Ini tepat pukul tujuh malam, Tika baru saja pulang dari tempat les. Sesampainya di rumah, dia melihat kedua orang tuanya menangis histeris seraya memegangi beberapa kertas yang sudah teremas-remas oleh papanya. Hal ini menjadi sebuah pertanyaan untuk Tika, karena dia ingat betul bahwa tadi pagi kedua orang tuanya masih baik-baik saja.
"Pa, Ma! Kalian kenapa? Kalian nangisin apa?" tanyanya pelan sambil berjongkok di depan kedua orang tuanya yang sudah tidak lagi muda.
Tika melihat mamanya, dan wanita paruh baya itu mengatakan bahwa semua investor yang sudah berinvestasi di perusahaan papanya, satu persatu menarik kembali investasi mereka. Kata lainnya, sekarang ini perusahaan yang dipimpin oleh papanya Tika, bangkrut sudah. Terlebih lagi, pihak perusahaan masih memiliki utang ke bank dalam jumlah besar dan juga masih harus menggaji karyawan.
Mendengar kabar buruk ini, Tika ikut menangis sejadi-jadinya. Dia tidak siap kalau harus hidup miskin tanpa harta yang bisa dia pakai buat ini dan itu tanpa susah payah bekerja keras terlebih dulu.
Kekagetan Tika tidak sampai sana saja. Semalam dia sudah dibuat syok oleh kabar bangkrutnya perusahaan sang papa. Dan pagi ini, Tika kembali mendapat kejutan dari kepala sekolah kalau per hari ini, gadis itu resmi di drop out dari SMA Golden's. Tak hanya itu, Tika juga tidak bisa mendaftar ke sekolah lain lagi.
Tangisan Tika tidak bisa berhenti begitu saja. Dia bahkan dijauhi oleh teman-teman dekatnya tanpa alasan yang jelas, dan itu membuat Tika merasa begitu terkhianati.
Kesialan sepertinya memang sedang berbondong-bondong mendatangi Tika sekeluarga. Saat gadis itu pulang ke rumah, dia melihat orang tuanya sedang didorong-dorong oleh seseorang yang tidak Tika kenal. Tak berselang lama, dari kejauhan Tika melihat seseorang yang mendorong kedua orang tuanya tadi, barusan menempelkan kertas bertuliskan Rumah Ini Disita. Benar-benar tak dapat dipercaya, Tika sampai membekap mulutnya sendiri karena dia tidak pernah membayangkan hal seperti ini terjadi padanya.
Ingatan Tika kembali ke kejadian kemarin lusa saat dia dengan sengaja memberikan buket bunga mawar kepada Ify. Mulanya, Tika tidak terpikirkan bahwa ini ulah Ify dan keluarganya. Tetapi saat Tika sudah melihat semua kekacauan yang terjadi, Tika jadi yakin kalau ini ada sangkut pautnya dengan Ify.
Gadis itu berteriak sekencang-kencangnya guna melampiaskan semua kekesalan yang menggumpal di dalam dadanya. Tika marah, dia ingin melabrak dan mematahkan semua tulang-tulang Ify. Sayangnya, Tika juga takut kalau dia melakukan itu, nanti malah dia yang akan lebih hancur berkeping-keping dari ini.
***
Dengan penuh perhatian dan kasih sayang, Rio membelai anak anjing berbulu putih yang ikut tinggal di rumahnya dari kemarin. Dia baru saja memberikan makan pada anak anjing yang diberi nama Kova.
"Makan yang banyak!" titahnya seraya membelai kepala Kova penuh rasa sayang.
Rio berdiri dari tempatnya, dia memasukkan makanan anjing yang belum dibuka ke dalam lemari pendingin. Ketika sedang membuka pintu kulkas, hawa dingin langsung terasa menyerbunya. Pandangannya kini tanpa sadar terfokus pada kalender yang ada di atas kulkas. Rio terus melihat kalender sobek yang memang sengaja digantung di sana agar dia selalu melihat tanggal karena Rio sering membuka tutup kulkasnya.
"Dia siuman." sebuah suara membuat Rio menolehkan wajahnya ke kiri.
"Bagus dong." sahutnya sambil membuka pintu kulkasnya lagi dan mengambil dua kaleng minuman soda untuk dirinya dan Raga.
Rio berjalan mendekat, lalu dia memberikan kaleng di tangan kanannya seraya menjatuhkan tubuhnya ke sofa tempat Raga duduk sekarang.
"Iya, memang bagus. Jadi aku bisa lebih cepat buat melanjutkan misiku." angguk Raga sebelum akhirnya dia menenggak minuman soda tadi sampai habis setengah kaleng.
Dengan sengaja, Rio menempelkan kaleng sodanya ke leher Raga hingga membuat lelaki itu memekik kaget dibuatnya. Sementara Rio, dia malah tertawa melihat Raga kaget atas tindakannya.
"Bagaimana? Berhasil?" Rio sengaja mengganti topik obrolan mereka karena dia terlalu malas kalau harus membahas tentang semangat Raga yang begitu menggebu-gebu setiap kali dia membicarakan Ify.
Sebelum menjawab, Raga lebih dulu melepas kemeja seragamnya dan meninggalkan kaos putih di tubuh kekarnya. Kalau begini, terlihat jelas perbedaannya kalau Raga itu bukan remaja yang masih berusia tujuh belas tahun.
"Berhasil dong." jawab Raga seraya menggoyangkan sedikit kaosnya, khas orang yang sedang membanggakan dirinya sendiri. Tapi kali ini bukan orang, melainkan malaikat.
"Ingat, kamu itu malaikat. Bukan manusia. Jadi kamu tidak boleh sombong." Rio terkekeh saat dia mengingatkan teman baiknya untuk tidak sombong dan dendam.
Raga mendesah pelan, dia mengiyakan nasihat Rio yang sudah sangat sering dia dengar. Saat sedang asik merebahkan badannya, tiba-tiba Rio dan Raga mendengar lonceng milik Raga berbunyi.
"Tuhan memanggilmu, cepat sana pergi."
"Aku juga dengar."
Sebenarnya, tadi Raga ingin mengistirahatkan dirinya sebentar karena dia kelelahan habis pulang sekolah. Namun Tuhan tidak merestui keinginannya dan lebih memilih memanggilnya ke surga. Kalau sudah dipanggil begini, mau tak mau, Raga harus pergi ke surga sekarang juga. Kecuali kalau dia berani menerima risiko mendapat hukuman karena telat.
Tanpa berlama-lama lagi, Raga langsung naik ke surga untuk memenuhi panggilan Tuhan. Tinggallah Rio seorang diri bersama Kova. Senyum di wajahnya kembali bersinar saat Rio melihat Kova yang begitu anteng mengeram di kasurnya.
"Syukurlah, kalau gadis itu sudah siuman. Tidak sia-sia aku memancingnya keluar menggunakan ingatan mamanya." gumam Rio pelan saat dia teringat bahwa tadi Raga membawa kabar tentang bangunnya Ify dari koma.
***
"Biarin aja si Tika ngerasain batunya, suruh siapa dia waktu itu nyari gara-gara sama lo."
Sudah hampir dua jam Via mengoceh tentang apa saja yang terjadi selama satu bulan Ify koma. Banyak yang Via ceritakan, tentang dirinya yang kesepian saat di sekolah karena tidak ada Ify. Perkara Via yang lupa mengerjakan PR karena menemani Ify di rumah sakit. Tentang Via yang setiap hari datang membawa buah-buahan untuk Ify, tapi kenyataannya buah itu habis sendirian dimakan Via. Dan terakhir, cerita Via mengenai hancurnya kehidupan Tika beserta keluarganya sesaat setelah Ify masuk rumah sakit dan dinyatakan koma.
Sebenarnya, saat ini Ify tidak benar-benar mendengarkan apa yang Via ceritakan. Tapi sialnya, meski Ify tidak mendengarkan, semua yang keluar dari bibir Via terserap ke dalam otaknya tanpa tertinggal satu kata pun. Padahal, sekarang ini Ify sedang memikirkan tentang lelaki bernama Rio yang dia temui di dalam mimpinya selama koma kemarin.
Pikiran Ify kacau karena satu nama, Rio. Lelaki pemilik senyuman manis yang begitu menarik. Tetapi bukan itu yang membuat Ify tertarik pada Rio, melainkan karena dia bisa melihat mamanya setiap kali dia berada di sekitar ladang mawar yang dia tahu bahwa itu ladang milik Rio.
Kenapa Mama harus muncul di sana? Kenapa gue bisa ngelihat Mama di tempat yang bikin gue ketakutan? Tanya Ify di dalam hatinya.
Kalau Rio itu beneran ada di dunia nyata, terus gimana gue bisa nemuin di mana dia tinggal?
Enggak, itu cuma mimpi kok. Gue yakin kalau Rio itu nggak ada di dunia nyata. Dia cuma teman di alam mimpi gue kemarin doang. Lagian, di sini mana ada ladang mawar seluas itu.
Fiks, Rio cuma ada di dalam mimpi. Dia nggak nyata.
"Fy! Ify! Lo dengerin gue cerita apa enggak sih?" karena kesal tidak mendapat respons dari Ify, Via memutuskan buat menggoyang-goyangkan paha temannya itu.
"Ish!" Ify mendesis seraya menoleh ke arah Via, membuat gadis berpipi chubby itu hanya nyengir kuda sembari mengangkat kedua jarinya membentuk tanda perdamaian.
Suara pintu dibuka mengalihkan pandangan Via dan Ify. Kedua gadis itu menatap ke arah Alvin yang baru saja masuk ke kamar Ify. Tanpa sepatah kata, Alvin menempelkan punggung tangannya ke kening sang adik. Alvin hanya ingin memastikan apakah suhu tubuh Ify masih panas atau tidak.
"Via!" Ify menolehkan wajahnya ke arah Via usai menyingkirkan tangan Alvin dari keningnya.
"Ya? Lo mau apa? Bilang sama gue." tanyanya penuh semangat 45.
"Out dari kamar gue. Telinga gue rasanya mau pecah denger mulut beo lo."
Bukan Ify namanya kalau tidak pedas kata-katanya. Via sudah biasa mendengar kata-k********r dan menyakitkan dari bibir Ify. Malah yang ada, saat Ify koma kemarin, Via merindukan u*****n dan kata-k********r dari teman karibnya itu. Sekarang, Via tersenyum girang karena akhirnya dia bisa mendengar bibir savage Ify lagi.
"Lo yakin nggak mau gue temenin bobok?" Via bukannya langsung pulang, dia malah sengaja menggoda Ify agar temannya itu emosi dulu.
Mata Ify melirik-lirik ke arah Alvin, seperti dia sedang meminta kakaknya buat mengantar Via pulang.
"Aww... Bang Alvin, apa-apaan sih ini?"
Via dibuat kaget ketika dia merasa Alvin menarik kerah kemeja bagian belakang sehingga mau tak mau Via pun ikut berdiri dan berjalan mundur buat mengikuti ke mana langkah Alvin. Via benar-benar tidak mengira, dia akan mendapat perlakuan seperti ini.
Ish, gue diseret tapi gue malah kesenengan begini. Dasar Via, sadar please, kalau saat ini tuh lagi diseret-seret kayak orang gila sama Bang Alvin. Pekik hati kecilnya, tapi Via tetap tidak bisa menyembunyikan senyuman bahagianya.