6. Theo dan Pesonanya

1504 Words
Naina sedang mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja saat Theo yang merupakan atasannya itu menghampiri dengan wajah penuh binar. “Nai,” sapa Theo sembari mendudukkan diri di pinggir meja Naina. Tangan Naina berhenti bergerak lantas menatap Theo dengan pandang serius dan penuh tanya. Ada apa gerangan dengan atasannya itu? Tumben sekali lelaki itu memancarkan aura bahagia di pagi hari. Biasanya juga akan mengomeli karyawan yang datang terlambat meskipun hanya 1 detik. Belum lagi menelisik penampilan sempurna dari setiap orang yang bekerja di perusahaan itu. Perempuan harus rapi, cantik dan tentu saja penampilannya tidak boleh kampungan. Begitu juga dengan karyawan lelaki yang tetap menggunakan jas mau karyawan magang atau pun karyawan tetap. Mau jabatan tinggi atau pun jabatan biasa. Intinya harus rapi dan kelihatan modern. Namun, pagi ini, atasannya itu mengabaikan semua yang terlintas di depan mata. Padahal hari ini Zevanya berpenampilan asal-asalan dan bahkan belum sempat mandi di rumah. Saat Naina bertanya, alasannya karena terlambat bangun, jadi tidak sempat mandi.. Ya, menurut Zevanya lebih baik mandi di kantor daripada kena sembur sepanjang jalan kenangan. Theo itu cerewet dan ya ... disiplin. “Hari ini temanin gue, ya?” pinta Theo pada Naina. Naina mengangguk. “Tentu saja, Pak.” Sebagai bawahan dari Theo, tepatnya sebagai sekretaris pribadi, dia harus tetap siap siaga dan berada di dekat atasannya itu. Menemani ke mana pun selagi itu adalah menyangkut pekerjaan. “Tapi, Pak?” Naina menatap Theo bingung setelah membuka notes tentang jadwal Theo setiap hari. “Tidak ada meeting hari ini diluar. Lalu kita ke mana?” tanya Naina penasaran. Theo tersenyum. “Yang bilang kita meeting siapa? Gue bilang itu ‘temanin gue’, Naina.” Theo menekan dua kata terakhir. Naina mengangguk-anggukkan kepala sembari mengerucutkan bibirnya. “Emang kita ke mana?” Naina terus bertanya lantaran Theo belum juga menjawab pertanyaannya yang itu. Theo gemas melihat Naina yang mengerucut bibir. Ia mengacak rambut Naina dan berkata, “Nyokap gue ulang tahun. Jadi, lo temanin gue beli kado buat dia.” Naina mengernyitkan kening. Ia tidak terlalu tahu soal ibu dari atasannya itu karena hanya sekitar dua atau tiga kali mereka bertemu karena perempuan yang berusia 60 tahun itu tinggal di luar kota. “Kenapa mesti saya, Pak?’’ tanya Naina bingung. Theo kembali tersenyum. “Gue itu gak begitu tahu apa yang perempuan suka. Karena lo perempuan, kenapa bukan lo aja yang milih. Gue yakin, pilihan lo pasti yang terbaik,” sahut Theo memberi penjelasan pada Naina. Naina menghela napas pelan. “Pak, gak semua apa yang dipilih oleh satu perempuan disukai perempuan lain. Belum tentu apa yang saya pilih disukai oleh ibunya, Bapak.” Jujur, Naina tidak ingin merusak momen ulang tahun ibu dari atasannya itu jika nanti kado yang ia pilihkan tidak menarik sama sekali. Theo menggelengkan kepala. “Nyokap gue pasti suka. Gue percaya sama apa yang gue yakini, Naina.” Theo tetap pada pendapatnya. “Intinya, nanti pulang kerja, lo temanin gue. Gak ada penolakan, ya.” Theo berlalu setelah mencubit gemas pipi Naina. Naina menggembungkan pipinya. Selalu saja seperti itu. Theo dengan paksaan yang tidak mampu ditolak oleh dirinya sama sekali. Jika boleh jujur, Naina sedikit lebih berani kepada Theo. Ya, mungkin karena lelaki itu atasannya dan mungkin juga karena Theo tidak pernah terdengar gosip tentang menyakiti perempuan mana pun di luar sana. Theo dikenal menyayangi ibu dan adiknya, maka dari itu ia menjauhi hal yang buruk pada perempuan. Tidak ingin terkena imbas pada kedua orang tersayangnya itu. Naina yang sedang berkelana jauh pada pemikirannya dikejutkan dengan kehadiran Zevanya yang mengagetkannya. “Hayo, lo. Pak Theo ngapain sama lo tadi?” Zevanya bertanya. Naina mengernyitkan kening. “Apa, sih? Cuma meminta gue temanin dia milih kado untuk nyokapnya, kok.” Naina menatap Zevanya dari unjung rambut hingga ujung kaki. Sahabatnya itu terlihat beda dari sebelumnya. Saat tadi pagi, Zevanya berantakan sekali dan kali ini sudah terlihat rapi seperti biasanya. Wangi, tentu saja. “Lo mandi?” tambah Naina lagi. Zevanya mengangguk. “Iya. Risih gue kalau gak mandi, Nai. Meskipun gue pake parfum sebotol, tetap aja beda baunya. Gue gak mau dicap sebagai manajer bau. Gak akan! Harga diri gue bisa jatuh udah gitu ketimpa tangga lagi.” Naina mencibir, “Cih!” Sahabatnya itu terlalu lebai. “Oh, iya, Nai.” Zevanya duduk di pinggir meja kerja Naina. Naina menengadah. “Ya?” “Kenapa perasaan gue mengatakan kalau Pak Theo itu suka sama lo,” ujar Zevanya. Naina terbatuk mendengar kalimat itu. “Jangan mengada-ngada lo. Mana mungkin Pak Theo suka sama gue.” “Kalau benaran suka gimana? Lo mau?” tanya Zevanya lagi. Naina memukul lengan Zevanya. “Zee, lo jangan bikin gosip, deh. Sana ke ruangan lo.” Naina tidak ingin membahas apa pun yang menyangkut soal hubungan percintaan. Ia masih trauma dan mungkin akan selalu seperti itu. “Jawab dulu. Lo mau apa kagak!” Zevanya memaksa Naina untuk menjawab. “Zevanya! Apa lo udah bosan jadi karyawan gue?” Zevanya menoleh ke sumber suara dan di sana ada Theo sedang berkacak pinggang. Zevanya menunduk sedang Naina mengulum senyum meskipun hatinya sedikit khawatir, takut-takut kalau Theo mendengar apa yang dikatakan Zevanya padanya. “Saya permisi, Pak.” Zevanya pamit lalu meninggalkan Naina dan juga Theo. Setelah kepergian Zevanya, Naina berpura-pura sibuk pada pekerjaannya untuk menghindari Theo. Sungguh, ia takut jika Theo bertanya soal pembicaraan dirinya dan Zevanya tadi. “Nai,” panggil Theo. Naina sontak menoleh pada Theo. “Ya, Pak?” “Kalau kalian mau menggosip tentang gue lagi. Mending di kantin atau kafe, ya. Jangan di depan ruangan gue.” Senyum Theo mengembang. Naina menelan salivanya susah payah. Iya yakin atasannya itu mendengar apa yang mereka bicarakan tadi. Helaan napas Naina terdengar. Ia sungguh mengutuk Zevanya yang mulutnya tidak bisa dijaga sama sekali. *** Sesuai janji yang telah disepakati, Naina menemani Theo mencarikan kado untuk nyokap atasannya itu. Mereka mengendarai mobil mewah milik sang CEO, sedangkan mobil Naina tinggal di parkiran perusahaan. Awalnya, Naina menyarankan naik mobil masing-masing, tapi Theo memiliki segudang alasan hingga membuat Naina terpaksa satu mobil dengan Theo. Tujuan mereka adalah butik ternama dan terkenal dengan kualitas barang dan tentu saja dengan harga yang fantastis. Naina tidak heran apalagi kaget, setidaknya ia pernah berbelanja di butik itu bersama Zevanya saat mendapatkan bonus yang lumayan dari perusahaan. Saat mereka masuk, seorang perempuan cantik berkisaran tidak jauh beda dari usia Naina menyambut. “Theo. Wah, tumben mampir ke sini? Gue kira lo udah lupa jalan ke butik gue ini.” Perempuan itu berkacak pinggang. Theo tertawa mendengar ocehan dari perempuan cantik itu. “Gue bukan lupa, Mon. Gue hanya malas datang ke sini karena lo suka nanya hal yang gak masuk akal.” Perempuan bernama Monic itu meninju pelan bahu Theo dan semua itu tidak luput dari pandangan Naina. Dia bukan cemburu, hanya saja ia tidak terlalu suka melihat adegan sok romantis di depannya. “Hem, dia siapa?” Monic menunjuk ke Naina. “Apa dia kekasih lo? Astaga, akhirnya.” Monic terlihat senang dan kemudian bertepuk tangan. Theo mengulum senyum sembari menggeleng. “Dia sekretaris gue.” Menoleh pada Naina yang sedang mengerutkan keningnya. “Lalu, kenapa lo membawa dia ke sini? Ada apa? Apa ada yang penting!” tanya Monic lagi. Theo mengangguk. “Gue mau mencari kado untuk nyokap gue. Dia ulang tahun hari ini dan Naina akan membantu gue mencarikan kado itu untuk nyokap gue.” Theo menjelaskan. “Oh, baiklah. Gue akan membantu lo dan Naina untuk mendapatkan itu. Gue akan menunjukkan koleksi terbaru dari butik ini ke kalian.” Monic menarik pelan tangan Naina. “Ayo,” sambung Monic lagi. Naina mengikuti langkah Monic dan terus mencari-cari apa yang menurutnya pantas untuk diberikan kepada nyokap Theo sebagai hadiah ulang tahun. Lalu Naina berjalan sendiri tanpa ditemani Monic saat melihat sebuah gaun malam yang sangat cantik. Warna biru tua, sederhana sekaligus elegan. Senyum Naina mengembang, ia terus memperhatikan dan kemudian menoleh pada Theo. “Saya rasa ibunya Bapak akan suka sama ini.” Tunjuk Naina. Theo tersenyum mengangguk. “Monic, tolong lo siapin itu, ya.” Monic memberi jempolnya kemudian berkata, “Pilihannya benar-benar terbaik, Theo. Gue yakin dia perempuan yang pantas buat lo. Apa lo gak niat bawa dia pulang ke rumah sebagai ratu istana lo,” bisik Monic. “Tidak segampang itu, Monic. Gue harus mempersiapkan segala hal sebelum mengajak anak orang menjadi pendamping hidup gue.” Theo memperhatikan Naina yang masih sibuk pada gaun pilihannya. “Setidaknya lo coba memberi dia sinyal.” Monic memberi saran. “Maksud lo?” Theo menaikkan alisnya. “Lo yakin gak mau berikan dia hadiah karena sudah menemani lo nyari kado buat nyokap lo.” Monic menunjuk pada satu mini dress merah marun yang terpajang di sisi lain. “Itu keluaran terbaru juga.” “Lo benar. Gue pengen itu juga.” Theo menanggapi apa yang dikatakan Monic. “Sip. Gue akan urus semuanya.” Monic memanggil pegawainya untuk membantu dirinya mengurus pesanan Theo. *** “Nai,” Theo memanggil Naina yang sudah keluar dari mobilnya. Naina menoleh. “Ya, Pak.” Theo memberi satu paper bag ke Naina yang isinya tentu mini dress merah marun yang ia beli tanpa Naina tahu. “Apa ini?” tanya Naina mengernyitkan keningnya. “Hadiah kecil buat lo. Nanti malam lo pake itu, ya,” ucap Theo. Naina semakin bingung. “Nanti malam? Untuk apa? Kenapa saya harus memakai ini, Pak?” Naina melirik isi dalam paper bag yang diberikan Theo. “Gue akan menjemput lo nanti malam. Lo harus datang di pesta ulang tahun nyokap gue,” kata Theo lagi. Naina mengangguk. “Baik. Pak.” Meskipun Naina tidak yakin apakah itu keputusan yang tepat, yang terpenting baginya saat ini adalah untuk membuat orang lain bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD