UNDANGAN

1077 Words
            “Nih undangan” Dean melempar undangannya ke atas meja kerja ku. Aku menelan ludah yang tiba-tiba terasa pahit terlebih ketika mata ku menangkap jelas nama Dean dan juga Lulu di Cover undangan. Anjrit sakit bangettt gilaaa.                 “Hah?” Sempat-sempatnya pulak aku menganga bak orang t***l sembari memandang undangan di hadapan ku. Dean Cuma nyengir, mengeluarkan undangan itu dari plastik nya.                 “Aneh banget sih ngasih lo undangan, padahal udah kayak saudara sendiri, gapapa deh, sekedar formalitas” Apa dia bilang? Saudara sendiri? Bisa-bisa nya Dean nganggep aku ‘Saudara’ Sementara aku nganggep dia lebih? Pantes aja selama delapan tahun ini gak ada titik temu di antara kita berdua. Miris.                 “Oh iya, aneh banget segala ngasih undangan. Orang lo kondangan aja di depan rumah gue” Ucap ku, garing. Dean tertawa, menertawakan kebodohan ku, atau menertawakan lawakan ku. Kami berdua mengobrol sebentar sebelum Dean kembali ke ruangannya, sementara aku? Aku hanya diam memasang wajah datar tanpa ekspresi di sepanjang hari.                 Hari itu ku pikir, saat Dean datang memberi ku undangan adalah hal yang paling sial, ternyata tidak saudara-saudara. Saat aku beranjak dari ruanganku menuju coffee shop di lantai dasar, aku mendengar beberapa orang yang menyebut nama ku berkali-kali.                 “Kasian ya Mba Aliyah, kirain dia yang bakalan di lamar sama Mas Dean, taunya enggak, malah Mas Dean nya ngelamar cewek lain lagi”                 “Lagian kayak nya Mba Aliyah pernah nolak Mas Dean deh”                 “Padahal cantikan Mba Aliyah daripada Lulu”                   Aku tidak jadi ke coffee shop, dengan tegas nya aku memutar badan kemudian kembali ke ruangan ku, rasanya ternyata lebih buruk dari yang aku duga. Aku pikir selama menghindar dengan Dean beberapa minggu belakangan ini membuatku menjadi terlupakan sebagai teman dekat Dean, ternyata tidak sama sekali. Namaku malah menjadi lebih terkenal di kantor di banding sebelumnya, sial.                 “Al, sayang… lo kenapa dah muka nya ketekuk gitu?” Aku melewati ruangan Dean sebelum berbelok ke pintu dapartement ku, sial nya di saat-saat seperti ini, dia malah memanggil ku dengan sebutan Sayang . Dulu, jika dia memanggilku dengan sebutan seperti ini, aku akan sangat senang, bahkan jika boleh aku berekspresi, aku akan jungkir balik kesenengan gara-gara di panggil seperti itu. tapi sekarang keadaannya sudah berbeda, sekarang justru malah terdengar menyedihkan jika ia memanggilku dengan sebutan seperti itu. I’m not the same person anymore, like… yah. He can’t call me like that, nanti Lulu cemburu.  Sebagai perempuan harusnya aku mengerti.                 “De… jangan panggil gitu lagi” tegur ku kepada Dean, aku tidak ingin orang lain mendengar Dean memanggil ku seperti itu.                 “What’s wrong? Kok gue gak boleh manggil lo sayang? Kenapa? Kita kan sahabatannya udah lama banget” Jawab Dean dengan santai. Aku hanya bisa menghela napas, berusaha menjelaskan apa maksudku kepada nya.                 “Ya aneh, kita emang sahabatan udah dari lama banget. belasan tahun malah. Lo kan udah mau nikah nih, hargain calon istri lo juga dong, lagian nih ya gak enak aja gitu kalau di denger sama orang-orang kantor,  tar di sangka nya gue ini pelakor lagi. Jangan aneh-aneh lo ya” Ucap ku kepada Dean. Ia hanya mengangguk kemudian tertawa.                 “Gak nyaka lo bisa se-dewasa ini” Jawab nya sembari tertawa dan mengacak rambut ku dengan gemas. Sial, yang di cak rambut, yang berantakan malah hati gue.                 Kalau kalian nanya, kenapa aku bisa suka sama Dean? Jawabannya bukan karena tampang nya. Aku tahu Dean itu ganteng, banget malah, tapi aku gak jatuh cinta sama Dean karena tampang nya. Melainkan aku jatuh cinta dengan Dean karena kecerdasan dan kesopanannya. Empat belas tahun bersahabat denganku, kami sudah seperti bersaudara, namun tak sekalipun Dean mau bergabung dengan ku ketika kami sedang berada di ruangan yang sama, di sebuah kasur.                 Alasannya klasik “Gak deh setan ada di mana-mana”  Menarik bukan? Di jaman sekarang, sulit mendapatkan laki-laki yang seperti itu. makanya selama delapan tahun aku betah melabuhkan hati ku kepadanya, ya walau harus berakhir tragis seperti saat ini. Yaa tidak apa lah, setidaknya delapan tahun ku terjaga oleh nya.                 Aku kembali ke ruangan ku, dengan perasaan yang campur aduk. Senang karena bertemu dengan Dean, namun sekaligus sedih karena mengingat pria itu sebentar lagi akan bertunangan dengan kekasih nya, yang berarti gerakku terbatas setelah nya. Aku menenggak sebotol air dingin yang baru saja aku beli di vanding machine , pikiran ku sedang kacau, aku tidak bisa fokus untuk bekerja. Saat baru saja hendak duduk di kursi kerja ku, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu.                 “Al, lo di panggil sama ibu Widya. Katanya tolong gantiin dia meeting hari ini, anak nya tiba-tiba sakit, terus panjang lah ceritanya intinya bu Widya harus balik. Buruan, meeting nya sejam lagi” Ucap Aryo yang berdiri di depan pintu dengan wajah panik. Melihat ekspresi Aryo yang begitu aku jadi ikutan panik, aku buru-buru merapihkan meja ku kemudian berjalan mengikuti Aryo dari belakang menuju ruangan Bu  si ketua Dapartement pengendalian pengawasan perbankan, di lantai atas. Tok.. Tok… Tok…                 Aku mengetuk pintu ruangan Ibu Widya sebanyak tiga kali, tidak lama kemudian sebuah suara dari dalam meminta ku masuk bersama Aryo. Hal pertama yang kami lihat adalah, wajah cemas milik Bu Widya memandang aku dan Aryo dengan tatapan penuh harap.                 “Baguslah, Aliyah sudah disini. Sekarang Aryo boleh keluar. Saya mau ngomong sama Aliyah” Ucap Ibu Widya sebelum Aryo keluar. Aku menatap Aryo dengan tatapan tidak percaya. Bisa-bisa nya ia mengorbankan ku di saat-saat yang seperti ini?                 “Udah gila lo ya?!”  Ucap ku kepada Aryo tanpa suara, ia hanya tertawa cengengesan meninggalkan ku di ruangan Bu Widya.                 “Jadi, kenapa saya di panggil bu?” Tanya ku setelah duduk di hadapan wanita berumur empat puluh dua tahun tersebut.                 “Duh… Al, maaf ya jadi ngerepotin kamu gini, jadi anak saya sakit. Mbak nya kewalahan soalnya dia nyariin saya, sekarang anak saya lagi di UGD, yaudah harusnya saya kesana sekarang. Tapi ada meeting sama Kepala Eksekutif. Saya gak bisa percayain hal sepenting ini ke orang lain, kecuali kamu. Tolong ya Al… saya titip dapartement sama kamu. Cuma kali ini boleh ya? Kamu bisa kan?” Ibu Widya memandangku dengan penuh harap, aku jadi tidak enak hati untuk menolak nya.                 “Iya bu, gak apa-apa, ibu pulang aja sekarang, saya yang ikut meeting” Jawab ku, Ibu Widya langsung berterimakasih kepada ku sembari membereskan barang – barang nya.                 “Al, satu jam dari sekarang ya” Ucap nya sembari menutup pintu, meninggalkan ku sendirian di ruangannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD