Ketua kelas?

2565 Words
Sampai sekarang pun, Inara masih dalam keadaaan sama, yaitu bingung. Sangat bingung tepatnya.  Kenapa mereka semua menganggap Inara adalah ketua kelas, kelas disini? Ntahlah. "Aduh-aduh! Ck, Kurcaci-kurcaci disini! Malah diam saja, lihat! ketua kita, tampak letih! Ayo segera bawa ke kursi VIP! Cepat- cepat!" Teriak seseorang dari belakang. Terlihat, gadis imut kurang lebih setinggi bahu inara, memakai seragam sekolah yang dibalut Hoodie biru gelapnya. Dengan penutup kepala dan kacamata ala wibu. Gadis itu menarik tangan Inara untuk segera duduk di sebuah kursi yang tampak berbeda dari kursi siswa umumnya. Kursi dan meja itu tampak mewah, bahkan terlihat berkilauan. Inara terkagum-kagum melihat sepasang meja belajar itu. "Tunggu apalagi? Ayo duduk." Sembari mempersilahkan Inara. " Oh, sini ketua! Saya bantu taruhkan tas anda." Masih dengan gadis bergaya wibu tadi. Ia menarik secara spontan tas yang masih bertengker di bahu Inara. Itu membuat Inara kehilangan keseimbangannya. Karena jarak tinggi mereka yang lumayan jauh perbedaannya. Tapi, entah darimana ada sebuah tangan kokoh yang menopang bahu punggung Ina. Masih belum diketahui, siapa yang menolong gadis cantik itu. "M-mmakasih." Ucap Ina, kemudian menyeimbangkan keseimbangan yang tadi dirampas oleh gadis imut yang belum diketahui namanya. "Gue kan pangeran di kelas ini, semua masalah anak-anak cewe disini, harus gue yang jadi pahlawannya! Haha!" Omongan pria itu terdengar songong sekali. Tunggu! Tapi, Inara sepertinya familiar dengan suara tersebut. Kemudian Ina berbalik badan untuk mengetahui siapa orang yang telah menolongnya.  Betapa kagetnya Ina, hingga ia membelakkan kedua matanya. Mengerjap-erjap beberapa kali, untuk memastikan bahwa ia sedang tidak halusinasi. "Elo!?" Pekik Inara seorang diri seraya mengacungkan jari telunjuk pada sosok pria di hadapannya yang tak lain adalah Leon. Leonara, anak dari pengusaha kelas kakap. Dan salah satu siswa berpengaruh di sekolah itu. "Wah, lu ya, siapa nama lu tadi? Em … siapa ya ..,-" Leon tampak seperti memikirkan suatu hal penting yang harus dirinya ingat. Jari jemari kokohnya mengelus bagian bawah dagunya. Wajahnya tampak berfikir keras, namun ia tampaknya benar-benar lupa. Oh, atau jangan-jangan. Hari ini, Leon sudah berkenalan dengan banyak wanita? Jadi, ia dengan cepat melupakan nama Ina.  Padahal, nama 'Ina' itu dirancang khusus begitu singkat, agar teman-teman maupun orang terdekat Ina dapat mengingat nama gadis cantik itu dengan mudah.  "Ck, nama gue Ina." Celetuk Ina sembari memasang mimik wajah tidak suka, disela-sela saat Leon yang Sibuk memikirkan nama gadis cantik itu. "Oh, iya ya. Hahaha maaf, lupa." Ucap Leon sambil memegang pundak Ina. Tentu saja, karena perlakuan sederhana tersebut, wajah Ina memerah bak kepiting rebus. Siapa yang tidak akan baper jika diperlakukan seperti itu?! "Wah, kenapa tuh muka lu. Jangan jangan, sakit!?" Leon terkesan sedikit panik dengan omongan itu. Seketika, teman-teman barunya itu panik sekaligus cemas mendengar hal itu.  "Apa?! Ketua kelas sakit?! Mari, saya antar ke ruang UKS!" Celetuk cewe imut tadi. "Heh Dion! Jangan diem aja! Lo PMR kan!?" Gadis imut itu menatap tajam ke arah cowok yang sedang asyik menatap layar hpnya, lebih tepatnya permainan yang ada di dalam handphonenya. Merasa tak digubris, gadis itu segera menarik Smartphone milik Dion. Tentu hal itu membuat Dion naik pitam. Lelaki itu bangkit dari kursinya, menatap tajam gadis mungil di hadapannya itu. "Apaan, sih! Sini!!" Oceh dion sembari menarik kembali smartphonenya. "Dasar cerewet. Penganggu, ck." Sambungnya. Kemudian duduk kembali pada posisi semula, posisi ternyaman baginya. "Ish! Dasar PMR gabecus!!! Huh!" Kemudian gadis imut itu berteriak kencang tanpa henti sekitar kurang lebih satu menit. Itu merupakan ciri khas gadis imut tersebut, karena suasana hatinya yang benar-benar tidak baik. Yang tentunya hal itu membuat kegaduhan tersendiri untuk kelas tersebut. Dan juga spontan seisi kelas menutup telinga mereka karena kebisingan tersebut. Suara gadis itu terdengar sangat nyaring, sungguh memekakkan setiap yang mendengarnya. Tiba-tiba datang seseorang bertubuh kurang lebih 175 cm, dari sisi belakang kelas menuju kerumunan ramai itu. Tempat dimana terjadi kesalahpahaman antara Inara dan teman-teman barunya. "CACAK, BERISIKK!!!" pekik salah satu cewek di kelas itu. Tampilan seragamnya seperti brandalan, ditambah gesture badan tinggi. Bahkan lebih tinggi dari Inara. Mukanya sangat jutek, tidak ada yang tahu bagaimana sifat aslinya wanita itu. Yang jelas, kesan pertamanya lumayan nyentrik. Wah, siapa tuh cewe. Galak amat, dah ... -batin Inara. Sekarang, semua pandangan murid seisi kelas hanya terlampau kepada cewe brandalan itu.  "Apa Lo liat-liat!" Sekali lagi, cewe itu tampak lebih menyeramkan dari yang tadi.  "Udah-udah .., bubar!!!" Pekik sang gadis imut. Kemudian menarik tangan gadis berandalan keluar dari kelas. Tidak ada yang tahu, mengapa mereka bertingkah aneh seperti itu. Apakah mereka musuh lama? Atau ada hubungan apa? Hubungan yang seperti apa? "Aneh …" monolog ina dengan wajah polosnya. Tepat pada saat itu juga, lelaki disebelahnya melirik sinis Ina. Padahal, mereka belum berkenalan. Bahkan Ina tidak mengetahui siapa lelaki itu. "Hah …?" Tanya Ina terheran-heran tak mengerti apa maksud dari lirikan itu.  Apasih, aneh banget. Bodoamat lah, jir … -batin Ina.  Kringgg!!! Tiba-tiba bel sekolah berdering begitu keras sampai-sampai membuat siswa dan siswi yang masih berada di koridor terkaget-kaget. "Eh! copot-copot, ayam-ayam! Lima kuadrat, kali sepuluh brapa? Eh eh Waylo eh copot brapa!" Mendadak pandangan semua siswa di sekitar gadis latah itu spontan melirik sinis pada dirinya. Gadis berkacamata dengan rambut terurai sepundak itu sedang berjalan sambil melamun. Karena, di hari pertama sekolah, ia belum juga mendapatkan seorangpun teman dekat. "Eh …, Ter, masuk yuk. Udah bel tuh." Perintah salah seorang teman kelasnya, Dwinda. Dengan senyum ringannya, yang mampu menenangkan hati setiap yang ditatap gadis cantik itu. Gadis cantik, berkulit putih, periang, yang selalu menyapa siapa saja orang-orang yang berada di sekitarnya. Siapa lagi kalau bukan Dwinda. "Ah, iya. Win. Makasih." Balas gadis latah bernama Terasa. Tak lupa membalas seulas senyuman yang Winda berikan. "Aku duluan ya. Bye Teresa." Lagi-lagi gadis itu tersenyum ringan. Sebelum kemudian benar-benar meninggalkan Teresa.  "Yah, sendirian lagi." Monolog Teresa pada diri sendiri. Ia berjalan pelan ke arah kelasnya dengan wajah lesu. Ia berharap cepat-cepat mendapatkan seorang teman dekat yang bisa menerima kekurangannya, yaitu latah yang seringkali terulang-ulang. Jam pelajaran pertama sudah dimulai. Inara berada di kelas 10 IPS 1. Sedangkan Leonara, kelas sebelah dengan jurusan sama. Yaitu kelas 10 IPS 2.  Di kelas 10 IPS 2 Terlihat seorang wali kelas cantik yang tampaknya menjadi guru killer di sekolah ini, sedang memperkenalkan dirinya di depan kelas. Sementara itu, Leon duduk berpasangan dengan siswa yang bernama Jhoni.  "Ler. Cewe tadi siapa? Cantik dah kayaknya." Tanya Jhoni di sela-sela perkenalan wali murid kelasnya.  "Nama gua Leon. Bukan ler." Ketus Leon. "Yaelah ribet lu. Ck." Jhoni tampak tidak ingin meributkan masalah candaanya. "Cewe itu …, mangsa baru lu, ya? Cantik si. Banget malah." Sambungnya dengan mimik wajah seperti sedang membayangkan betapa cantiknya gadis yang didekati Leon. "Mau gue tampol lu? hm?" Tiba-tiba perubahan ekspresi Leon yang dari ketus menjadi sangat serius. Mungkin saja tebakan Jhoni benar.  "Nahkan. Emosi, sih Abang ini. Cemana lah! Tak suke tak suke! Betul-betul betul. Hahaha" jawab Jhoni dengan mimik wajah Seperti sedang mengejek. "Ck. Awas aja lu berani deketin dia." Lagi-lagi omongan Leon terdengar serius, namun tidak ada yg mengetahui isi hati pria itu.  Apakah Leon hanya jail, sehingga menargetkan Inara menjadi sasaran empuknya? Atau, Leon memang sudah jatuh hati pada Inara? Ntahlah. " Yah, telat. Gue aja udah dapet nomor WhatsAppnya dong, Bosque …" celetuk Jhoni dengan santai.  Mendengar hal itu, Leon segera mengubah posisinya menjadi menghadap Jhoni dan menatapnya dalam-dalam tak lupa dengan sorot mata tajam. Namun, itu semakin menambah ketampanannya. "Hahahah kaget kan lu. Yaiyalah. Gua mah pro masalah ngestalk gebetan." Jhoni menaikkan kedua alisnya tak lupa menepuk-nepuk dadanya sendiri, itu terkesan seperti, Jhoni sedang membangga-banggakan dirinya sendiri dengan santai. Hati Leon semakin panas, ia semakin ingin menghajar teman didepannya ini. Tapi, sebisa mungkin ia urungkan niat itu. Karena tidak ingin berbuat onar di sekolah ini. Karena Leon sudah berjanji pada mamanya agar bersekolah dengan status 'murid baik nan teladan' di sekolah barunya. "Gu …, gue minta." Ucap Leon singkat. Kabar baiknya, kini Leon sudah mampu menahan emosinya yang biasanya akan menggelegar jika dipancing sedikit. Mungkin saja ia sudah sadar bahwa ia harus menjadi anak yang patuh kepada kedua orangtuanya terutama mamanya. "Ahahaha. Dengan satu syarat." ucap Jhoni seraya menyudutkan bibir bagian kanannya. Omongam itu terdengar ada maksud di baliknya. Semoga saja, Jhoni tidak bermaksud jahat kepada Leon. "paan?" Tanya Leon setengah cuek tak acuh, karena merasa pembicaraan ini tidak begitu penting. "Lo harus jauhin Ina." Mendengar hal itu, Leon membelakkan kedua matanya. Itu terlihat seperti orang sedang melotot. Namun tidak tahu apa yang di pelototinya. "Astaga! Siapa kamu!? Berani sekali memelototi saya?!" Amarah wali kelas itu. Walaupun wanita, guru itu tampak sekali dari raut wajahnya, kalau dia bukan orang yang baik hati. Karena alisnya yang tinggi menjulang bak tebing tinggi ditambah tatapan tajamnya sudah memberikan kesan tegas tersendiri. Tentu saja Leon terdiam. Karena ia merasa percuma jika ia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Toh, ia sadar, ia memang sedang melakukan kesalahan, yaitu mengobrol saat guru sedang memperkenalkan diri. Meskipun bukan bermaksud untuk memelototi wali kelasnya itu, Eric. Lagipula, Leon bukan tipe pria yang akan memperpanjang masalah. Dirinya hanya ingin menuruti semua perkataan mamanya. Tapi, karena hal ini terjadi, jika saja Leon membantah, mungkin saja dirinya gagal membuktikan kepada sang mama, untuk menjadi siswa teladan dan baik pada masa SMA ini. Ck, sialan. Hari pertama udh ada masalah aja …-batin Leon. "Maaf Bu." Tutur Leon sembari dirinya menunduk untuk memberikan kesan tulus permohonan maafnya. "Ya. Lain kali, jangan seperti itu lagi, kamu sudah saya berikan peringatan pertama secara lisan ya. Jika berulah lagi, saya tak segan-segan memanggil orang tuamu." Jelas guru cantik namun terkesan killer, Imelda. Kemudian wali kelas itu melanjutkan menjelaskan perkenalan dirinya. Sementara itu, di Kelas 10 IPS 1 Inara yang duduk di kursi depan, tepatnya di kursi VIP untuk ketua kelas. Kesalahpahaman itu belum kunjung ditemukan. Duh … gak nyaman banget nih duduk Deket meja guru …- batin Ina. Dirinya melamun karena benar-benar tidak tahu harus apa.  Terlihat dari luar pintu, seorang guru cantik yang membawa satu tas terkait di bahunya, dan beberapa buku besar di pelukannya. bergegas masuk ke dalam kelas 10 IPS 1. "Halo. Selamat pagi anak-anak." Sapa guru itu tertatih-tatih. Menaruh buku-buku itu di atas meja guru, duduk di kursi guru dan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara cepat. Guru itu terlihat sangat letih, mungkin saja ia telah melakukan hal yang berat sehingga membuatnya keletihan. "Ya, buu." Jawab kompak dari siswa sekelas. Sedang menata buku-bukunya, tak sengaja guru cantik itu melihat ke arah Ina yang hanya berjarak 25 cm dari tempatnya berada. "Exel mana? Kok kamu yang duduk disitu?" Tanya guru biologi itu lemah lembut, Diana.  "Hah? E-exel …?" Tanya Ina. Karena dirinya memang benar-benar sedang dilanda kebingungan.  Buset. Siapa lagi itu Exel? Oh, mungkin ketua kelasnya dia kali ya?-batin Ina. "Anu, em … maaf, Bu. Saya tidak tahu siswa bernama Exel yang ibu maksud, dan saya duduk disini karena dipaksa teman-teman sekelas. Heheh" Ina cengengesan karena merasa agak bersalah. Mendengar hal itu, kelas mulai menaikkan frekuensi suara. Karena, menjadi pertanyaan besar, siapa itu exel? Dan, kenapa Ina bisa disangka ketua kelas, kelas 10 IPS 1. "Hah? Exel? Emang sebenarnya, yang jadi ketua kelasnya siapa sih Bu?" Tanya gadis imut tadi, namanya Queen.  "Nah iya tuh Bu. Di grup kelas kemarin, Pak Eric kan cuman ngasih tahu ciri-ciri ketua kelas." "Oalah, iya ya? Saya lupa. Hehehe" terdengar tawa garing Bu Diana.  "Lah, ibu …." Kompak sekelas memasang raut wajah tampak agak kecewa pada wali kelasnya itu. Bu Diana segera membuka handphonenya, mencari berita yang dimaksud anak-anak kelasnya. "Oh, iya ya." Gumam Bu Diana sembari memainkan handphonenya dengan jari jemarinya. "Tapi, wakil ketua kelas, dan kandidat pengurus kelas lainnya sudah ditentukan pasti ya namanya. Jadi, hanya ketua kelas saja yang masih menjadi misteri ya." Sambungnya, mematikan handphone, memasukkan ke dalam tas dan menatap anak-anak di kelasnya. "Jadi, saya sudah chat dengan ibu Diana. Kata beliau. Memang identitas ketua kelas di sekolah ini sangat dirahasiakan. Jadi, biasanya hanya para guru-guru yang tahu siapa ketua kelas di setiap kelas. Itu udah menjadi tradisi sekolah ini. Begitu kata beliau, anak-anak." Jelas Bu Diana panjang lebar. Mendengar hal itu, tentunya membuat kelas semakin berisik dan tak terkendali. Mereka saling tukar pendapat mengenai, sebenarnya siapa ketua kelas di kelas tersebut. Dan mengapa identitas ketua kelas di sekolah ini sangat dirahasiakan?! Ada apa sebenarnya? "Anak-anak. Saya lanjutkan ya." Jelas Bu Diana untuk menenangkan situasi kelas yang ricuh. "Jadi, karena kita tidak akan tahu siapa ketua kelas, untuk kelas ini. Kita akan menggunakan tombol otomatis di sebelah kiri saya. Jadi, setiap ada keluhan, dan juga absen siswa setiap masuk dan pulang, kalian akan memencet tombol itu, dan mengatakan apa yang perlu atau penting dikatakan." Jelas Bu Diana. "Yang mempermainkan alat, dan mempermainkan ketua kelas, siap-siap saja. Nilaimu akan kami turunkan, dan dipastikan tidak naik kelas. Maka dari itu, jangan lakukan hal-hal konyol, ya." Sambung Bu Diana. "Untuk hal-hal sepele, kalian bisa langsung berkomunikasi kepada wakil ketua kelas ini, yaitu Queen." Sembari menunjuk gadis imut yang ricuh tadi. Otomatis hal itu membuat Queen menjadi sorot mata seluruh siswa di kelas itu. "Hehehe, halo semuanya. Saya Queen." Ucap Queen dengan malu-malu. Gadis itu agak kurang suka jika harus menjadi pusat perhatian umum. "Oke, queen. Setelah istirahat pertama, kita ujikan alat untuk berkomunikasi dengan ketua kelas ya." Ujar Bu Diana sambil merapikan buku-bukunya, membetulkan posisi tas di salah satu bahunya. Dan bangkit dari tempat duduk. "Jam kosong ya, anak-anak. Kalian bisa gunakan waktu ini untuk berkenalan atau hal-hal positif lainnya. Permisi." Ucapnya sebelum melangkahkan kaki keluar kelas. Mungkin saja menuju ruang guru. Tiba-tiba terdengar suara dari speaker informasi. "Cek-cek satu dua tiga. Apakah jelas suaranya? Kalau jelas, harap hentakkan kaki kalian sekencang mungkin ya." Bunyi speaker tersebut untuk pertama kalinya. Mendengar hal itu, murid-murid antusias melompat-lompat agar suara hentakan kaki mereka agar semakin terdengar.  "Oke-oke cukup. Terimakasih kepada seluruh siswa maupun siswi kelas 10 atas antuasias dan perhatiannya. Silahkan Bu Eric. Ini microphonenya." Sambung suara pria itu. Selang beberapa waktu. Barulah terdengar suara yang familiar untuk kelas 10 IPS 2, tapi kelas-kelas 10 lainnya belum pernah mendengar suara Bu Eric. "Anak-anak, ketika kalian menggunakan alat komunikasi kepada ketua kelas, harap panggil ketua kelas kalian dengan sebutan Exel ya. Jadi, Exel itu adalah panggilan yang akan kalian panggil ketika pertama kali ketika hendak berbicara kepada alat itu." Ujar speaker tersebut. "Dan, kami minta maaf yang sebesar-besarnya. Mohon jangan tertawa saat ketua kelas berbicara. Karena sistem suara juga akan disamakan di setiap kelas. Guna menjaga kerahasiaan ketua kelas. Karena, mungkin saja kalian akan tertawa. Jadi, saya mengantisipasi untuk hal seperti itu agar tidak terulang. Sebab jika melanggar, akan ada konsekuensinya yang cukup berat." Sambung speaker itu. Mendengar hal itu, kelas kembali ribut tak terkendali. Tentu saja mereka melanjutkan percakapan mengenai tebak-tebakan antar sesama teman. Tentang mengapa ketua kelasnya yang sangat bersifat rahasia dan siapa sebenarnya sosok ketua kelas, kelas mereka. Ina yang sejak tadi berpikir keras, mengenai bagaimana ia bertindak selanjutnya. Haruskah ia pindah dari kursi VIP ini? Atau, duduk disini saja, karena bangku serta meja kosong tempat murid siswa biasa telah penuh. "Ina, kamu disini aja ya. Tadi Bu Eric pesan sama aku. Katanya kamu tempat duduknya disini aja. Lagian, kan udah penuh semua, tempat duduk siswa biasa." Celetuk Cewe imut yang tak lain adalah Queen. Yang membuat Ina tersadar dari lamunannya. Mendengar hal itu, Ina hanya mengangguk. Ina tidak memberikan ekspresi apa-apa. Karena dirinya tidak tahu harus memberikan ekspresi apa.  Dibilang senang, tentu senang. Karena kursi dan meja ini sangat cantik dan nyaman. Namun, ada juga sedihnya. Karena hal ini, ia tidak bisa mengobrol dengan teman sebangkunya. Ya, ia sendirian. Belum memiliki seorang teman di sisinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD