau Bapak melihatnya sendiri, duh, ngeri sekali!” “Ckckck, sepertinya tak terbayangkan posisi kematiannya yang begitu tragis.” “Saya sendiri tak habis pikir, kok bisa ya dia mati dengan cara mengenaskan begitu. Pelakunya pasti seseorang yang sangat kuat dan berani.” “Saya harap, pelakunya bukan orang jahat juga. Kalau sampai orang semacam itu berkerliaran di sskitar desa kita, bisa tidak tenang saya!” “Betul, Pak. Semoga saja dia cepat ditemukan.” “Ini, pakaiannya sudah selesai Bu,” ucap ayah Syifa. Hal itu pun memgakhiri obrolan seru di antara mereka. Syifa menunggu hingga si wanita benar-benar sudah pergi baru keluar ke ruang tamu. “Ayah?” ucapnya dengan nada pelan. Sang ayah yang terduduk di kursi roda nampak termenung di ambang pintu, menatap kepergian wanita tadi. “Eh, ya, Syifa?” sahut ayahnya dengan raut wajah bingung. “Tadi ayah ngomongin soal apa sama wanita itu?” tanya Syifa berpura-pura tidak tahu. Gadis itu duduk di sofa dekat mesin jahit sembari menatap ekspresi wajah ayahnya. “Itu, ada kasus pembunuhan. Korbannya seorang pria muda. Terjadinya di jalan sepi, tempat yang biasa kamu lalui.” “Oh,” sahut Syifa. “Sepertinya mengerikan. Sampai-sampai para warga menggosip seperti itu. Ayah jadi ngeri sendiri dibuatnya. Ayah cemas memikirkan kamu,” ucap sang ayah sembari menatap putrinya dengan seksama. “Kenapa cemas?” sahut Syifa memasang mimik wajah yang biasa saja. “Jalanan itu kan, kamu lewati setiap hari, pulang pergi ke sekolah. Jadi ayah khawatir sama kamu. Kalau sampai kamu diapa-apakan orang gimana?” Syifa memaksakan seulas senyum di wajahnya. “Itu nggak mungkin terjadi, Ayah. Syifa bisa menjaga diri.” “Tapi, Nak ....” Seolah baru teringat sesuatu, sang ayah menatap wajah Syifa dengan keheranan. “Ngomong-ngomong, tadi sepulang sekolah kamu berlari-lari dan nampak pucat. Apa kamu melihat kejadian itu?” Mendadak jantung Syifa seakan berhenti berdetak. Dia teringat kembali mayat pria jahat yang sudah mati itu. Tubuhnya yang terpelintir, matanya yang tinggal warna putih saja dan darah yang mengucur ke mana-mana. Dia bergidik ngeri. “Ayah ngomong apa sih? Tadi Syifa hanya buru-buru karena kebelet pipis. Jadi, lari-lari untuk cepat sampai ke rumah,” kilahnya dengan lancar. Sang ayah masih menatapnya dengan curiga. Syifa merasakan degup jantungnya semakin kencang. Dia takut apabila sang ayah menemukan kebohongannya. Akankah pria itu akan tahu bahwa kejadian itu berhubungan dengan Syifa? “Oh, gitu. Jadi, sewaktu kamu lewat tadi siang, kamu nggak melihat apa-apa?” selidik ayahnya. Syifa menggelengkan kepalanya kuat-kuat, seakan ingin menyangkal semua tuduhan itu. “Syifa nggak melihat apa-apa,” ucapnya dengan suara sedikit gemetar. “Yah, syukur deh kalau gitu,” ucap sang ayah tanpa terduga. Lelaki itu menghela napas lega. “Ayah pikir kamu menyaksikan tubuh pria itu. Pasti akan mengerikan sekali.” Syifa tersenyum kecut, menyembunyikan kengerian fakta itu sendiri. Dia tak dapat menceritakan kepada ayahnya bahwa dia memang melihat. Dia bahkan berada di sana ketika kejadian aneh itu terjadi. Tapi, dia menolak untuk merasa bertanggung jawab. Bukan dia yang telah melakukan perbuatan itu kepadanya. Bukan dia yang telah membunuh pria asing itu. Dan dia sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jadi, jika polisi ataupun warga sekitar bertanya-tanya, apakah mereka akan mengaitkan keberadaan Syifa di sana dengan kejadian pembunuhan itu? Syifa mengernyit. Dia kini memahami betapa sulit posisi dirinya. Jika dia mengatakan cerita yang sebenarnya kepada seseorang, maka bukan tidak mungkin, polisi akan menjadikan dirinya sebagai terdakwa. Tidak, tidak. Syifa menggeleng kuat-kuat untuk mengusir bayangan itu pergi. Dia tidak bersalah. Dia hanya korban. Dia hanya secara kebetulan berada di tempat yang salah pada waktu yang tepat. Gasis itu membayangkan dirinya diinterogasi oleh polisi perihal kejadian itu. Dia pasti tidak akan bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya dia saksikan. Dia hanya mendengar, tidak melihat secara langsung apa yang terjadi dan menyebabkan pria itu mati. Tapi semua orang pasti akan berpikir dirinyalah yang bersalah. Mereka akan mengira bahwa Syifa-lah pelakunya. Itu benar-benar gila! Gadis itu memeluk diri sendiri ketakutan. Dia duduk di ruang tamu dengan pandangan menerawang jauh, dipenuhi kecemasan yang tidak menentu. “Aku akan berpura-pura tidak tahu,” batin Syifa. Dan sepanjang malam hari itu, dia tidak bisa tidur memikirkan kemungkinan kejadian itu. Dia terus memimpikan tentang pria yang mati itu, dengan sosok-sosok hitam seperti bayangan yang menyerangnya. Syifa berdiri di tempat itu dengan tubuh menggigil kedinginan. Dilihatnya si pria sedang bertarung dengan sosok menyeramkan itu. Suara derakan kepala yang pecah, jeritan kesakitan si pria serta bau anyir darah seolah memenuhi kepalanya. Syifa meringkuk di tempat tidur, menendang-nendang selimut seperti orang gila dan tak hentinya menjerit-jerit ketakutan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD