PROLOG
“Gue... gue hamil, Kak,” ucap Meisya pelan, namun masih terdengar jelas oleh lelaki yang berada di dekatnya saat ini.
Lelaki itu sontak tertawa mendengarnya. "Nggak mungkin, Sya! Kita selalu main aman. Gue selalu ngeluarinnya di luar. Kalau kelepasan di dalam juga, seharusnya nggak masalah. Lo rutin minum pilnya, 'kan?"
"Gue minum terus, kok, setelah berhubungan sama lo. Lo lihat sendiri gue selalu minum itu."
"Apa lo pernah main sama yang lain juga?"
"Nggak pernah!" seru Meisya murka. Enak saja menuduhnya sembarangan. "Cuma sama lo doang, Kak." Mario memang meminta Meisya hanya berhubungan dengannya saja, tapi dia sendiri malah berhubungan dengan perempuan lain. Mario selalu memakai pengaman ketika bersama yang lain, itu cara dia meyakinkan Meisya agar tetap mau berhubungan dengannya tanpa memakai pengaman. Sungguh, Meisya tak kuasa menolaknya. Karena lelaki itu punya sesuatu yang dia gunakan untuk mengancam Meisya agar selalu mau menuruti apa pun keinginannya.
"Sekarang gue harus gimana?? Ini anak elo, Kak," ujar Meisya dengan air mata yang sudah mulai menggenang. Dia tidak akan menggugurkan janin yang tidak berdosa ini. Melakukan hubungan intim di luar nikah saja, dia sudah sangat berdosa. Apalagi membunuh janin yang sama sekali tidak bersalah ini?
"Nikahi gue, Kak... " lirih Meisya. Dia memegang pergelangan tangan Mario—memohon pada lelaki itu.
Mario terdiam.
Meisya tertegun ketika Mario melepaskan tangannya perlahan, pikiran negatif tiba-tiba saja muncul dibenaknya. Apa Mario menolak untuk menikahinya?
"Sorry, Sya. Gue belum siap menikah. Lo tahu sendiri alasannya. Kalau pun gue ingin menikah nantinya, Pelangi lah yang akan gue nikahi. Bukan elo, atau perempuan mana pun... "
Meisya tersenyum kecut mendengarnya. Dia merasa sedih atas penolakan Mario yang enggan menikahinya padahal dia tengah mengandung darah daging lelaki itu sendiri. Pelangi lagi dan lagi... kenapa harus selalu ada nama Pelangi? Perempuan yang sangat dicintai Mario sepenuh hatinya. Tidak seperti Meisya atau perempuan lain, yang bagi Mario, hanya sebagai pemuas nafsunya.
Meisya memejamkan kedua matanya sejenak dan kemudian membukanya perlahan. Dia harus bisa mengontrol emosinya saat berbicara dengan Mario. Kalau dia emosi, masalah tak akan selesai, yang ada Mario akan ikutan emosi juga.
"Tapi, Kak... gimana dengan nasib anak kita?" Meisya tak dapat membendung air matanya yang mulai berjatuhan membasahi pipinya. "Dia butuh seorang ayah."
"Kita bisa membesarkannya bersama, tanpa harus menikah," ujar Mario enteng—membuat Meisya membekap mulutnya tidak percaya.
Meisya menggelengkan kepalanya. Bukan ini yang dia mau. Dia ingin membesarkan anaknya bersama dengan Mario dalam sebuah ikatan resmi. Apa kata orang kalau tahu dia hamil tanpa suami? Orang tua Meisya juga belum mengetahuinya. Entah bagaimana tanggapan kedua orang tuanya nanti. Kedua orang tuanya yang hidup dengan ekonomi pas-pasan itu, berharap banyak kepadanya. Mereka ingin Meisya sukses suatu hari nanti.