His engagement day

1137 Words
                Aku melangkah masuk ke dalam rumah Dean, di sana sudah banyak sekali orang yang hadir. Hari ini adalah hari pertunangan sahabatku itu, dan sebentar lagi, ia akan di antar menuju rumah calon istrinya. Aku menguatkan hati ketika mata para tetangga menatapku dengan tatapan bingung, aku tahu apa isi pikiran mereka bahkan sebelum mereka memberitahuku. Aku mendapati Eyang Uti, nenek dari Dean yang sedang duduk manis, di sebuah sofa, aku menghampirinya, mencium tangannya, dan mengajaknya mengobrol sebentar.                 “Eyang pikir… kamu yang bakal nikah sama Dean.” Ucap wanita yang umurnya bahkan sudah menginjak usia 80 tahun itu. Kalau kata Eyang begitu, aku juga mau. Hanya saja Dean yang tidak mau sama aku.                 “Aliya sama Dean Cuma temenan Eyang, gak boleh gitu dong, kan Dean juga udah ada pilihannya.” Jawab ku. Sejak kecil memang aku sudah akrab dengan Eyang Uti, terkadang beliau bercanda kepada orang tua ku bahwa ia akan menjodohkan ku dengan Dean suatu saat nanti, tapi lihatlah sekarang, cucu tampannya itu malah memilih untuk bersanding dengan orang lain.                 Aku mengobrol sebentar dengan eyang uti sebelum menghampiri orang tua Dean yang masih sibuk kesana kemari mempersiapkan keperluan putra nya, aku tersenyum membaca papan bunga yang berisikan ucapan selamat dari rekan-rekan kami kepada Dean dan calon istrinya, Lulu. Konyol nya di saat-saat seperti ini aku masih berharap bahwa nama di papan bunga itu, harusnya menjadi nama ku, bukan nama Lulu.                 Setelah mengobrol sebentar dengan Eyang Uti, aku mengahmpiri rekan-rekan kerja ku yang sudah lama duduk manis di kursi tamu, aku tersenyum kepada mereka walau aku sendiri tahu, mereka semua baru saja membicarakanku.                 “I was think you gak bakal di sini, gua harap lo pengantinnya.” Ucap Mbak Dewi. Hahah sama mbak, gua juga ngarep gitu kok.                 “Ya nggak lah mbak, we are just friend, gak kurang gak lebih.” Ucapku dengan berusaha sesantai mungkin. Yapp! Mbak Dewi adalah seniorku di kantor, kami dulu satu Divisi hingga ia berakhir dengan satu Divisi dengan Dean sementara aku harus pindah. Mbak Dewi pasti tahu jelas, bagaimana aku dengan Dean, karena memang sejak dulu kami berdua tidak pernah terpisahkan sekalipun Dean sedang berpacaran dengan orang lain.                 “Lo kira lo bisa bohongin gue Al? nggak dong.” Ucap Mbak Dewi. Aku tersenyum menatapnya, meminta Mbak Dewi pura-pura biasa saja, bukan apanya, aku takut kalau aku tiba-tiba ambyar ketika melihat Dean berjalan menuju mobil untuk berangkat ke rumah calon istrinya.                 Santai… ini baru pertunangan, belum lamaran, belum akad, belum resepsi. Masih banyak rintangan lain yang harus aku lalui untuk pura-pura tersenyum di hadapan para kenalanku dengan Dean. Berselang tiga puluh menit aku duduk di sana, tiba-tiba orang-orang berdiri, sudah saatnya kami mengantar Dean. Buru-buru aku berdiri karena tidak mau bertemu dengan sahabatku itu, aku takut, takut menangis lebih tepatnya. Hari itu aku menumpang di mobil Mbak Dewi, sengaja tidak membawa mobil sendiri karena tidak mau ugal-ugalan ketika sedih.                 Dari jauh, aku melihat Dean, di temani oleh orang tua nya. Naik ke mobilnya. Aku hanya tersenyum kemudian memalingkan wajah ku. Di saat yang sama seseorang mengetuk kaca mobil Mbak Dewi yang tepat di sampingku, aku melirik mencolek bahu Mbak Dewi, namun ia juga mengangkat bahu nya pertanda tidak tahu, Mbak Dewi menurunkan kaca mobilnya membiarkan pria itu untuk berbicara.                 “Hai, gue Gellar. Saudara Iparnya Dean, adeknya Mbak Nina, boleh nebeng gak? Gue lupa naro kunci mobil soalnya. Maaf ya? Boleh gak?” Ucap pria yang baru aku tahu bahwa ternyata dia lah orang yang selama ini selalu di ceritakan oleh Dean, orang yang katanya udah kayak saudara banget sama Dean, tapi lima tahun Mas Farid sama Mbak Nina menikah, aku belum pernah bertemu dengan Gellar sekalipun, kecuali hari ini.                 “Oh, iya gapapa, masuk aja.” Ucap Mbak Dewi, aku menggeser tubuhku sedikit memberi ruang kepada Gellar untuk duduk di sebelahku. Gellar menatapku sebentar kemudian tersenyum, aku? aku juga balas tersenyum kikuk kepadanya. Di mobil kami hanya diam saja, tidak ada percakapan yang terjadi kecuali Mbak Dewi yang terus-terusan bertanya jalan kepadaku dan juga Gellar.                 “Mbak mending gue aja deh yang nyetir.” Ucap ku pada akhirnya, ku lihat Mbak Dewi tersenyum kemudian menepikan mobilnya di pinggir jalan, barusaja aku ingin masuk ke kursi kemudi, tiba-tiba Gellar menahan tanganku, ia memintaku untuk duduk manis saja sementara dialah yang akan menyetir.                 “Gue aja, gapapa.” Ucap nya. Aku mengangguk lalu kembali masuk ke dalam mobil. Sebenarnya aku ingin duduk di belakang lagi seperti tadi, namun Mbak Dewi melarang, ia takut akan membuat Gellar tersinggung jika kami berdua duduk di belakang, jadilah aku duduk di depan bersama dengan Gellar sementara Mbak Dewi di belakang bersama Shiren, anak pertamanya yang masih berumur 2 tahun.                 “Emang lo tau rumahnya Lulu di mana?” Tanyaku kepada Gellar, ia mengangguk.                 “Tau, waktu Dean datang ke keluarganya Lulu kan gue yang temenin soalnya om sama tante gak bisa.” Jawabnya. Aku mengangguk, lalu kembali diam. Tidak butuh waktu lama kami segera sampai di sana, bersamaan dengan mobil Dean yang juga baru saja putar arah, yang berarti Dean sudah masuk ke rumah Lulu duluan. Aku turun bersamaan dengan Dean, sementara Mba Dewi sudah ngacir duluan, karena anaknya, Shiren tiba-tiba buang air besar yang membuat Mbak Dewi jadi marah-marah sendiri.                 “Bareng aja?” Tanya Gellar, dan aku mengangguk. Kami berdua berjalan bersama menuju rumah Lulu, di sana juga banyak karangan bunga pertanda selamat kepada Dean dan Lulu atas pertunangan mereka. Sementara aku sebisa mungkin untuk membaca tulisan-tulisan itu, aku takut sakit hati ketika membacanya.                 Acara di mulai dengan hikmat, aku berkali-kali menarik napas panjang ketika Dean memasangkan cincin kepada Lulu, ketika orang tua Dean memeluk Lulu, atau yang paling parah ketika Dean dan Lulu memamerkan cincinnya kepada kami. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap berada di sana, namun aku tidak bisa, aku segera berdiri tanpa sepatah kata apapun, berjalan ke luar rumah dan berhenti tepat di samping mobil Mbak Dewi. Aku bersandar di sana sembari menormalkan jantung ku sendiri, berusaha menenangkan diriku, agar tidak larut dengan kesedihan di hari bahagia Dean.                 “Are you okay?” Ucap seseorang yang lantas membuatku berbalik ke belakang, menatapnya dengan tatapan kaget.                 “Ya… I’m okay, btw, lo kenapa keluar? Bukannya di dalam masih acara ya?” Tanya ku kepada Gellar yang saat ini juga ikutan sandar di sampingku.                 “Lo sendiri?” Tanya nya, tanpa menjawab pertanyaan dariku.                 “Pusing nih, kayaknya gua kurang tidur deh.” Jawabku dengan berbohong.                 “Makan ice cream yuk.” Ajaknya dengan random, aku menaikan kedua alisku pertanda bingung, ia kemudian menarikku ke sebuah standfood di rumah itu, mengambil dua cup ice cream untuk kami makan.                 “Emang udah boleh?” Tanya ku, Gellar hanya mengangguk. Jadilah kami berdua memakan ice cream sembari menonton rangkaian acara pertunangan Dean dan Lulu. Aku sesekali melirik Mbak Dewi yang masih sibuk dengan Shiren, takut Mbak Dewi butuh bantuanku.                                                                                                                                                                                                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD