3. Kanaya

1566 Words
Langkah Lay memburu saat bel sekolah terdengar memekakkan telinga. Berlari menerobos kerumunan siswa yang juga hendak melewati gerbang. Satpam yang bernama Suherman dan guru piket bernama Pak Bari yang tidak lain adalah wali kelasnya menunggu sembari memegang gunting dan kayu panjang. Inilah kesialannya hari ini. Bangun kesiangan, tidak sempat sarapan dan yang lebih parah motor yang selalu menemani langkahnya selama sebulan ini tiba-tiba saja mengambek dan tidak mau nyala. Otomatis Lay naik bus dan sedikit memakan waktu untuk tiba di sekolah. “Yak, pelan-pelan bodoh!” Lay hanya mengucapkan kata maaf dengan isyarat tanpa berlama-lama. Kemudian kembali memburu langkahnya. Saat melewati pintu gerbang, Lay pikir dirinya selamat dari dua pawang sekolah itu, tapi nyatanya tidak. Kerah baju belakang Lay ditarik oleh Pak Bari sehingga Lay ikut mundur dan terhenti. “Mau ke mana?” Lay menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ke dalam, Pak. Kan udah bel,” jawab Lay sembari memamerkan senyumnya. Pak Bari melotot dan spontan membuat Lay menunduk. “Kamu terlambat satu menit.” Lay menghela napas pelan kemudian berkata, “Pak, terlambat semenit itu bukan dosa, loh. Semenit doang, Pak.” Ia memberanikan diri menatap wali kelasnya itu. Pak Bari geram. Menjewer telinga Lay hingga kedua kaki siswanya itu menjinjit. “Semenit itu memang bukan dosa. Tapi semenit itu berharga. Waktu itu adalah uang.” Lay mengelus telinganya yang terasa panas. “Kalau waktu itu uang, saya bayar deh, Pak. Berapa harganya?” Lay hendak mengeluarkan dompetnya, tapi Pak Bari mendengkus kasar, otomatis Lay berhenti merogok saku celana sekolahnya. “Kamu itu melawan kalau dibilangin. Pantes tidak lulus tahun kemarin. Dasar bandel!” Pak Bari menggerutu. Lay jengah. Baru kali ini dia terlambat datang ke sekolah, tapi diceramahi hingga ke dasar jiwa. Semenit saja menjadi dosa terbesar untuk Lay saat ini. “Lihat rambutmu ini. Tidak rapi sama sekali. Mau bapak potong?” Astaga, Lay mulai geram. Rambutnya baik-baik saja, tidak gondrong sama sekali, tidak diwarnai juga, lalu di mana masalahnya? Wali kelasnya itu mencari-cari masalah agar bisa menghukum dirinya. Lay mengedarkan pandangannya, dan siswa-siswa yang berlarian bersamanya sudah tidak terlihat. Dengan kata lain, mereka lolos dari hukuman kedua pawang sekolah itu. Namun, kenapa ia masih ditahan? “Pak, salah saya sebenarnya apa, sih? Terlambat atau rambut?” tanya Lay. “Kalau masalah terlambat, kayaknya bukan hanya saya yang terlambat, Pak. Ada beberapa siswa yang berlari bersama saya tadi. Kenapa mereka tidak di tahan juga?” Pak Bari membuka mulutnya hendak berbicara, tapi Lay kembali berkata tanpa memberi kesempatan pada wali kelasnya itu. “Kalau masalah rambut, kayaknya rambut saya aman aja. Gak gondrong juga, gak diwarnai juga. Noh, kalau Bapak mau ngurusin rambut gondrong di kelas ada tuh, Dominic.” Pak Bari terdiam. “Ah, satu lagi, Pak. Urusan terlambat sama tidak lulusnya saya tahun lalu itu gak ada sangkut pautnya loh. Saya gak lulus karena alasan tertentu, bukan karena saya bodoh. Bapak gak usah ungkit-ungkit, ya. Ntar Bapak dan sekolah loh yang rugi.” Lay memukul pundak Pak Bari pelan sembari tersenyum. Masih tidak ada sahutan dari lelaki