Awal Mula Bencana

1409 Words
Meisya sedang membutuhkan uang untuk biaya operasi ayahnya yang mengidap penyakit kanker. Meisya bingung harus meminta tolong kepada siapa. Dia tidak mau minta tolong kepada Pelangi lagi, karena perempuan itu sudah banyak membantunya. Meisya malu pada Pelangi. Sahabatnya itu sudah sering memberi bantuan berupa materi padanya, dan Meisya bahkan belum bisa menggantinya. Padahal mereka baru bersahabat kurang dari waktu 1 tahun, tapi Pelangi sudah melakukan banyak hal untuknya. Sedangkan Meisya, dia hanya bisa membantu Pelangi di saat sahabatnya itu kesulitan di salah satu mata kuliah. Tentu saja itu tidak sebanding dengan apa yang Pelangi lakukan untuknya. Meisya sudah berusaha untuk mencari kerja paruh waktu, namun dia belum mendapatkannya. Mencari pekerjaan part time tidak semudah yang diceritakan di kebanyakan n****+. Waktu itu ada teman SMA yang menawarinya, tapi kerjaannya bentrok dengan jadwal kuliah Meisya. Dia masih semester dua, jadwal kuliahnya masih padat. Meisya juga mendapat info lowongan kerja sebagai pelayan di sebuah club and bar yang jam pulang kerjanya kadang hampir dini hari. Itu lebih tidak mungkin lagi. Meisya tidak ingin kuliahnya jadi terganggu, dan pastinya sang ibu tidak akan mengizinkannya kerja di tempat seperti itu. Saat ini, Meisya, Pelangi dan Mario, kekasihnya Pelangi tengah makan bersama di kantin kampus. Kampus mereka berada di daerah Kota Kembang, Bandung. Meisya sebenarnya merasa tidak enak dengan Pelangi, takut mengganggu sahabatnya itu yang sedang bersama kekasihnya. Dia kadang sungkan untuk makan bertiga dengan mereka, tapi Pelangi sering memaksa untuk ikut makan bersama. Dan Mario, kekasih dari Pelangi itu tampaknya juga tidak keberatan dengan kehadiran Meisya di antara mereka. Pelangi—sahabatnya, adalah sosok yang baik, cantik, cukup pintar, anak orang berada dan mempunyai kekasih sempurna seperti Mario. Sedangkan Meisya? Dia hanya terlahir dari keluarga sederhana yang bisa kuliah berkat bantuan beasiswa. Kekasih Pelangi yang bernama Mario itu, cukup terkenal di kampus. Mario adalah kakak tingkat Meisya di kampus, Fakultas Teknik seperti Meisya dan Pelangi juga. Mario mempunyai otak yang cerdas, tajir dan tampan pastinya. Mario dan Pelangi sering dijuluki dengan couple goals sejak satu kampus tahu bahwa mereka berpacaran sejak putih abu-abu. Awalnya Meisya tidak menyangka bahwa ketua panitia ospek tampan yang sempat dikaguminya itu adalah kekasih dari Pelangi. Dia baru tahu mereka berpacaran, setelah masa ospek. Pelangi mengenalkan Mario kepadanya. Tidak, Meisya tidak patah hati mengetahui itu. Karena dia hanya sekedar mengagumi Mario. Sekarang, sejak awal semester dua kemarin, ada seorang kakak tingkat yang diam-diam disukainya. Seorang mahasiswa program pasca sarjana yang juga merangkap sebagai asisten dosen, Jerry namanya. Bakso yang di depannya tidak habis oleh Meisya. Dia tidak begitu nafsu makan sejak ayahnya dirawat. Dia bingung harus bagaimana mencari solusi atas perkataan dokter kemarin yang mengharuskan ayahnya untuk segera dioperasi. Padangan Meisya beralih pada dua sejoli yang berada di depannya. Meisya memperhatikan gerak-gerik Mario yang sedang menyuapi Pelangi makan. Sudah hampir satu tahun dia mengenal lelaki itu. Menurutnya, Mario adalah sosok lelaki yang baik, memang cocok dengan Pelangi. Tiba-tiba Meisya jadi terpikir sesuatu untuk masalah yang sedang dialaminya. Mudah-mudahan rencananya yang sedang ada di kepanya saat ini, bisa berjalan mulus. "Baksonya kenapa nggak dihabisin, Sya?" tanya Pelangi. "Gue udah kenyang, Ngi. Tadi di rumah gue sarapannya banyak," ujar Meisya berbohong. Dia tidak ingin Pelangi mengkhawatirkannya. "Oh, ya udah. Mau balik ke kelas sekarang?" "Boleh deh!" "Aku balik ke kelas dulu, Babe! Kamu masih mau di sini?" tanya Pelangi pada Mario. "Iya, Honey! Aku mau di sini dulu sebentar." Sebelum tiba di kelas, Meisya berkata pada Pelangi jika ingin ke toilet. Padahal Meisya ingin menghampiri Mario. Perihal masalahnya, Meisya akan meminta bantuan kepada Mario. Semoga saja lelaki itu bisa membantunya. Tidak ada salahnya jika mencoba, bukan? Meisya kembali lagi ke kantin, namun Mario sudah tidak ada di sana. Meisya celingukan mencari, ternyata lelaki itu sedang duduk di bawah pohon dekat lapangan basket. Dengan ragu, Meisya melangkah ke arahnya. "Kak Mario," panggil Meisya pelan. Mario yang sedang memainkan ponsel, mengalihkan pandangannya pada Meisya. "Iya, Sya. Ada apa?" tanyanya dengan kening berkerut melihat Meisya yang tampak gelisah. Meisya tampak gugup. Dia meremas rok yang dikenakannya. "Ada apa, Sya?" ulang Mario. "Sini duduk dulu." Dia menepuk tempat kosong di sebelahnya. Setelah Meisya duduk, Mario memberikan sebotol minuman yang tengah dipegangnya pada Meisya. "Minum dulu." Meisya menerimanya, membuka tutup botol, lalu meneguknya perlahan. Tuh kan, Kak Mario itu baik. Semoga aja dia adalah orang yang memang ditakdirkan untuk membantu gue. Diam-diam, sudut bibir Meisya sedikit terangkat. "Gue mau bicara sesuatu sama Kak Mario," ujar Meisya dengan kepala menunduk. Katakanlah bahwa dia tidak tahu malu, berani-berani ingin meminjam uang pada pacar sahabatnya. Mau bagaimana lagi, Meisya sangat membutuhkannya. "Penting?" "Penting banget, Kak!" Mario manggut-manggut dan mempersilahkan Meisya untuk berbicara. Meisya mulai menjelaskan semuanya, mengenai ayahnya yang harus melakukan operasi, namun terhalang biaya. Dia butuh pinjaman uang. "Tolong gue, Kak! Gue sangat membutuhkannya," ujar Meisya yang sudah berderai air mata. "Berapa yang lo butuh?" Meisya senang Mario sepertinya bisa membantu. "30 juta, Kak." "Hmmm... banyak juga." Mario menatap Meisya dalam, "Gue bisa bantu lo, tapi... kapan lo bisa ganti uangnya?" Meisya terdiam. Dia sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan, dari mana dia mendapatkan uang untuk menggantinya? Ibunya hanya seorang penjahit, penghasilannya tidak seberapa. Buat kuliah saja, Meisya bersyukur karena dia bisa mendapatkan beasiswa karena otaknya yang cerdas dari kecil. "Kalau gue bayarnya nyicil, boleh nggak? Gue nyari kerjaan dulu. Mudah-mudahan sebentar lagi dapet." "Lama!" decak Mario. "Maaf gue nggak bisa bantu!" "Kak, gue mohon... " "Lo nggak sanggup bayar, gue nggak bisa pinjemin." "Apa gue bisa bayar dengan hal lain?" tanya Meisya dengan menggigit bibir bawahnya. Mario tertawa. "Lo mau bayar pake apa? Motor yang biasa lo pake aja, harganya nggak ada seperempat dari uang yang mau lo pinjem.” Meisya tersinggung, tapi memang begitu lah kenyataannya. Memang berapa harga mootor bututnya jika laku dijual? Tidak terhitung kali motornya  itu mogok di jalan. "Gue akan bayar dengan tubuh gue. Gue masih perawan, lo mau dibayar dengan keperawanan gue?" Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Meisya. Dia sendiri juga tidak percaya, bisa-bisanya dia menawarkan hal itu. Mario cukup terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulut Meisya. Seorang sahabat yang selalu Pelangi banggakan, menawarkan sesuatu yang berharga baginya. "Lo yakin?" tanya Mario dengan mata menyipit. Dia memperhatikan ekspresi Meisya yang tampak tidak yakin dengan apa yang perempuan itu ucapkan baru saja. “Coba lo pikir-pikir lagi, Sya. Lo sadar dengan apa yang lo ucapin barusan?” Meisya mengangguk. “Gue yakin!” Mario berpikir sejenak sambil meneliti Meisya dari kepala sampai ke ujung kaki. Not too bad, batinnya. "Oke. Ikut gue sekarang!" "Ke mana?" "Hotel," jawab Mario santai. "Gue mau lo sekarang dan setelah itu, gue akan langsung transfer uangnya. Dan nggak perlu lo ganti. Anggap aja sebagai bayaran buat lo." “Hah?!” Meisya mendadak gelisah. Dia meremas jemarinya gugup. Kenapa begini jadinya? Di satu sisi, dia sangat membutuhkan uangnya. Bagaimana bisa dia mendapatkan uang dalam waktu sekejap? Melacur di club pun, belum tentu bisa mendapatkan sebanyak itu. Lalu, bagaimana jika bertemu dengan pelanggan yang kasar atau menipunya? Hati Meisya meragu, namun dia tidak punya pilihan lain. Dia sadar, kalau keputusan yang diambilnya ini adalah salah. Demi sang ayah yang sedang kritis, Meisya bisa apa lagi? Saudara dia pun hidup serba pas-pasan semua. Meisya juga heran dengan Mario. Apa dia tidak memikirkan perasaan Pelangi dengan menerima tawarannya? Yang artinya akan mengkhianati kekasihnya itu. Meisya bukannya tidak memikirkan perasaan Pelangi, namun apa dia ada pilihan lain saat ini? Mario bangkit dari duduknya, beda dengan Meisya yang masih terdiam. "Ayo! Kenapa masih diem aja di situ?" tanya Mario yang sudah melangkah lebih dulu, dan berbalik ketika Meisya tidak mengikutinya. "Se-sekarang, Kak?" "Iya. Kebetulan gue lagi nggak ada dosen setelah ini." "Tapi gue masih ada satu mata kuliah lagi." "Nggak usah masuk, sekali-sekali doang," balas Mario enteng. "Buruan ambil tas lo dulu sana! Gue tunggu di mobil, seberang jalan depan gerbang." Meisya menghembuskan napas berat. Dia berjalan gontai menuju kelas. "Ke toilet kok lama banget. Untung aja dosennya belum masuk," ujar Pelangi ketika Meisya baru tiba di kelas. Meisya menatap sahabatnya itu nanar. Timbul perasaan bersalah dalam dirinya. Dia akan berhubungan badan dengan pacar dari sahabatnya sendiri. "Ngi, maaf ya, kalau gue ada salah." Meisya memeluk Pelangi erat. "Kenapa lo tiba-tiba ngomong begini?" Pelangi mengurai pelukannya dan menatap Meisya dengan raut wajah khawatir. "Are you okay, Sya?" "Gue nggak apa-apa, Ngi. Cuma sedikit nggak enak badan. Tapi, sekarang kayaknya gue nggak bisa ikut mata kuliah Pak Sobri." "Gue anterin pulang kalau gitu. Gue mau bolos juga." "Enggak usah. Gue bisa kok, pulang sendiri. Gue balik dulu." Meisya buru-buru berjalan meninggalkan kelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD