Nadine menatap layar handphone-nya dengan gusar. Jemarinya kembali sibuk mengetik, lalu mengirim sebuah pesan. Tanda centang yang tak kunjung berubah warna itu kian membuatnya kesal. Butiran keringat masih mengucur di wajahnya. Nadine baru saja selesai berlatih badminton bersama teman-temannya. Gadis berperawakan jutek itu kembali melirik ke arah gerbang sekolah, tapi tidak juga ada siapapun yang terlihat di sana.
“Eja ke mana, sih,” gumamnya.
“Masih ningguin Eja, ya?” seorang gadis dengan potongan rambut seperti anak lelaki ikut duduk di sebelah Nadine sambil mengulurkan sebuah botol air mineral.
Nadine pun mengambil air itu seraya mendesah pelan. “Tau nih... palingan dia ketiduran. Kamu sendiri kok belum pulang, Ta?”
“Aku nungguin Papa aku Nad... katanya Papa bakalan jemput aku,” jawab Ditta.
“Papa kamu perhatian, ya,” ucap Nadine.
Ditta yang mengerti arah pembicaraan Nadine langsung menggeleng cepat. “Big no... justru itu nggak enak banget kali, Nad. Kamu pikir enak apa kalau ke mana-mana kudu wajib lapor... dianter terus juga dijemput. Aku kan, bukan anak kecil lagi.”
Nadine tertawa pelan. “Bener juga, sih.”
Ditta menghela napas lega. Setidaknya dia sudah berhasil mengalihkan topik pembicaraan yang cukup sensitif itu. Ditta sendiri paham bahwa sahabatnya itu sedang dalam kondisi yang tidak baik. Nadine sudah menjadi lebih sensitif sejak pernikahan papanya yang berlangsung beberapa hari yang lalu.
“Eh Nad, itu dia Eja!” tunjuk Ditta ke arah gerbang.
Nadine menatap ke arah telunjuk Ditta. Terlihat seorang pemuda bergaya klimis tengah terengah-engah sambil memegangi kedua lututnya. Nadine mendengkus, lalu memalingkan wajah. Sementara pemuda itu mendekat dengan raut wajah lelah bercampur khawatir.
“Nad... maaf ya, tadi itu aku—”
“Aku pulang duluan ya, Ta.” Nadine tidak menghiraukan Eja dan meraih ranselnya yang tergeletak di atas kursi.
Eja pun hanya bisa menghela napas. Tatapannya kini beralih pada Ditta yang menyembunyikan senyumnya. Seakan mengerti, Ditta pun langsung mengepalkan tinjunya untuk menyemangati Eja yang sedang berada dalam kesulitan itu.
“Fighting,” bisiknya pelan.
Eja memasang wajah mengiba, kemudian segera mengejar Nadine yang kini sudah membuatnya merasa seperti mahluk astral yang tidak kasat mata.
“Nad... kamu jangan gitu dong!” Eja berusaha menyamai langkah kaki Nadine.
“Nadine... aku kan, udah bilang kalau aku nggak bisa dateng jam segitu. Oke deh, sebagai permintaan maaf... gimana kalau sekarang kita pergi nonton film yang kemaren kamu bilang itu... deal?”
Nadine bergeming. Matanya fokus menatap ke depan. Gadis berjiwa bar-bar itu memang terlihat mengerikan ketika sudah merajuk. Eja pun sibuk terus mengitarinya dengan seribu jurus guna membujuk kekasihnya itu.
“Eh, Nad... kamu tahu nggak serial drama Korea yang kemarin baru tayang itu?”
“Oh iya... si Bimo kemarin ngenalik gebetan barunya lho. Aku yakin kamu pasti cocok sama pacar bari di Bimo itu.”
Hening.
Eja terus saja sibuk menggoceh, tapi Nadine tetap tidak menghiraukannya. Nadine terus melangkah sambil melipat tangan di d**a. Sang pacar Eja masih sibuk mengitarinya dengan berbagai upaya, hingga kemudian langkah kaki Nadine pun terhenti. Eja pun tersenyum. Dia mengira Nadine akan berbicara kepadanya, namun gadis itu malah mengeluarkan earphone, menyambungkannya ke ponsel, menyalakan sebuah lagu, lalu memasang earphone itu di telinganya.
Nadine pun mulai bernyanyi mengikuti alunan musik yang sudah diputar.
Bagaikan langit di sore hari
Berwarna biru, sebiru hatiku
Menanti kabar yang aku tunggu
Peluk dan cium hangatnya untukku
Bagaikan langit di sore hari
Berwarna biru sebiru hatiku
Menanti kabar yang aku tunggu
Peluk dan cium hangatnya untukku
Oh, asmara
Yang terindah mewarnai bumi
Yang kucinta menjanjikan aku
Terbang ke atas, ke langit ketujuh
Bersamamu
Bagaikan langit di sore hari
Berwarna biru, sebiru hatiku
Menanti kabar yang aku tunggu
Peluk dan cium hangatnya untukku
Bagaikan langit di sore hari
Berwarna biru, sebiru hatiku
Menanti kabar yang aku tunggu
Peluk dan cium hangatnya untukku
Oh, asmara
Yang terindah mewarnai bumi
Yang kucinta menjanjikan aku
Terbang ke atas, ke langit ketujuh
Bersamamu
Oh, dewi cinta
Sandarkan aku di bahumu
Agar kurasa rindunya hati…
Deg.
Eja menatap nanar, sementara Nadine kini kembali melanjutkan langkahnya sambil bernyanyi. Sebegitu besarkah kesalahannya hingga dia mendapatkan perlakuan seperti ini? Eja menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangan. Setelah itu dia kembali mengejar Nadine dan menaril earphone yang melekat di telinga gadis itu.
“Kamu apa-apaan sih!?” bentak Nadine dengan mata melotot.
“Kamu itu bener-bener egois ya, Nad!” kesabaran Eja pun mulai habis.
“Apa kamu bilang? egois?” Nadine seakan tidak memercayai pendengarannya.
“Iya egois. Aku kan, udah bilang kalau sekarang itu aku ikutan bimbingan belajar buat persiapan Ujian Nasional nanti... tapi kamu malah—”
“Sejak kapan Ja, kamu peduli sama ujian?” potong Nadine.
“Kami kenapa jadi kekanak-kanakan seperti ini sih, Nad... aku cuma telat jemput kamu 30 menit dan kamu sudah bersikap seperti ini. Sampai kapan aku harus terus-terusan memaklumi sikap kamu yang tidak baik seperti ini?” tanya Eja.
Nadine menatap tajam. “Aku memang kekanak-kanakan dan akan terus seperti ini. Jadi kamu mau apa? ya udah sih... kalau kamu mau fokus sama ujian kamu itu.”
Eja tersenyum kecut. Dia menggaruk belakang lehernya, kemudian memilih membelakangi Nadine yang masih menatapnya tajam. Beberapa lama kemudian barulah dia kembali berbalik dan berdiri lebih dekat dengan Nadine.
“Nad... sekarang itu kita udah kelas XII. Kita udah di penghujung masa SMA. Ada baiknya kita nggak terlalu fokus untuk pacaran dulu. Aku nggak mau mengecewakan kedua orang tua aku dan aku juga mau kamu—”
“Kamu mau kita putus?” sela Nadine.
Eja terkejut. Dia menjadi gugup dan kesulitan untuk berkata-kata. Sementara, Nadine terlihat santai dan biasa saja. gadis itu memperbaiki ikatan rambutnya, kemudian kembali menatap Eja yang masih kebingungan.
“Ya udah kita putus. Belajar sana yang rajin!” Nadine berucap ketus, kemudian melenggang pergi.
“Nad... maksud aku bukan seperti itu, Nad.” Eja kembali mengejar Nadine.
“Nad...!”
“Nadine....!”
Nadine melangkah semakin jauh. Eja pun tidak bisa lagi berkata-kata. Jemarinya terangkat hendak memanggil Nadine, tetapi suaranya tertahan ditenggorokan. Dia masih ingin mengejar Nadine, tapi kedua kakinya bagai terpaku ke tanah. Eja termenung di tempatnya berdiri, sementara Nadine sudah menghilang di ujung sana.
Pemuda berdarah Indonesia-Pakistan itu mengeluarkan sebuah kotak kecil berbentuk hati dari kantong celananya. Eja menatap kotak berwarna merah itu dengan perasaan kecewa. Raut kesedihan jelas terlihat di wajah pemuda berparas tampan itu. Segala kesenangannya saat bisa membeli benda itu sirna sudah. Kotak itu kini jatuh ke tanah bersama dengan hatinya yang sudah patah.
_
Bersambung...