P. 4 Germany is Coming

1353 Words
Bagi Reno ini adalah kenyataan paling pahit yang dia terima selama ini. Banyak hal yang terjadi dalam hidupnya tapi kejadian inilah yang paling membuatnya terpuruk dan gagal tanpa memperjuangkan apapun. Beberapa menit tak mendengar suara apapun dari Gladis, Reno pun mengakhiri panggilan teleponnya dan dia menunduk dalam. Dia tidak bisa berbohong hatinya terluka, perih, dia merasa tak punya hati dan putus asa dengan kehidupannya. Air matanya menetes dengan derasnya, terdengar suara sesenggukan di tengah keindahan senja yang dia nikmati sendiri. Lelaki itu hanyut dalam kesedihannya seorang diri. Reno berdiri di tepi jalan dengan hamparan sawah yang luas. Dia memandang lurus ke depan. “Jika nanti aku ketemu kamu lagi, aku janji akan mengejarmu sampai ke ujung dunia!” teriak Reno yang mendadak membuat angin berhembus kencang. Reno berbalik dan kembali ke dalam mobilnya. Dia melajukan mobilnya kencang dan berlalu dari sana. Meskipun dengan perasaan campur aduk dan terluka, Reno menegakkan kepala dan menguatkan hatinya. “Siapkan semua jadwalku sampai satu bulan ke depan, kita review ulang semuanya,” perintah Reno kepada Loka asistennya. Loka kembali dibuat tidak mengerti dengan perubahan emosi yang terjadi saat ini dengan tuannya. Tak ada pilihan lain selain menjawab, “Baik Bos,” jawaban paling diplomatis menurut Loka. *** Gladis sudah rapi dan bersiap dengan bawaannya. Dia kembali memeriksa isi tasnya khawatir ada yang tertinggal. Gladis kembali berdiri di depan cermin dan tersenyum. “Come on Gladis, kita pasti bisa, jangan merasa terpuruk,” Wanita dua puluh empat tahun itu menyemangati dirinya sendiri. Jika ada orang yang bisa melihat isi hatinya tentu saja semua itu hanya kamuflase. Pembicaraannya di telepon beberapa waktu lalu membuatnya terpuruk. Dugaannya selama ini benar jika Reno tidak mengharapkan apapun darinya selain status yang mereka miliki dan bisa saja itu membanggakan bagi keluarga Abrisam. “Oh, come on, why you are crying for bad boy,” keluh Gladis tapi justru air matanya masih mengalir dari kedua matanya. (Kenapa kamu menangis untuk lelaki yang buruk.) Dia menghapus air matanya dan menghembuskan napas berkali-kali. Dia memamerkan deretan giginya yang rapi di depan cermin. “I am ready, let’s go,” ujar Gladis dan dia mengambil tasnya lalu turun ke bawah. Gladis berangkat ke bandara diantar oleh kedua orang tuanya dan supirnya. Sepanjang perjalanan dia merasa ada beban berat yang tak bisa lepas dari dalam dirinya. “Jangan lupa kabari Mama, kalau kamu sudah sampai sana,” pesan mama Silvi saat Gladis bersiap untuk check in dan Gladis hanya mengangguk. Mama Silvi memeluk anak gadis kesayangannya dan berbisik, “Masih ada waktu untuk membatalkan hal ini dan mengembalikan semuanya seperti semula.” Gladis perlahan melepaskan pelukan mamanya dan dia tersenyum sambil menggeleng. “Jika memang harus menyesal biar Gladis yang menyesalinya Ma,” jawabnya diplomatis. Mama Silvi hanya bisa menghembuskan napas pelan dan mencium kedua pipi anaknya. Ayah Gladis, Bagaskara ikut memeluk dan mencium putri kesayangannya itu. “Tidak perlu menunggu sampai kuliahmu selesai, jika memang kamu mau pulang hari ini ke Indonesia, telpon Papa okay,” cerocos ayah Gladis. Mendapatkan perhatian sebesar itu membuatnya bangga sekaligus sedih dalam waktu bersamaan. Gladis kembali mengangguk-angguk dan tersenyum menanggapi celotehan ayahnya itu. Gladis tak menyadari jika ada sepasang mata yang mengamatinya dan memberikan tatapan penuh luka kepadanya. Dia berjalan meninggalkan kedua orang tuanya yang sudah mengantarnya. “Aku harap kamu bisa mendapatkan kebahagiaan baru Glad,” jeda Reno sambil menatap pilu gadis yang masih dia cintai. “Berjanjilah kepadaku, jika kamu tidak bahagia kembalilah kepadaku,” gumam Reno tanpa terasa air matanya menetes. Gladis berhenti sejenak dan dia mengedarkan pandangan, seakan tahu jika ada yang memperhatikannya. Reno yang melihat Gladis seperti sedang mencari seseorang membuatnya sedikit bersembunyi di balik salah satu pilar bandara. “Come on Gladis, dia tidak akan datang,” keluh Gladis dengan helaan napas berat. “Move on, move on okay, kamu sadar diri dimana posisimu saat ini.” Gladis kembali menguatkan dirinya. Terdengar suara panggilan dari pengeras suara yang ada di bandara. Gladis yakin itu adalah penerbangan yang akan dia naiki. Segera Gladis memasuki ruang tunggu dan naik ke pesawat. Dia mencari nomor kursinya dan begitu menemukannya di mengerutkan alis karena ada seseorang yang duduk di sana. “Sorry, what is your seat number?” tanya Gladis. (Maaf, berapa nomor kursi Anda?) Orang yang diajak bicara oleh Gladis itu menoleh dan menunjukkan tampang tidak merasa bersalah. Dia menatap Gladis lama membuat gadis itu memeriksa kembali penampilannya lagi. “22C,” jawab pria itu singkat dan Gladis menghela napas. “Sorry Sir, but you sit in the wrong seat, your seat here, 22C and you sit in my seat 22A,” ucap Gladis menjelaskan perkaranya. (Maaf Tuan, tapi Anda duduk di kursi yang salah, tempat duduk Anda 22C di sini, dan Anda duduk di kursi saya 22A.) Lelaki itu berdiri dan tanpa rasa bersalah dan minta maaf dia berkata hal yang tak menyenangkan. “Where is your ticket? I have to see first before I moved,” jawabnya santai. (Dimana tiketmu? Aku harus melihat tiketmu dulu sebelum aku pindah.) Gladis terbelak dan bengong dengan ucapan pria itu, dia tak menyangka hal pertama yang dia temui setelah lepas dari Reno adalah another Reno. “Astaga dia sama menyebalkannya dengan Reno,” Gladis mendadak diam karena tanpa sengaja dia menyebutkan nama yang sebenarnya ingin dia lupakan. Helaan napas terdengar, “Pertanda apa ini Tuhan,” gumam Gladis dengan enggan dia menunjukkan tiketnya. Setelah melihat tiketyang dibawa Gladis, pria itu duduk di tempat duduknya tanpa permisi atau mengatakan maaf kepada Gladis. Gladis yang tak ingin memperpanjang masalah hanya bisa diam dan duduk di kursinya. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi dengan malas dan sudah memasang sabuk pengaman. “Hei, annoy girl,” sapa pria itu tapi Gladis tak menghiraukannya. Pria itu merasa kesal dengan perlakuan Gladis dan langsung menyentil dahi gadis itu. “Hey, what are you doing?” kesal Gladis. (Hey, apa yang kamu lakukan?) Pria itu menarik sudut bibirnya, “What’s your name?” tanya pria itu membuat Gladis menoleh ke kanan dan ke kiri. (Siapa namamu) Lelaki itu yang bingung dengan sikap Gladis yang celingukan ke sana kemari, membuatnya langsung bertanya. “Something happen?” (Apa terjadi sesuatu?) “You ask me?” tanya Gladis cengo. Pria itu menaikkan alisnya. (Kamu bertanya kepadaku?) “Is there any people around us?” jawab pria itu santai. (Apa ada orang lain selain kita?) “What happen?” akhirnya Gladis langsung bertanya apa yang membuat pria itu penasaran. (Ada apa?) “What’s your name?” dia kembali menngulang pertanyaan pria itu. Gladis hanya melirik dan memicingkan matanya. “Are you okay? Is that important?” tanya Gladis bukannya menjawab pertanyaan dari pria itu. (Apa kamu baik-baik saja? Apa itu penting?) “Interesting woman or all Indonesian woman like this?” tanpa merasa bersalah pria itu langsung mengutarakan isi kepalanya. (Wanita yang menarik atau semua wanita Indonesia seperti ini?) Gladis lebih memilih tidak peduli dan memakai headsetnya. Dia kembali menyandarkan tubuhnya di kursi dan memejamkan mata. Dengan jelas dia bisa mendengar lagu ‘Someone You Loved – Lewis Capaldi’ mengalun di telinganya dan memenuhi isi pikirannya. It's easy to say But it's never the same I guess I kinda liked the way you numbed all the pain Now the day bleeds Into nightfall And you're not here To get me through it all I let my guard down And then you pulled the rug I was getting kinda used to being someone you loved “Ini memang mudah diucapkan,” lirih Gladis dan dia mulai merasa gumpalan air di matanya penuh dan memaksa keluar. “Dan semuanya tak akan pernah sama, aku benci mengatakan hal ini, tapi aku masih mencintaimu sampai saat ini,” gumam Gladis. Tetesan air mata itu perlahan turun dari kedua mata Gladis. Gladis memejamkan matanya perlahan meskipun ada air mata yang masih membasahi pipinya. Pria yang ada di sampingnya hendak menggodanya kembali terdiam melihat pemandangan di hadapannya. ‘Bisakah aku mengobati luka hatimu itu, Sweet Girl,’ batin pria itu dengan helaan napas berat. ***** Aku terharu membacanya, kalian juga ga?? Oke, kalo ga terharu juga gapapa,,hehehee
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD