Skrip-2

2040 Words
Ava menggeliat pelan kala mendengar suara berisik tepat di telinganya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali sampai akhirnya terbuka sempurna. Pertama kali yang netranya tangkap adalah sosok makhluk Mars menyebalkan yang sialnya adalah Kakaknya. “Berisik, woy!” omel Ava sambil mendorong tubuh Malvin menjauh. “Bangun, Tuan putri! Buruan ikut gue!” Ava mengucak matanya, lalu menguap. “Ke mana, sih?” “Ketemu Tom Holland!” Ava memutar bola mata malas, tahu bahwa Kakaknya ini tidak pernah serius jika ditanya. Bodohnya, sudah tahu begitu, ia tetap bertanya. “Gak mau, ah! Ngantuk gue!” “Ck, buruan, Va. Temenin gue cari kado buat Gia.” “Di mana? Di pasar? Ogah gue, mager jalan.” “Di Mall!” Mendengar itu, Ava langsung membuka mata sempurna. Ia bangkit dengan senyuman di wajahnya. “Tunggu gue, 15 menit lagi rapi.” Anak itu langsung berlari menuju kamar mandi setelahnya. Dasar Ava. Jika sudah berkaitan dengan Mall, anak itu langsung jadi penurut. Luar biasa sekali adiknya ini. Malvin memilih menunggu di ruang tamu. Benar saja … 15 menit kurang 1 detik, Ava sudah rapi dengan jeans hitam dan kemeja biru langitnya. Malvin mendengkus. “Gercep, ya, lo, kalo disuruh ke Mall.” Ava tidak menjawab, ia malah langsung berjalan mendahului Malvin dan duduk manis di dalam mobil. Tentunya tujuan utama mereka adalah membelikan kado untuk Gia—pacar Malvin. Setelah menemukan apa yang dicari, giliran Ava yang beraksi. Malvin sampai kelimpungan karena Ava yang tiba-tiba saja pergi. Bukannya apa, masalahnya … ATM nya dipegang Ava. Kalau bukan karena ATM nya, Malvin lebih baik kabur dari sana sebelum Ava menguras habis uangnya. Tapi bukan Ava namanya jika tidak tahu tak-tik Malvin. Itu sebabnya, ATM pria itu Ava yang pegang. Sebenarnya tidak apa juga membiarkan Ava memakai ATM nya. Toh, sebelum mengajak anak itu ke Mall, Malvin sudah tahu ini akan terjadi. “Lo mau beli apa, sih, Va? Langsung beli aja, sih! Enggak usah muter-muter gini, puyeng, ah,” keluh Malvin yang sedari tadi mengikuti Ava mengelilingi beberbagai ruko. “Gue pengin makan sushi aja, deh. Males belanja, gue lapar.” “Alhamdulillah,” gumam Malvin. Setidaknya sushi lebih baik daripada Ava merampok uangnya untuk dibelikan tas dan barang lain. Tentu saja Malvin langsung antusias dan menarik lengan adiknya itu ke arah salah satu restoran sushi terkenal di sana. Ketika mereka sedang berjalan menuju restoran sushi, netra Ava menangkap sosok tak asing yang tengah berjalan dari arah berlawanan. Ava langsung menarik Malvin dan menyuruh pria itu memutar balik, namun lagi-lagi Mavin tidak pernah mau menurut. Pria itu mengikuti arah pandang Ava, lalu tertawa pelan. “Gue males banget ketemu dia. Nanti gue kena siraman rohani. Udah, deh, kita balik aja.” “Itu Arka, kan?” Ava menatap Malvin dengan wajah heran sekaligus terkejut. “Lo kenal?” Malvin tersenyum singkat. Pria itu langsung melambaikan tangannya, memanggil sosok pria yang dihindari Ava. “Arka!” Sialan emang lo, Vin! Ava mencoba tersenyum saat Arka menoleh ke arah mereka. Pria itu menghampiri keduanya. Kalian tahu apa fakta menyebalkan yang Ava ketahui beberapa detik lalu? Malvin mengenal Arka. Apakah ini definisi dari DUNIA MEMANG SEMPIT?! “Habis dari mana, lo?” tanya Malvin. “Cari ini,” katanya sambil menunjukkan sebuah kantong berisi satu box donat, “nyokap minta.” Malvin mengangguk. “Eh, kita lagi mau makan sushi di sana. Lo mau ikut, gak? Ditraktir Ava.” Ava melotot. Ia ingin sekali menjambak rambut Malvin jika saja tidak di depan umum. Ava melirik Arka sekilas, penasaran dengan ekspresi pria itu, namun yang ia temukan hanya wajah datar Arka yang menyebalkan. “Dalam rangka apa?” tanyanya dengan suara berat khas yang mungkin akan menjadi alunan indah untuk gadis lain, tapi tidak dengan Ava. Seseksi dan seberat apapun suara Arka … tetap saja jatuhnya menyeramkan. “Cicak di kamar Ava abis beranak, makanya mau buat tasyakuran.” “Lucu banget, lo, sumpah,” gumam Ava dengan wajah yang super-duper jengah. “Saya, kan, baik hati, Pak. Makanya saya traktir,” itulah jawaban Ava sebelum akhirnya berjalan lebih dulu mendahului kedua pria itu. Ava pikir, Arka tidak akan ikut. Tahu sendiri seberapa sibuknya pria itu. Ternyata dugaanya melesat lagi. Ava hampir tidak percaya, duduk di depan seorang Arka yang kini menyantap sushinya dengan tenang. Sedari tadi ia hanya memainkan sumpitnya, selera makannya entah hilang ke mana. Belum lagi … ialah yang harus membayar semua ini. Padahal uang di dompetnya semakin menipis. Ia, kan, tidak kerja, jadi hanya mengandalkan uang dari Kakaknya itu. “Kenapa gak dimakan, Va? Lo lagi pura-pura gak doyan sushi?” Jujur saja, Ava ingin sekali menabok mulut Malvin. Kenapa, sih, pria itu harus diciptakan dengan mulut menyebalkan? “Berisik. Habisin aja punya lo!” “Oh, iya, Va. Arka ini teman sekampus gue dulu. Gue gak tahu kalo Arka itu dosen pembimbing lo.” “…” “Eh, dengar-dengar juga, lo mau nikah, ya, Ka?” tanya Malvin membuat Ava agak terkejut mengetahui dosennya ini akan menikah. Ava menatap Arka, menunggu jawaban dari pria itu. Arka terlihat biasa saja. Ia mengangguk singkat. “Iya.” Ava menganga. “Wah, Pak Arka mau nikah? Selamat, ya, Pak. Akhirnya Bapak nikah juga.” Arka menaikkan sebelah alisnya, menatap Ava yang tengah tersenyum. “Memang kamu pikir saya tidak akan nikah?” Ava berdeham. Ia menggaruk belakang kepalanya. “Ya, enggak gitu juga maksudnya.” “Ava,” panggil Arka dengan suara agak kecil, nyaris tidak terdengar. “Iya, Pak?” Ava menunggu Arka berbicara. Pria itu menatapnya tanpa ekspresi, membuat Ava jadi gemas sendiri. “Iya, kenapa, Pak?” ulang Ava, siapa tahu dosennya itu benar-benar punya masalah pendengaran. “Biar saya yang bayar.” ----- Ava membuka tumpukkan buku yang memang diberikan oleh Arka untuk refrensi skripsinya. Rasanya malas sekali membuka buku-buku usang itu, terlebih karena ia sudah muak bab 3 skripsinya selalu tidak di ACC. Ia mendengar teman-temannya yang sudah menyelesaikan skripsi mereka dengan proses yang lancar dan manis. Tapi kenapa Ava tidak merasakannya sama sekali? Apa karena dosen pembimbingnya adalah Arka? Atau karena memang dirinya sesial itu? Ava menjatuhkan kepalanya ke atas meja, melirik jam di ponsel yang menunjukkan pukul 23.20. Sudah semalam ini dan yang Ava dapatkan hanya rasa malas. Ava frustrasi sekali. Ia membenturkan kepalanya di atas meja beberapa kali. “Capek, stres, pengin tenggelam aja rasanya,” rengeknya. Ponselnya berdering, sebuah panggilan dari Ares. Ava langsung menerimanya. “Halo, mantan.” Ava mengerucutkan bibirnya. “Ares, gue stres. Gue butuh hiburan.” Ares adalah mantan Ava. Keduanya putus setahun lalu. Meskipun putus, mereka memtuskan untuk tetap menjadi teman. Sejak awal mereka memang teman dan bagi Ava, hubungan di luar pertemanan tidak boleh memutuskan kedekatan. Itulah prinsip mereka. Ares tidak hanya teman baginya, tapi juga satu-satunya orang yang memahami Ava lebih baik dari Malvin. “Masih belum selesai juga skripsinya?” “Belum, Res. Bayangin aja, bab 3 gue udah 5 kali disuruh revisi, apa enggak stres?” “Gila emang dospem lo yang satu itu, Va. Kayaknya dia banyak masalah hidup.” “Lo gak tahu, seberapa nyebelin dia.” “Ya udah, terima aja. Positive thingking, dia mau lo punya skripsi yang bagus supaya dapat A.” “Ya enggak dengan cara bikin gue stres, kan? Oh, ayolah … cara kaya gini gak asik.” “Gini, deh. Gimana kalo lo ke balkon sekarang?” “Balkon?” Ava bangkit dari duduknya, berjalan cepat membuka pintu yang menghubungkan kamarnya dengan balkon, lalu ia melirik ke bawah. Ares melambaikan tangannya lalu menunjukkan tiga cokelat kesukaan Ava. Ia tersenyum, lalu bergegas turun ke bawah dan menghampiri Ares yang berdiri di halaman rumahnya. “Manjat lagi?” Ava berani bertaruh, pasti Ares datang diam-diam, memanjat tembok samping rumahnya yang memang mengarah ke halaman, seperti yang biasa pria itu lakukan. “Padahal ada pintu gerbang. Kan Pak Bima masih jaga. Pake manjat segala kaya monyet.” “Biar kerasa berjuangnya, Va. Biar kaya cowok-cowok di novel.” “Ya, kan, lo udah tua! Nanti nyeri tulang baru tahu rasa.” “Gapapa, asal ketemu lo.” “Geli, Res.” Pria itu tertawa. Ia menyodorkan tiga batang cokelat yang sengaja ia beli di supermarket tadi. Ia tahu, Ava sedang stres dengan skripsinya itu. Sebagai sahabat sekaligus mantan yang baik, Ares selalu tahu apa yang Ava perlukan, Apa yang Ava suka, dan apa yang harus ia lakukan untuk membuat Ava kembali tersenyum. Begitulah tugas sampingannya. “Gue bawain penghilang stres.” “Makasih.” “Keluarga besar lo jadi datang besok?” Ava mengangguk sambil mengunyah cokelatnya. Mereka duduk di gazebo berhiaskan lampu remang-remang. “Gue males banget. Pasti mereka dateng cuma buat ngolok-olok gue doang. Gue yakin mereka sama aja kaya mama—nyuruh gue nikah.” “Terus kenapa lo gak nikah aja, sih? Biar semua clear.” “Gak gitu konsepnya, Res. Gue pengin wisuda dulu, kerja, cari uang yang banyak, senang-senang, ketemu CEO ganteng, siapa tahu gue jodohnya CEO.” Ares menoyor kepala Ava sambil tertawa pelan. “Umur lo udah mau 25. Jaman sekarang, rata-rata laki-laki cari yang umurnya masih muda. 22 tahun usia idealnya. Ini bukan lagi jaman di mana lo bisa nikah seenak jidad lo. Lagian, cari duit itu urusan suami. Lo cari berkahnya di rumah. Oke gak, tuh, gue ngomongnya?” Ares tertawa sendiri menyadari apa yang baru saja ia katakan. “Orang pasti tahunya gue sekarang umur 22.” “Muka lo emang awet muda, tapi usia lo gak bisa.” “Kok, lo jadi kaya mama, sih? Nyuruh gue nikah? Nyebelin banget.” “Lo emang harusnya nikah, Va. Serius. Biar lo tahu … hidup itu singkat, banyak yang harus dikejar, apalagi nikah itu ibadah terlama. Kalo lo gak ada umur buat ngerasin ibadah itu gimana? Udah mana lo hidupnya gak berfaedah. Siapa yang mau lo salahin? Enggak mungkin gue pastinya.” Memang benar apa yang dikatakan Ares. Tapi tetap saja ia belum mau menikah. Ia masih senang sendiri, bermanja dengan mamanya, meminta dibelikan barang oleh kakaknya, dan hal-hal yang bisa ia lakukan tanpa harus memandang statusnya sebagai istri siapa dan milik siapa. Iya, jika suaminya tidak pelit dan banyak uang. Bagaimana jika tidak? Bagaimana nasib hidup Ava? Apalagi jika ia punya anak. Ava belum siap jadi orang tua. Tapi soal hidup ini singkat … Ava rasa ia terlalu mengabaikan waktunya, menunda banyak hal, salah satunya menunda kuliah selama 2 tahun, yang akhirnya ia masih harus berkuliah sedangkan teman-temannya sudah mendapatkan pekerjaan impian mereka. Membebankan kakaknya untuk membiayai kuliahnya juga bukanlah keinginan Ava. Sejak Ayahnya meninggal, Malvin lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ya, meskipun keluarga mereka adalah keluarga berada karena Malvin mengelola perusahaan keluarga. Tapi jika Malvin sudah menikah sudah pasti tanggung jawabnya sebagai suami harus diingat. Ava tidak mungkin terus menjadi benalu di hidup pria itu. Ia memang tidak ingin berkuliah, tapi ia tahu betul, di jaman sekarang mana ada pekerjaan yang bisa diambil jika bukan sarjana? Mungkin ada tapi kecil peluangnya. Ia menghela napas pelan, menundukkan wajahnya, berpikir apa yang akan ia katakan selanjutnya. Namun yang keluar hanyalah, “Gue stres banget, sumpah.” "Lo bilang gitu, gue jadi ikutan stress, Va. Serius, dah." Ares menyilangkan kedua tangannya.  "Pengin menghilang aja dari bumi ini. Pengin ngungsi ke Mars." "Gila, dasar!" -----  Ava memerhatikan dirinya dari pantulan cermin. Dress selutut, make up yang tidak terlalu kentara, serta rambut yang ia biarkan tergerai. Ia memang cantik, dijadikan sebagai gandengan saat kondangan juga tidak akan membuat malu. Tapi kenapa sampai sekarang ia masih jomlo? Tidak ada tanda-tanda seorang pria yang ingin menjadikannya kekasih selain Ares. Oh, ayolah … hanya Ares mantan yang ia punya. Mantan teman-temannya saja bisa dihitung, kenapa ia tidak? Ava memutar bola mata malas, lalu mengembuskan napas pelan. Ia berjalan ke luar kamar dengan wajah tidak bersemangat. Tahu kenapa? Karena hari ini keluarga besarnya datang. Suatu momen di mana Ava ingin menghilang saja dari bumi. Asal kalian tahu … setiap ada perkumpulan keluarga, topik pembahasan mereka tidak pernah berubah; Ava. Benar saja, ketika ia baru sampai ke lantai bawah, sebuah pertanyaan langsung terlontarkan untuknya. “Ava masih belum wisuda?” “Eh, Ava. Kirain turunnya bareng suami.” “Kak Ava kenalin pacarnya Kak Ava ke kita, dong!” “Anak gadis baru keluar kandang, nih.” Semua pertanyaan itu benar-benar membuat Ava ingin berteriak, membungkam mulut mereka agar berhenti bicara. Namun kenyataannya, Ava hanya tersenyum. Ava tidak seberani itu. “Va, kemarin Tante ketemu mantan kamu itu, siapa namanya?” Ava menaruh gelas berisi jus yang baru saja ia minum ke atas meja. “Ares.” “Iya, Ares. Dia ganteng, kalian cocok. Kok, putus?” Hello! Kami udah setahun lalu putusnya dan situ baru nanya sekarang? Ava tidak langsung menjawab karena ia pikir Tantenya itu hanya basa-basi saja. Buat apa membicarakan Ares? Jika anak itu tahu kalau dirinya dijadikan perbincangan, akan betapa bangganya dia? “Kamu yang diputusin, ya?” Ah, oke … Ava sudah tidak tahan. Ia menaruh toples berisi permen itu agak kasar. “Ava yang mutusin, Tante. Lagian kami putus setahun lalu. Tante gak punya topik pembicaraan lain? Kenapa senang banget ngurusin hidup Ava?” Hebat! Ava kini mengeluarkan sifat aslinya. Hahaha … wanita paru baya itu langsung diam seketika, tidak lagi bertanya pada Ava. Beginilah keluarganya. Harusnya pertemuan ini menjadi silaturahmi, bukan untuk ajang gosip. “Maafin, Tante Mey, Kak Ava,” kata salah satu keponakannya yang baru saja lulus SMA. Tante Mey Cuma nanya aja karena pengin tahu. Jangan marah, ya,” bujuk gadis bernama Gia itu. Ava memilih pergi dari sana, mencoba menenangkan pikirannya yang sedang kacau. Kenapa Tantenya yang satu itu senang sekali mengurusi hidupnya? Ava tahu betul Tantenya itu tahu bahwa ia dan Ares sudah putus sejak lama. Dia hanya mencoba mengungkitnya kembali. Mungkin berniat menyindir. Menyebalkan! --To be continued--
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD