“Apa...!? aku harus berbagi kamar sama anak kampung itu?” mata gadis itu langsung melotot. Dia berkacak pinggang sambil terus melangkah bolak-balik di tempatnya. “Nggak, Pa... aku nggak bisa!”
“Apa salahnya coba? toh, kamar kamu itu sangat luas dan kamu jadi nggak kesepian lagi,” jelas sang papa.
“No... no no! Pokoknya aku nggak mau,” tegas Nadine.
“Tapi Nad—”
“Pah... aku itu udah kasih izin Papa buat menikah lagi sama Tante Amanda. Tapi, sekarang Papa juga minta aku buat berbagi kamar sama anaknya itu?” Nadine menatap nanar.
Sang papa yang mulai kewalahan memilih menahan diri untuk tidak berdebat lebih jauh. Dia tahu betul watak putrinya itu dan memilih untuk mengalah. “Oke... maafin Papa,” ucapnya pelan.
“Lagian kenapa sih, dia juga harus tinggal di sini?” tanya Nadine.
Sang papa menelan ludah. “Sudah seharusnya Hanin ikut sama Mamanya. Apa mungkin dia ditinggal sendirian di Malang sana? Hanin itu anak yang baik, kok. Papa yakin kamu bakalan akrab sama dia.”
Ucapan sang papa membuat Nadine semakin kesal. “Nadine nggak bisa, Pa... temenan sama anak seperti dia.”
“Teman?” sang papa mengernyitkan dahinya.
“Iya... Papa minta aku buat berteman kan, sama anak itu?”
Sang papa berusaha sabar dan tersenyum tipis. “Bukannya sekarang ini Hanin sudah menjadi saudara kamu?”
Nadine terkejut mendengar pertanyaan itu. Darahnya terasa naik dengan cepat menuju ke ubun-ubun. Helaan napasnya mulai terdengar sesak. Sejenak dia bahkan merasa kesulitan untuk sekedar bernapas. Cukup lama Nadine terdiam sambil menatap sang papa dengan pandangan sinis.
“Aku bener-bener muak sama keadaan ini.” Nadine mendengkus kesal.
“Apa kamu bilang?” sang papa bangun dari duduknya.
Nadine tersenyum kecut. “Aku cuma mau bilang kalau sampai detik ini... aku masih belum bisa menerima pernikahan Papa dan Tante Amanda.” Nadine menekankan ujung kalimatnya dan langsung beranjak pergi.
“Nadine...! Nad...! dengerin Papa dulu Nad—”
Sang papa pun berusaha mengejar, namun langkahnya terhenti saat Nadine masuk ke kamarnya dan membanting pintu dengan sangat keras. Lelaki berusia 45 tahun itu pun terpaku di depan pintu yang sudah tertutup rapat. Helaan napasnya kini terdengar berat. Jemarinya pun kini sibuk memijit keningnya yang mulai berdenyut-denyut.
“Nad... buka pintunya!”
“Nadine... buka pintunya!”
“Nadine, Papa mau bica....” ucapan sang ayah terhenti saat terdengar suara gaduh dari dalam sana.
“Nadine... apa yang kamu lakukan? buka pintunya!” sang papa menggedor pintu itu semakin keras dan cepat.
Nadine tidak menghiraukan papanya yang sudah rusuh di luar sana. Tatapan gadis itu terpaku pada meja rias yang kini sudah pecah berkeping-keping setelah dipukulnya dengan tongkat bisbol yang masih di genggamnya erat.
“Nadine buka pintunya Nad... Papa mohon buka pintunya!”
Nadine semakin gusar. Dia menghirup napas dalam-dalam, kemudian kembali mengayunkan tongkat itu dengan membabi buta. Nadine terus melayangkan pukulannya pada apa saja yang ada di depannya. Dalam sekejap dia sudah menghancurkan semua isi kamarnya itu. Ayunan tongkat itu pun baru terhenti saat Nadine melihat telapak kakinya yang mulai mengucurkan darah karena menginjak pecahan kaca. Namun tetap saja, perih luka itu tidak sepedih perasaannya saat ini.
Tongkat di genggamannya pun terlepas bersamaan dengan air matanya yang mengalir pelan. Nadine mulai terisak menumpahkan air mata yang sudah lama ditahannya. Sang papa di luar sana masih terus berteriak memanggilnya, tetapi Nadine tetap bergeming. Matanya yang sembab kini terpaku menatap sebuah figura yang tergantung di dinding.
Figura itu adalah satu-satunya benda yang tidak dirusaknya sama sekali. Di sana terpajang potret Nadine kecil yang sedang tersenyum cerah. Di sisi kiri dan kanannya ada sang papa dan mamanya yang mengecup kedua pipinya dengan mesra. Nadine semakin merasa gundah. Tangannya mulai mengawang hendak menjangkau potret itu. Air matanya pun terus menetes seiring langkah kakinya. Bibirnya bergetar dan terus mengulang kata yang sama.
“M-Mama....”
_
Bel pertanda pulang sekolah sudah berdentang keras. Semua murid mulai berhamburan keluar dari kelas mereka masing-masing. Tetapi, seluruh siswa kelas XII IPA 2 masih belum beranjak dari kelas mereka. Anak-anak itu kini berkerumun menyesaki Hanin yang masih duduk di kursinya. Sebagian besar dari mereka menampilkan wajah sedih karena harus berpisah dengan Hanin yang akan pindah sekolah ke Jakarta.
“Apa yang terjadi sih, Nin? kemaren katanya kamu nggak ikutan pindah?” seorang siswi berambut keriting duduk di sebelah Hanin.
Hanin tersenyum sebentar, tatapannya kemudian beralih pada gerombolan yang kini sedang mengelilinginya itu. “Maafin aku ya teman-teman,” ucapnya pelan.
“Kenapa kamu harus pindah?”
“Kelas ini bakalan sepi kalo nggak ada kamu.”
“Please Nin... kamu jangan pindah dong!”
“Padahal kita udah kelas XII... kita semua udah janji bakalan tamat bareng-bareng,” timpal yang lainnya.
Hanin hanya tersenyum menanggapi berbagai komentar dari teman-temannya itu. Hatinya mulai disusupi rasa bersalah, namun dia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mematuhi kehendak mamanya.
“Anak metropolitan itu jahat-jahat lo, Nin,” ucap Donni, salah satu teman dekat Hanin.
“Kamu kebanyakan nonton sinetron, ah,” jawab Hanin.
Donni tertunduk lesu. Usahanya untuk memengaruhi Hanin rupanya tidak berhasil.
“Pokoknya aku cuma mau bilang makasih dan maaf sama kalian semua. Situasi ini diluar kendali aku dan aku pun juga nggak nyangka akan jadi seperti ini. Pokoknya walaupun aku pindah sekolah... aku nggak akan ngelupain kalian semua.” Hanin menghela napas sejenak. “Aku janji bakalan tetap jaga komunikasi sama kalian, oke?”
“Ahsiap...!”
“Baik komandan!”
“Laksanakeun!”
Hanin menatap wajah teman-temannya itu satu persatu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Tatapannya lalu beralih menatap ruang kelas yang tidak akan bisa dilihatnya lagi. Sudah terlalu banyak kenangan indah yang terukir di sana. Semua kenangan tentang kebersamaan, canda, tawa, dan kegilaan yang membahagiakan di kelas itu kini membuat hati Hanin meringis.
Hanin pun mulai berpamitan dengan satu persatu temannya. Ada yang memberikan pelukan hangat, ada yang menepuk pundaknya, ada yang mengusap kepalanya, ada yang menyenggol bahunya, dan ada juga yang enggan menatap matanya karena takut akan menangis.
Setelah prosesi perpisahan itu selesai, Hanin segera bangun dari duduknya. Seisi kelas kini sudah mulai lengang hingga akhirnya kosong. Namun, saat menoleh ke belakang barulah Hanin menyadari bahwa masih ada seseorang di dalam kelas.
“A-Awan?” panggilnya pelan.
Pemuda bernama Awan itu tidak menyahut. Dia bahkan memalingkan wajahnya menatap keluar jendela. Hanin pun melangkah pelan mendekati pemuda bertubuh tegap itu. Dia menatap sosok berambut ikal itu lekat-lekat, lalu tersenyum tipis.
“Kamu marah ya, sama aku?”
Awan mendelik. “Ngapain juga aku marah sama kamu,” jawabnya ketus.
“Terus kenapa sikap kamu kayak gitu?” tanya Hanin lagi.
“Emang aku ngapain? udah pulang sana.” usir Awan.
Hanin terdiam. Perasaannya kini berkecamuk menatap sosok yang biasanya selalu mengganggunya itu. Dengan ragu-ragu Hanin pun memberanikan diri untuk mengulurkan tangannya. Cukup lama tangannya menggantung di udara, sementara Awan tetap acuh dan tidak juga menjabat tangan itu.
“Kamu itu ngapain, sih?” Awan mulai terusik.
Hanin pun lekas menarik tangannya kembali. “A-aku—”
“Udah pulang sana!”
“T-tapi—”
Hanin kembali hendak bersuara, namun Awan bangkit dari duduknya dan mulai melangkah pergi. Gadis itu terdiam dengan jemari saling berpilin. Hanin hanya bisa menatap punggung itu dengan mata sayu. Sepertinya memang tidak akan ada salam perpisahan dari Awan untuknya. Hanin mencoba berbesar hati, tapi di depan sana Awan kini menghentikan langkah kakinya.
Awan berhenti dengan kedua tangan mengepal kuat. Dia memejamkan mata sejenak untuk menahan gejolak perasaannya. Setelah satu helaan napas yang panjang, dia pun menoleh sekilas menatap Hanin yang masih membeku di tempatnya berdiri.
“Hati-hati di sana!” Awan berucap pelan, kemudian bergegas melanjutkan langkahnya.
_