Skrip-3

1384 Words
Mereka bersiap untuk makan malam. Ava membantu sang Mama menyiapkan hidangan di atas meja, tentunya dibantu oleh keponakannya yang lain. Selesai merapikan hidangan dan menata piring, Ava duduk di sebelah sang Kakak—Malvin. Makan malam dimulai dengan perbincangan singkat perihal Malvin dan para keponakannya. Tentu gilirannya juga akan segera tiba. Ava harus mempersiapkan jutaan jawaban agar tidak malu dadakan. “Nah, Ava … Skripsinya sudah bab berapa?” Banu—pamannya bertanya. “Masih tiga, Om. Tapi udah mulai coba nulis bab empat dan lima.” “Ada masalah di bab tiga?” Masalah? Masalahnya adalah dosbimnya itu—Arka. “Dosen pembimbing Ava selalu minta Ava revisi di bab itu. Padahal Ava udah kerjain dengan teliti.” “Mungkin ada hal yang kamu lupakan makanya kamu harus revisi.” Ava tidak menjawab. Stok jawaban untuk pertanyaan ini sudah habis. Lebih baik mengangguk saja dan menerima nasihat pamannya itu. “Udah, nikah aja, Va. Enak lagi, ada yang bantu skripsi kamu nanti. Lagian Mama kamu udah punya calonnya, tuh. Ya, kan, Del?” Adelia—mamanya itu tentu saja langsung berubah sumringah. “Iya. Lagian nanti juga nikah, kan? Dimajuin dikit nikahnya gapapa.” “Ava mau nikah, tapi dengan pilihan Ava sendiri, bukan pilihan Mama. Pasti kalo pilihan Mama Ava dikasih om-om.” Seisi ruangan langsung tertawa mendengar pernyataan Ava barusan. Padahal Ava yakin ia tidak sedang melucu. Malvin langsung menepuk bahu Ava. “Terus, lo maunya sama dedek gemes? Ava … Ava … Umur lo aja udah bisa dibilang tante-tante. Gak ada yang mau juga sama tante-tante.” Ava mencubit perut Malvin keras, membuat pria itu meringis. Tapi perkataan Malvin barusan benar-benar menohok hatinya. Apakah usia 25 tahun setua itu? Ah, tidak juga. Tapi dibilang tante-tante? Ava tidak bisa menyangkalnya, sih. “Nah, benar, tuh, kata Malvin. Lagian, Va, kamu belum ketemu, kan, sama calon dari Mama? Lihat dulu, baru komentar.” Ava mengembuskan napas pelan. Ia memilih menundukkan kepalanya sambil memakan makanannya dengan wajah super bete. Masa bodo … Ava sudah kehilangan minatnya untuk menjawab.   -----   Ava mengalungkan handuknya ke leher. Ia melanjutkan langkahnya, berlari kecil mengelilingi komplek. Sebenarnya Ava jarang olahraga, bahkan hampir tidak pernah. Tapi Ava menerobos rasa malasnya. Ia memutuskan bangun pagi-pagi sekali dan jogging di sekitar kompke. Tahu kenapa? Karena tantenya itu yang bernama Meyra masih ada di rumahnya. Dari seluruh keluarganya, hanya Tante Meyra yang tidak ia sukai. Sudah tahu kejadian semalam? Wanita itu memang senang sekali menyindirnya. Ava melepas penatnya dengan berhenti di bawah pohon lalu meneguk air minum yang ia bawa dari rumah. Di sebelahnya ada tukang sayur gerobak yang mangkal di sana. Ava mengenalnya—Pak Martin—tukang sayur langganan Adelia. “Pak Mar!” sapa Ava sambil berjalan menghampiri pria itu. “Eh, neng Ava. Tumben banget pagi-pagi begini udah keluar?” “Iya, nih. Saya bete di rumah, banyak maksiatnya.” Pak Martin tertawa pelan—tahu masalah apa yang ada di rumah Ava. Adelia sering bercerita jika satu keluarganya sedang kompak menasehati Ava agar segera menikah. Adelia yakin itu cara terbaik. Ia tahu betul anaknya itu. Ava akan merasa jengah dan lebih memilih mengalah. Itu sebabnya Adelia sengaja mengundang keluarga besarnya. Hal itu juga tidak luput diberitahukan pada Pak Martin ketika kemarin pagi Adelia sedang membeli sayur, bahkan meminta saran dari Pak Martin agar Ava mau menikah. “Neng Ava bosan, kan, di rumah? Kenapa enggak nikah aja? Kan, kalau nikah enggak harus ke rumah lagi. Enggak denger ocehan lagi.” Ava berdecak sebal. “Ih, Pak Martin! Kok malah nyuruh saya nikah juga? Pak Martin aja, deh, yang nikah. Ava ikhlas.” “Hush, ngawur! Wong saya udah punya cucu tiga, mau disuruh nikah lagi. Bisa ditimbun di dalam tanah duluan saya.” Ava hanya tertawa mendengarnya. Dari kejauhan Ares datang dengan napas terengah-engah. Tentu saja Ava terkejut. Tahu dari mana anak itu jika ia sedang ada di sini? “Ava!” “Lo tahu dari mana gue di sini? Atau jangan-jangan lo emang ngikutin gue, ya, dari tadi?” tebak Ava. “Gue?” tanya Ares sambil menunjuk dirinya, “ngapain gue ngikutin lo. Eh, gue ke sini karena mau cari bubur, emak gue minta. Gak sengaja ngelihat lo di sini, mana belom mandi, muka udah kaya gembel, makanya gue samperin.”  “Lo yang gembel!” teriak Ava tidak terima. “Di rumah lo masih rame? Sodara-sodara lo masih di sana?” Ava mengangguk malas sebagai jawaban. Ares hanya bisa geleng-geleng kepala. Kasihan sekali mantannya ini. “Ya udah, karena gue mantan sekaligus sahabat lo yang baik, gimana kalo kita liburan aja?” Mata Ava berbinar. “Serius? Mau! Ayo kita liburan!” seru Ava dengan senang. “Tapi … skripsi lo gimana? Bukannya lusa lo ada jadwal konsultasi?” tanya Ares memastikan. “Gue bisa izin. Pokoknya gue mau liburan, titik! Tapi lo yang bayarin, kan?” Ares mendengkus. “Iya, gue yang bayarin. Udah senang sekarang?’ Ava mengangguk cepat. Ia senang sekali. Akhirnya ia bisa liburan juga. ----- Ava terus memandangi ponselnya selama beberapa menit. Ia berniat membatalkan pertemuannya dengan dosennya itu, tapi kenapa iajadi gugup begini? Toh, ia hanya minta izin bukan minta pengampunan. Jika tidak minta izin, ia takut Arka akan menunggunya karena berpikir ia akan berkonsultasi soal skripsi. Bagaimanapun juga ia harus menelepon Arka. Dengan sekali tekan, Ava berhasil menelepon Arka. Nada sambung mengisi kesunyian kamar Ava. Tidak butuh waktu lama sebelum akhirnya Arka menerima teleponnya. Assalamualaiku, selamat siang, Pak.” Waalikumsalam. Kenapa, Ava? “Eng, itu, Pak. Saya mau minta izin minggu ini saya tidak bisa ke kampus. Saya ada … acara keluarga, Pak,” bohong Alya. Acara keluarga memang selalu jadi alasan terampuh untuk dapat izin. Tapi tidak tahu apakah berlaku untuk dosennya yang satu ini. Selama beberapa detik tidak ada jawaban. Kenapa hening sekali? Namun, baru saja Ava ingin mengatakan sesuatu, suara berat itu membuat Ava agak terkejut. “Iya, silakan.” Eh? Semudah itu? Benarkah? Padahal Arka adalah dosen yang paling susah ditemui karena waktunya yang sibuk. Tapi semudah itu memberiAva izin? Ah, mungkin Arka juga sudah muak menjadi dosbim Ava. “Eh, serius boleh, Pak?” tanya Ava memastikan, takut ia salah dengar. “Iya. Saya juga ada acara minggu ini, jadi tidak bisa.” Wow, pas sekali. Memang kebetulan yang menyenangkan. “Terima kasih, Pak.” Oh, iya, Ava. Acara keluarga jangan sampai membuat kamu lupa untuk merevisi bab tiga kamu. Gubrak! Skripsi lagi … skripsi terus. “Iya, Pak,” jawab Ava agak malas. Sambungan terputus. Ava gemas sekali ini melempar ponselnya itu. Apa semua dosbim semenyebalkan Arka? Tapi ia tidak pernah mendengar teman-temannya mengeluh dengan hal itu. Oke … mungkin dikehidupan ini Ava sangat sial. Ava merapikan pakaiannya dan menaruh di dalam koper. Wajah sumringahnya belum pudar sejak tadi. Rasanya senang sekali akan melakukan liburan ke Bali—tempat paling pas untuk didatangi seorang Ava yang jomlo ini. Siapa tahu jodohnya bule. Iya, kan? Adelia berdiri di ambang pintu, menyilangkan kedua tangannya sambil menatap putrinya yang sedang sibuk membereskan pakaian. “Kamu pergi jam berapa besok?” “Jam 10 pagi, Ma.” “Sudah siap semua barang-barangnya?” Ava berdiri lalu mengangguk cepat. Ia tersenyum. “Udah, dong.” “Senang, ya, mau jalan-jalan.” Adelia menghampiri putrinya itu. “Mama boleh minta tolong? Antar Mama ke butik teman Mama. Malvin lagi pergi.” “Pak Anto?” “Pak Anto lagi Mama suruh bersihin taman belakang. Sudah ayo antar Mama sebentar. Mama cuma mau lihat baju pesanan Mama. Habis itu kita pulang lagi.” Ava mengangguk. Ia mengambil sweater abu-abunya lalu berjalan mengekori Adelia. Menolak mamanya untuk menikah Ava tentu bisa. Tapi jika menolak permintaan tolong … Ava akan berpikir dua kali. Hidupnya ini sudah tidak menghasilkan apa-apa, jika ia jadi anak durhaka … lebih baik mati saja.  Ava menepikan mobilnya disebuah ruko besar bertuliskan Fara collection. Oke … bangunan yang cukup menarik baginya. Ava mengeluarkan camilan yang ia tsruh dikursi belakang. Ia menaikkan kakinya ke stir lalu tangannya bersiap untuk membuka snack itu. Ia urungkan ketika Adelia membuka pintu mobil. “Ayo, ikut!” “Loh, Ava juga ikutan masuk, nih?” tanya Ava kebingungan. Tahu begitu, Ava akan memakai pakaian yang cantik. Lihatlah penampilannya ini … hanya celana jeasn dan sweater. Padahal yang akan ia masuki adalah butik mewah. Ava menyesalinya sekarang. “Ya udah, deh,” pasrahnya. Ia turun dari mobil, berjalan mengekori Adelia. Benar saja … butik ini tidak hanya mewah di luar tapi juga di dalam. Luar biasa. Ava selalu bercita-cita punya butik sendiri, memakai pakaian hasil rancangannya. Bukankah luar biasa? Tapi apalah daya Ava yang tidak bisa berkuliah di jurusan designer karena biaya yang sangat mahal. Ava tahu diri … saat itu keungan keluarganya sedang jatuh, belum lagi ayahnya yang sakit dan harus mengeluarkan biaya besar. Tapi untungnya … keuangan mereka kembali stabil berkat Malvin. Kadang Ava bangga sekali dengan pria itu. “Adelia!” panggil seseorang yang baru saja keluar dari kantornya. “Hai, Ra,” sapa Adelia balik. “Kamu ke sini sama siapa?” Adelia langsung menarik tangan Ava, menyuruh gadis itu memperkenalkan diri. “Ava, Tante,” sapa Ava sambil mencium tangan Fara dengan sopan. “Cantik,” puji Fara. Ava jadi besar kepala jika begini. “Avalyn Exienne?” “Eh, kok, Tante tahu?” Wanita bernama Fara itu hanya tertawa pelan lalu merangkul Ava dan berbisik, “Tahu, dong. Calon mantu Tante.” What the?! ---To be continued---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD