Saya Menolak

1097 Words
Wajah Athar lebih terlihat segar, ia baru saja keluar dari masjid setelah menunaikan kewajiban sebagai hamba Allah. Meskipun Athar sibuk dengan urusan dunia, dia tidak pernah meninggalkan perkara yang bisa berguna untuk bekal hidup setelah kematian nanti. Athar dan Enver berpisah di parkiran masjid. Mereka sengaja memilih masjid yang dekat dengan cafe tempat pertemuan terjadi. "Abang yakin jalan kaki?" tanya Enver memastikan. Ia disuruh oleh sang abang untuk membawa mobil ke perusahaan lebih dulu. "Iya, kamu langsung ke perusahaan saja." Athar segera mengusir sang adik. Pokoknya Enver tidak boleh menjadi mata-mata dalam pertemuan kali ini. "Awas saja Abang lari!" Enver mengingatkan agar sang abang tidak lari dari pertemuan. "Aku nggak akan lari." Mobil perusahaan sudah menghilang dari pandangan, Athar menghela nafas panjang. Ia segera melangkah untuk bisa segera sampai ke cafe Tanpa Rasa. Athar harus menyebrang jalan lintas karena posisi cafe dari seberang jalan. Mama Vina sudah sibuk mengirimkan berbagai pesan. Agar sang Mama berhenti mengirim pesan maka Athar langsung saja membalas dengan gambar posisi depan dari cafe yang akan ia masuki itu. Janji temu yang akan ia hadiri adalah pukul 1 siang, sekarang sudah pukul 1 kurang sepuluh menit. Athar memegang prinsip disiplin soal waktu, jika dia memiliki janji pukul satu siang maka ia harus sampai ke TKP lima belas atau sepuluh menit sebelum itu. Athar memilih tempat duduk yang berada di dekat jendela, setidaknya ia bisa menikmati kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya. "Selamat siang Pak, ini buku menunya. Silahkan dilihat-lihat terlebih dahulu." Seorang waitress memberikan buku menu kepada Athar. "Saya akan memesan nanti, Mbak bisa pergi dulu." Athar merasa tidak nyaman karena waitress tersebut masih berdiri di samping dirinya. Ya mungkin karena pekerjaan, Athar juga tidak menyalahkan tapi ia belum berniat untuk memesan makanan jadi berdiri lama-lama tentu tidak akan nyaman. "Baik Pak." Athar melihat arloji yang terpasang di pergelangan tangan. Sudah pukul satu siang tapi belum ada tanda-tanda perempuan yang akan ia temui datang. Athar akan menambah jam tunggunya, jika dalam waktu lima belas menit ia tidak kunjung datang maka Athar akan pergi dari sini. Sekarang sudah seharusnya Athar makan siang, tapi ia tidak mungkin memesan makanan lebih dulu karena menurutnya kurang sopan. Oke, Athar akan menahannya sedikit lagi. Waktu terus berjalan, Athar tidak bisa menunggu karena sekarang sudah pukul satu lewat lima belas menit. Ia mulai bangkit karena ingin pergi dari tempat tersebut. "Mas Athar ya?" Tiba-tiba suara perempuan terdengar. "Siapa?" tanya Athar dengan wajah datar. "Saya Luna Mas." Athar mengerutkan kening, apa perempuan di depannya ini adalah perempuan yang akan ia temui? Kenapa terlihat berbeda sekali, Athar sampai tidak bisa mengenali jika saja ia tidak menyebutkan nama. Tapi itu bukan hal penting, Athar tetap akan pergi dari sini. "Mas mau kemana?" tanya Luna yang sudah duduk. "Saya rasa pertemuan ini sudah selesai." "Selesai? Tapi saya baru saja datang." Luna bahkan belum mengobrol, bagaimana bisa selesai? "Anda terlambat lebih dari lima belas menit, apa pantas saya menunggu selama itu ketika pekerjaan banyak menunggu?" "Aduh Mas, kamu tahu sendiri jalanan macet kalau siang. Aku juga sudah berusaha untuk segera sampai sini." Luna berusaha untuk membela diri kenapa ia bisa sampai terlambat dalam pertemuan penting ini. Athar menghela nafas berat, ia akan mencoba untuk menerima kali ini. "Ternyata benar ya, kamu ganteng banget." Luna tidak tahan untuk tidak mengatakan itu. Ia yakin tidak hanya dirinya yang mengatakan jika Athar ganteng tetapi perempuan yang ada di dalam cafe ini juga. Athar tidak akan merasa tinggi dengan pujian itu. Ia tetap mempertahankan wajah datar. "Saya tidak mau basa basi, langsung saja. Saya tidak ada sedikitpun niat untuk menikah Anda." Athar sengaja menggunakan bahasa formal. Toh mereka juga tidak dekat untuk menggunakan bahasa non-formal. Luna syok luar biasa. Kenapa ia mendapat penolakan seperti ini? Padahal mereka baru saja bertemu dan belum ngobrol panjang lebar. "Kita baru saja bertemu, bagaimana mungkin Mas bisa memutuskan secepat itu?" Athar tidak memberi komentar, Ia memilih diam. "Aku kurang apa dimata kamu? Aku cantik, berpendidikan, punya pekerjaan bagus. Kamu tidak punya alasan untuk menolak." Luna tidak terima jika ditolak begini. Di luar sana banyak orang yang ingin memiliki dirinya, tapi Athar malah menolaknya di pertemuan pertama. Apa kadar kecantikannya kurang? Luna harus menjadwalkan perawatan setelah ini. Athar meletakkan ponsel di atas meja. "Kenapa penampilan Anda berbeda? Saya sampai tidak bisa mengenal diri Anda yang sekarang?" Luna melihat ada gambar dirinya di layar ponsel tersebut. "Oh masalah itu, tentu saja aku harus menarik perhatian Tante Vina." "Saya kurang mengerti." Athar masih ingin berpikir positif. "Kata Mama, tante Vina suka perempuan tertutup jadi saya mengirim foto seperti itu. Bukankah Saya lebih cantik seperti ini?" Luna berdiri sebentar. Ia merasa puas dengan penampilan yang sekarang. Apalagi sebelum sampai ke tempat ini, Luna menyempatkan diri ke salon lebih dulu untuk melakukan perawatan. Athar tidak berniat untuk melihat. "Bagi sebagian laki-laki mungkin, tapi bagi saya tidak. Ternyata Anda sudah mempermainkan Mama saya." "Wajar bukan jika aku mencari perhatian calon mertua?" Luna merasa apa yang ia lakukan tidak salah. Tentu saja ia ingin mendapat nilai plus dari calon mertua. "Saya tidak suka dengan perempuan seperti itu. Anda sudah membohongi Mama saya. Jadi saya menolak untuk mengenal Anda lebih dekat." Luna tidak bisa terima. "Jangan mentang-mentang kamu ganteng dan kaya bisa seenaknya begini. Asal kamu tahu di luaran sana banyak orang yang mengejar aku." "Ya sudah jadikan suami satu diantara mereka." Athar berkata dengan santai. Luna mengepalkan tangan. Bisa-bisanya mendapat penolakan seperti ini. "Sampai kapanpun kamu tidak akan pernah mendapat seorang istri." Luna bahkan sampai menunjuk-nunjuk Athar. Setelah itu ia pergi meninggalkan Athar begitu saja. Baru juga beberapa menit setelah Luna pergi, ponselnya berdering. Ternyata ada panggilan masuk dari sang mama. Athar tidak bisa mengabaikan begitu saja, maka mau tidak mau dia mengangkat panggilan tersebut. Athar mendengar suara sang mama mengucap salam, ia pun membalasnya. "Mama nggak marah?" tanya Athar. Ia duga jika Luna sudah mengadu atas penolakannya tadi. "Coba jelasin sama Mama kenapa kamu menolak Luna?" "Mama tahu kalau aku nggak suka sama perempuan terbuka." Athar juga mengatakan jika Luna tidak seperti apa yang Mama Vina pikirkan, pokoknya sangat berbeda sekali. Mama Vina tidak bisa berbuat banyak. "Mama kecewa?" tanya Athar dengan hati-hati. Terdengar helaan nafas yang cukup berat dari seberang sana. Athar yakin Mamanya sedikit kecewa karena pertemuan yang sudah diatur tidak memberikan hasil yang baik. "Mama hanya ingin kamu bertemu dengan perempuan yang tepat sesegera mungkin. Jangan lupa makan siang." Mama Vina segera mengakhiri panggilan. Athar sibuk dengan pikirannya sendiri. Kenapa sampai sekarang ia belum bertemu dengan perempuan yang mampu mengguncang hatinya? Apa Athar tidak tertarik dengan perempuan? Itu sungguh tidak mungkin, ia 100 persen normal. Athar berharap ia bisa bertemu dengan perempuan yang tepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD