Myco meringis kesakitan karena tubuhnya di dorong kencang oleh Salwa hingga ia terjatuh di atas lantai.
Salwa bangun dari posisi tidurnya. Terduduk di atas ranjang, lalu menarik selimut putih tebal di sana untuk menutupi tubuhnya.
"Kamu tega sekali. Ini KDRT namanya." Myco masih terlihat kesakitan.
"Rasakan! Makanya jangan macam-macam padaku!"
Myco bangun dari posisi duduknya. Mengusap pinggang yang terasa sakit akibat benturan pada lantai.
"Memangnya salah kalau saya macam-macam sama istri sendiri? Kamu ini sangat aneh."
"Jangan lupakan kalau saya nggak sepenuh hati menerima pernikahan ini. Saya hanya menuruti apa yang Papa dan Mama inginkan. Jadi kamu jangan pernah menyentuhku paham!" Salwa berucap tegas.
Myco tersenyum miring. "Kamu juga harus ingat kalau sekarang saya adalah suami kamu. Tanggung jawab kamu ada pada saya, jadi kamu harus menuruti apa yang saya perintahkan."
"Jangan harap! Saya nggak peduli kamu suami saya atau bukan. Dan saya punya peraturan yang harus kamu turuti." Salwa bangun dari posisi duduknya, berjalan mengambil sebuah kertas dari dalam koper.
Perhatian Myco tak lepas dari Salwa, ia duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan istrinya.
Salwa berdiri di samping jendela kamar dengan kertas yang sudah berada di tangannya.
"Peraturan pertama, kamu nggak usah menganggap pernikahan ini nyata karena pernikahan ini hanya akan berlangsung selama satu tahun dan setelah itu kamu harus menceraikanku. Yang kedua, selama pernikahan ini berjalan kau tidak boleh menyentuhku. Ketiga, tidak boleh ada yang ikut campur dalam kehidupan pribadi. Keempat, kita dibebaskan untuk menjalin hubungan dengan siapapun." Salwa membacakan isi dalam kertas yang sudah ia tulis sebelumnya.
Salwa tersenyum puas menatap Myco yang terlihat sedikit terkejut setelah mendengar apa yang Salwa katakan.
Myco bangun dari posisi duduknya. Melangkah mendekati Salwa dengan tampang wajah datar. Membuat Salwa beringsut mundur.
"Mau apa kamu?" Salwa bertanya, waspada.
Myco melipat tangan di atas d**a. Menyeringai membuat Salwa mendadak gugup. "Peraturan macam apa itu? Dan apa katamu? Pernikahan ini hanya berlangsung selama satu tahun? Kamu memang gila."
"Ya! Saya gila karena kamu! Saya nggak pernah menginginkan pernikahan ini. Nggak pernah!" seru Salwa berteriak.
Myco tertawa. "Kamu nggak ingin pernikahan ini terjadi, tapi kamu bersedia menikah dengan saya. Kamu mengatakan kalau ini hanya sebuah perintah dari orang tuamu, lalu jika kamu menginginkan pernikahan ini berlangsung satu tahun, apa itu tidak akan mengecewakan orang tuamu? Itu sama saja kamu mempermainkan hati orang tuamu sediri, Salwa." Myco menatap tajam pada Salwa.
Bibir Salwa terkatup rapat. Ia ketakutan menatap Myco yag terlihat menyeramkan di matanya.
"Pernikahan adalah suatu hal yang sakral. Kita menikah bukan di hadapan penghulu, bukan di hadapan keluarga, ataupun para tamu undangan. Tapi kita menikah di hadapan Allah, diiringi doa yang suci berharap pernikahan kita akan sakinah, mawaddah, dan warahmah. Tapi sekarang kamu mengatakan kalau pernikahan kita hanya berlangsung satu tahun? Ada apa dengan jalan pikiran kamu, Salwa?" Myco menggeleng tidak percaya menatap Salwa yang diam saja.
Dalam hidup Myco, ia hanya menginginkan pernikahan sekali dalam seumur hidup. Tapi Salwa, gadis yang ia nikahi, yang menjadi pilihan hidupnya justru menginginkan pernikahan ini hanya pernikahan sementara.
"Tapi saya nggak mencintaimu." Salwa menundukkan kepala.
"Cinta bisa datang karena terbiasa. Karena seiring waktu. Dan saya percaya itu. Mari kita saling belajar untuk membuka hati dan menerima kenyataan," ujar Myco dengan wajah serius.
Salwa menggeleng lemah. "Nggak. Saya nggak bisa."
Myco menghela napas berat. "Kenapa? Apa karena kekasih mu?" tebaknya.
Salwa terdiam. Dalam hati Salwa hanya ada nama Nando dan mimpi Salwa ingin menikah dengan Nando, hidup bahagia dengan laki-laki itu. Bukan dengan Myco.
Melihat Salwa hanya diam tak merespon, membuat Myco yakin kalau memang Nando menyebabnya.
"Benar begitu, Salwa? Jika memang benar, saya minta kamu untuk mengakhiri hubunganmu dengan dia." Myco berucap dengan rahang mengeras dan kedua mata yang menyorot tajam.
Sontak, Salwa menatap tajam pada Myco. "Apa maksud kamu? Punya hak apa kamu mengatur hidup saya? Dengar ya, saya nggak peduli dengan omongan kamu itu. Terserah kamu mau menilai saya seperti apa, tapi satu yang harus kamu patuhi adalah poin-poin peraturan yang saya ucapkan tadi. Dan salah satu poin tersebut, kita bebas menjalin hubungan dengan siapapun."
Dengan perasaan marah, Salwa melangkah keluar dari dalam kamar.
Myco menghembuskan napas panjang. "Sabar, Myco. Ini adalah ujian pertama dalam biduk rumah tanggamu. Dan Salwa, saya akan mengikuti permainanmu. Dan lihat, siapa yang akan memenangkan permainan ini."
♡♡♡
Hembusan angin malam membelai lembut kulit wajah Salwa. Malam semakin larut dan gadis itu kini duduk di halaman belakang rumah. Menikmati udara dingin pada malam hari. Langit terlihat hampa tanpa bintang-bintang yang menghiasi. Sama seperti hati Salwa saat ini, sangat hampa.
Salwa sangat kesal dan marah pada Myco. Belum satu hari statusnya menyandang sebagai seorang istri, keadaan sudah serumit ini. Dan ternyata ekspetasi tak seperti kenyataan. Myco menentang keras peraturan dari Salwa dan meminta untuk mereka saling membuka hati dan menerim kenyataan kalau takdir telah mempersatukan mereka.
Salwa mendongakkan kepala. Udara malam yang dingin semakin menusuk kulit.
"Nando, aku merindukanmu. Rasanya aku ingin sekali memelukmu dan mengatakan semua keluh kesahku saat ini."
Delia baru saja dari dapur dan hendak kembali masuk ke dalam kamar. Lalu Delia dibuat terkejut saat tak sengaja melihat Salwa duduk seorang diri di halaman belakang rumah.
"Salwa, sedang apa dia di sana?"
Delia hendak melangkah menghampiri Salwa, namun sebuah tangan mencekalnya dari belakang. Delia menoleh dan mendapati Myco di sana.
"Myco."
"Bunda, kenapa belum tidur?" Myco bertanya.
"Bunda baru saja dari dapur, lalu nggak sengaja melihat istrimu di sana. Sedang apa dia? Kenapa kalian nggak istirahat? Memangnya nggak capek?"
Myco tersenyum. "Iya, Bun. Tadi Salwa bilang mau menikmati malam di luar dan sekarang Myco akan kembali membawanya ke kamar," ucap Myco berbohong.
Delia menganggukan kepala. "Bunda pikir ada apa. Ya sudah kalau begitu, Bunda akan kembali ke kamar dan kamu bawa Salwa masuk. Udara malam nggak terlalu baik untuk kesehatan."
Myco mengangguk. "Iya, Bun. Selamat malam."
Seperginya Delia, lantas Myco melangkah menghampiri Salwa.
"Tuhan, kenapa jalan hidupku seperti ini? Aku ingin bahagia bersama Nando, tapi rencanamu sungguh membuatku tersiksa."
Myco menghela napas berat saat mendengar ucapan Salwa. Myco sudah menduganya, pernikahan yang berlandaskan bukan atas nama cinta pasti akan seperti ini. Tapi Myco sudah menyiapkan hati sebelum akhirnya ia siap menikahi Salwa walau belum mengenalnya. Dalam lubuk hati Myco, ada sesuatu yang memaksanya untuk menerima Salwa sebagai pendamping hidup.
"Kamu nggak pantas mengeluh dengan apa yang sudah Tuhan takdirkan."
Suara bariton yang berasal dari belakang, membuat Salwa menoleh dan mendengus kesal saat melihat Myco.
"Mau apa kamu ke sini?" Salwa bertanya tanpa memandang Myco.
"Harusnya saya yang bertanya, kamu sedang apa sendiri di luar? Ini sudah malam dan sudah waktunya untuk istriahat."
"Nggak mau. Kamu saja sana yang istirahat. Saya akan tetap di sini," jawab Salwa.
"Saya nggak mungkin membiarkan istri saya sendirian di luar apalagi saat malam seperti ini. Udara malam nggak baik untuk kesehatan. Ayo masuk dan istirahat, memang kamu nggak capek setelah seharian mengikuti rangkaian acara pernikahan?"
Salwa mendengus kesal. "Saya bilang nggak ya nggak. Sudah sana masuk sendiri. Kamu sangat berisik."
Myco tersenyum miring. Lalu tanpa aba-aba, ia mengangkat tubuh Salwa dan menggendongnya ala bridal style.
"Aaaa!! Turunkan saya bocah! Lancang sekali kamu!" Salwa memukul-mukul d**a bidang Myco, berharap agar laki-laki itu mau menurunkannya.
Myco tidak mempedulikan teriakan penolakan Salwa. Pukulan dari Salwa pun tidak ada apa-apanya dan ia terus melangkah menaiki undakan tangga menuju kamar.
"Bocah jelek! Turunkan saya!"