berusia 40 tahun itu. Ia hanya menatap Lay dengan diam tanpa mampu mengeluarkan suara sama sekali. “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, kan, Pak? Kalau tidak ada, saya pamit.” Lay menunduk memberi hormat dan berlalu dari hadapan gurunya itu. “Murid sialan!” maki Pak Bari membuat satpam di depannya menoleh dengan mimik penuh tanya. *** Saat memasuki kelas, Lay disambut oleh Kanaya. Cewek berambut sebahu itu menyodorkan kotak makanan berwarna ungu kepada Lay. “Buruan dimakan. Bentar lagi guru Fisika datang.” Lay mengangguk. Segera duduk di tempatnya dan mulai memakan bekal sarapan yang dibuat oleh Kanaya. “Tante sama Om belum pulang juga?” tanya Kanaya. Cewek itu mengambil posisi duduk tepat di samping Lay. Lay menggeleng. “Kapan pulang?” tanya Kanaya lagi. Lay menelan nasi goreng yang ada di mulutnya, lalu mengalihkan pandangannya pada Kanaya. “Besok, mungkin. Entahlah. Mereka terlalu senang jalan-jalan.” Lay menyengir. Kanaya merogoh tasnya untuk mengambil botol minum. “Minum!” perintahnya pada Lay. Untuk kesekian kalinya Lay menurut. Siswa-siswa yang berada di dalam kelas hanya bisa menatap keduanya sembari berbisik-bisik. Sebenarnya pemandangan seperti itu bukan sesuatu yang baru, sudah sejak awal memasuki bangku kelas 3, keduanya terlihat akrab. Entah hubungan apa yang terjalin di antara dua insan itu. Ada yang bilang mereka pacaran, ada yang bilang kalau Kanaya mencintai Lay secara sepihak. Namun, isu itu tidak ada pembuktian kebenarannya. Kanaya baik-baik saja saat Lay pacaran dengan cewek lain bahkan ia sering menjadi tempat titip salam untuk Lay. Lalu? Tidak ada yang tahu lebih jelas. “Ntar pulang lo temanin gue, ya.” Lay menutup kotak bekal yang sudah kosong dan mengembalikannya kepada Kanaya. “Ke mana?” Kanaya seperti itu. Dingin, tapi sebenarnya dia tipe cewek yang sangat perhatian dan peduli. “Mencari Naina.” Lay cengengesan. Kanaya mengangguk. “Di mana?” Lay berpikir sejenak. Dia sebenarnya juga bingung hendak mencari Naina ke mana. Alamat tidak punya, bahkan nomor ponsel pun tidak ia miliki. “Keliling kota Jakarta.” Kanaya menepuk kepala Lay kuat. “Lo gila?” Lay mengelus kepalanya dan memasang wajah terluka di depan Kanaya. Kanaya ikut mengelus kepala Lay dan meniupnya layaknya anak kecil. “Kota Jakarta itu luas. Yang bernama Naina itu banyak. Lo mau cari di mana?” “Setidaknya gue punya fotonya.” Lay tidak mau kalah. “Foto itu tidak membantu banyak, Lay. Kok makin lama lo makin bego. Apa perlu gue jedotkan kepala lo ke dinding?” Suara Kanaya datar. Lay mengecup pipi Kanaya singkat. “Astaga, lo itu preman apa siswa SMA, sih? Kasar amat.” Kanaya hendak menjawab, tapi kalah cepat dengan cowok yang barusan duduk di depan mereka. “Pacarannya jangan di kelas. Cari pojokkan sana. Kalian bisa ngelakuin apa aja di sana, gak ada yang lihat.” Siswa cowok itu bernama Fajar. Ketua kelas dan kapten basket. Kanaya memutar bola matanya kesal, sedangkan Lay hanya terkekeh. Fajar menoleh ke belakang “Ada yang lucu?” tanyanya. “Lo. Lo itu lucu banget.” Lay menyahut. “Apanya yang lucu?” tanya Fajar lagi. “Astaga. Gue geram lama-lama sama lo, ya.” Itu suara Kanaya. Ia hendak menimpuk Fajar dengan buku tebal miliknya, tapi Lay menahan. “Gue sama Kanaya itu gak pacaran. Berapa kali gue bilang ke elo dan semua siswa di sekolah ini, gue sama Kanaya itu hanya sebatas sahabat. Gue gak bisa macarin sahabat gue apalagi gue itu punya batas waktu menjalin yang namanya pacaran, tiga hari doang. Dan gue gak mau Kanaya adalah dalam daftar itu.” Lay menjelaskan. Fajar hanya menyeringai. “Sahabat? Hah, mana ada persahabatan antara cewek dan cowok yang aman-aman aja. Mustahil pake banget. Pasti salah satu dari dua orang itu ada yang merasakan cinta. Benar kan Kanaya?” Kanaya tidak menyahut. Mimik wajahnya pun tetap sama, datar. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang sedang dirasakan Kanaya saat ini. “Diam. Gue bosan dengar ceramah lo. Intinya, gue sama Kanaya itu sahabat baik.” Lay ingin menyudahi perdebatan itu. “Sahabat tidak akan mencium bibir sahabatnya” Fajar masih terus melanjutkan aksi perangnya. “Mencium bibir? Siapa yang mencium bibir? Gue kayaknya tadi nyium pipi, deh.” Lay kebingungan sedang Kanaya tidak peduli dengan apa yang dibicarakan Fajar. Ia memilih menyibukkan diri dengan buku-buku miliknya. “Lo tanya aja ....“ “Selamat pagi semua.” Kalimat Fajar terhenti saat guru Fisika mereka memasuki ruang kelas. Ia mengatur posisi duduknya agar lebih rapi. Sedangkan Lay, cowok itu masih memikirkan apa yang Fajar barusan katakan. Ia tidak pernah mencium bibir Kanaya, lalu apa maksud dari Fajar? “Lay! Fokus!” Guru Fisika itu menegur Lay. *** Lay terbengong. Kedua tangannya menumpuk di atas meja sembari menyangga dagunya. Mengabaikan bakso kuah ekstra pedas yang ada di depannya. Pikiran cowok itu masih melayang pada perdebatannya dengan Fajar pagi tadi. Penasaran setengah mati. Siapa yang mencium bibir sahabatnya? Tidak mungkin dirinya! Apa Kanaya? Pasti tidak mungkin. Hampir setahun mereka bersahabat, Kanaya tidak pernah menciumnya, jangankan bibir, pipi saja tidak pernah. Lalu siapa? “Lo makan atau baksonya gue tumpahkan ke kepala lo.” Kanaya berkata ketus sembari memainkan tangannya ke rambut Lay. Ia tanpa ampun menarik rambut cowok itu dengan kuat. Lay kaget bersamaan dengan suaranya yang mengadu sakit. “Sakit, woi.” “Makanya makan. Jangan melamun.” Lay memasukkan satu bulatan bakso ke dalam mulutnya. Mengunyah cepat lalu menyedot jus miliknya hingga habis separuh. “Lo makan kayak diburu setan. Ada apa, sih?” tanya Kanaya bingung. Lay memfokuskan pandangannya pada Kanaya. “Gue mau nanya ke elo.” “Soal apa? Kalau gak penting mending gak usah nanya.” Kanaya berucap datar seperti biasa. “Ini penting. Ini sangat mengganggu pikiran gue sejak tadi,” kata Lay. “Apa?” “Soal apa yang dikatakan Fajar tadi pagi. Sumpah, gue penasaran. Itu bukan gue, gue juga yakin bukan lo, lalu siapa?” tanya Lay seperti orang bego. Kanaya menyedot teh botolnya hingga tandas. Ia kemudian berdiri dari duduknya. “Lo gak usah peduliin apa yang dikatakan Fajar. Dia itu hanya sirik sama lo, makanya berbicara sembarang. Jangan tersulut emosi.” Kanaya berlalu dari hadapan Lay. “Berarti bukan lo, kan?” Lay mengejar Kanaya yang berjalan sedikit lebih cepat. “Bukan!” teriak Kanaya. “Hanya orang bodoh yang jatuh cinta sama lo!” Lagi, Kanaya berteriak. Lay tertawa sembari terus menyusul langkah Kanaya. “Sialan, lo!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD