Tertuduh

2176 Words
“Wa, tenang,” Arya menahan bahunya dan membawanya sedikit menjauh dari Larisa. Sedang gadis itu dibawa Alex untuk duduk di kursi tunggu untuk keluarga yang sedang operasi. “Bukan aku yang bikin Kak Resty jatuh,” gumam Larisa. “Iya, nanti kamu bicara lagi kalau suasananya sudah kondusif,” hibur Alex. Reina menyusul sambil membawakan air mineral untuk mereka. “Entah apa yang sudah Liana ceritakan ke Pak Dewa,” ucapnya sambil menyerahkan dua botol minuman kepada kedua rekannya. Alex mendesah. “Masalahnya Larisa dan Resty sering berantem.” “Lebih tepatnya Resty dan Liana sering bully Larisa,” sergah Reina tidak terima. Bagaimana pun kedua orang itu juga punya salah kepada anak buahnya tersebut. Alex mengangguk. Kemudian ketiganya terdiam. Menunggu kabar yang mereka harap baik dari ruang operasi. Semuanya masih di sana, bahkan Arya dan Dino yang tidak berurusan dengan Resty pun ikut menunggui. Sesekali Reina memeluk Larisa dan mengusap bahunya, setiap disadarinya Liana atau Dewa menatap gadis itu seperti ingin membunuhnya. Alex duduk di sebelah kiri Farid, menggusah Liana yang masih berusaha memprovokasi. Laki-laki berwajah Arab itu kesal karena tingkah perempuan sahabat Resty tersebut tidak membuat suasana tenang. Hampir tengah malam, ketika lampu di ruang operasi berwarna merah, tanda kegiatan di dalam ruangan sudah selesai. Semua berdiri menunggu kabar. Tentu semuanya menunggu dengan harap-harap cemas. Farid, Dewa dan Liana menghampiri dokter yang baru keluar. “Keluarga Nona Resty?” mereka bertiga menganggukkan kepala. “Mari ikut saya,” ajak dokter tersebut. Setelah keempatnya meninggalkan ruang tunggu, Arya menghampiri yang lain. “Sebaiknya kamu pulang, tunggu kabar selanjutnya dari Dewa,” ujar CEO Mega Star tersebut. Dino yang diajak bicara pun langsung mengangguk dan pergi meninggalkan rumah sakit. “Kalian antarkan Larisa pulang ya,” perintah selanjutnya dia berikan kepada Alex dan Reina. Keduanya mengangguk. Tetapi gadis itu bersikeras menunggu kabar kepastian tentang hasil operasi Resty. Hatinya tidak tenang. “Saya di sini saja, Pak,” tolaknya. “Sa, situasinya tidak kondusif kalau kamu tetap di sini,” Arya menyampaikan bantahannya. “Lagipula, saat ini tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu kabar,” imbuhnya. “Tapi Pak Dewa dan ayahnya Kak Resty harus tahu, kalau saya tidak mencelakainya, Pak!” sergah Larisa frustasi. Dia takut jika kesalahpahaman ini dibiarkan lama, akan berbuntut panjang. “Masih ada waktu untuk meluruskan, Sa. Sekarang biarlah mereka kosentrasi ke Resty,” sanggah Arya agak keras. Ekspresinya tegas dan tidak mau dibantah lagi. “Besok kita bisa ke sini lagi, Sa,” bujuk Alex. Dia pun sebenarnya sudah capek, tetapi nggak tega meninggalkan gadis itu. Begitu juga Rena yang ikut membujuk. Mereka semua perlu istirahat. “Pulang ya, Sa. Papa dan mamamu pasti cemas kalau kamu nggak segera pulang,” kata Reina, dipeluknya tubuh ringkih gadis itu dengan kasih sayang. Akhirnya gadis itu menurut. Dia berdiri, kemudian pamit kepada Arya. “Baiklah, saya pulang dulu,” ucapnya. Arya menganggukkan kepalanya. “Besok ambil cuti saja, Sa. Tenangkan pikiranmu dulu,” perintah terakhir Arya. “Ya, Pak,” jawab Larisa pasrah. Ketiganya kemudian berpamitan. “Kami pulang dulu, Pak,” Alex berkata mewakili mereka bertiga. Kemudian meninggalkan rumah sakit. Arya sendiri memilih bertahan sebentar. Dia pun menelepon Dewa. “Wa, kamu dimana?” tanyanya, begitu panggilannya direspon oleh pegawainya itu. Di depan ruang ICU, jawab Dewa dari seberang sana. “Oke, saya ke sana.”. Kemudian Arya menutup panggilan, berjalan ke arah ICU. Sesampainya di depan ICU, dilihatnya Dewa, Farid dan Liana di sana. “Wa,” panggil Arya. Lelaki bermata elang itu menoleh. Kemudian menghampiri Arya. Tanpa disadari oleh keduanya, Liana mengikuti. “Gimana keadaan Resty?” tanya Arya simpati. Sudut matanya menangkap kehadiran Liana. Dahinya mengerenyitkan, menandakan rasa herannya akan peran gadis itu dari awal kedatangannya. “Masih dalam pantauan, Pak. Operasinya hanya mengurangi luasnya pendarahan, belum sepenuhnya aman,” jawab Dewa lesu. Terlihat rasa lelah pada wajahnya yang tampan. Arya menepuk bahu Dewa pelan, sebagai tanda bersimpati kepada anak buahnya itu. Kemudian Arya berjalan dan duduk di sebelah Farid, menggenggam tangan orang tua itu. Genggaman itu disambut dengan tatapan hangat dari mata tuanya. “Pak, saya Arya, pimpinan perusahaan tempat anak bapak bekerja,” Arya mengenalkan dirinya. Farid menganggukkan kepalanya. “Saya turut prihatin dengan keadaan Resty. Semoga segera membaik,” lanjut Arya. Lagi-lagi Farid hanya mengangguk. Tak tahu harus berkata apa. Dirinya masih syok dengan keadaan putri tunggalnya itu. Arya kemudian menghela nafasnya, lalu berpamitan. “Saya permisi dulu, semoga Resty bisa segera pulih dan Bapak tetap tabah,” ucapnya seraya menyalami Farid. “Wa, segera urus klaim asuransi kesehatan Resty, kalau ada yang tidak ter-cover asuransi, ajukan ke kantor, biar dibantu nanti,” ujar Arya. Dewa menganggukkan kepalanya. “Terima kasih atas perhatiannya, Pak,” sambutnya. Arya mengangguk. Kepalanya menoleh ke arah Liana. “Ayo, saya antar pulang.” Sesaat Liana gugup dan ingin menolak ajakkan bossnya itu. Tatapan bossnya itu sulit diprediksi, dia takut untuk pulang bersamanya. “Pulang aja, Li. Besok kamu bisa ke sini lagi,” Dewa menyepakati perkataan boss mereka. Liana menghela napasnya, kemudian mengangguk. “Saya pulang dulu ya, Pak. Semoga Resty segera membaik,” katanya dengan suara pelan. Di perjalanan, Liana tampak gugup, membuat Arya penasaran dan ingin tahu dengan peristiwa saat dia tidak ada di kantor tadi. “Gimana kejadiannya yang sebenarnya, Liana?” tanya Arya sambil tetap fokus mengemudi. Sesekali matanya mengarah ke tempat pegawainya duduk. Dia tidak terlalu mengenal Liana, selain hanya tahu sebagai staff senior divisi desain. Kemampuan gadis itu pun tidak terlalu menonjol. Beda dengan Larisa yang posisinya masih staff junior. Liana mendadak gugup. Dia bingung harus menjawab apa. Karena dirinya tahu rencana Resty tetapi juga bingung mengapa sahabatnya itu yang justru celaka. “Sa-saya juga tidak tahu pasti, Pak,” jawabnya lirih. Kening Arya berkerut. “Loh, tadi katamu Larisa yang mencelakai Resty?” tanyanya dengan ekspresi bingung. “Terus tahu darimana kalau Larisa penyebab Resty terluka?” tanya laki-laki itu lagi. “Oh it-itu karena saya tahu Resty akan mengajak bicara Larisa sebelum jam pulang,” Liana makin gugup menjawab. “Mengenai apa?” tanya Arya kembali. “Resty mau bicara supaya Larisa jangan mengganggu Pak Dewa terus-menerus,” suara Liana masih pelan. Arya menganggukkan kepalanya. “Jadi kamu yakin Resty jatuh karena Larisa?” Kali ini Liana berhati-hati menjawab. “Saya hanya menduga, Pak. Mengingat tadi mereka ada janji untuk bertemu.” Kembali Arya menganggukkan kepalanya. “Lain kali jangan asal bicara, kita nggak tahu kejadian sebenarnya.” Liana diam, merasa yang dilakukannya tidak salah. Tetapi tidak berani membantah bossnya. “Tadi berkali-kali kamu bicara dengan yakin jika Larisa lah yang membuat Resty jatuh, padahal tanpa pegang bukti," Arya melanjutkan bicaranya. Peringatan Arya membuat Liana mengangguk pelan. Tadi dia panik, tidak menyangka justru sahabatnya yang celaka, bukan Larisa. Di dalam pikirannya, juniornya itu bisa saja yang bergerak sebelum Resty sempat menjalankan rencana mereka tadi. Itu kenapa tadi dia membabi-buta menuduh Larisa. Di ruang tunggu ICU, Dewa dan Farid masih duduk. “Om pulang dulu saja, biar saya yang nunggu Resty,” saran Dewa. Tetapi Farid menolak. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi. Dewa mengha napas, mengulang kembali setiap perkataan Liana yang menuduh Larisa sebagai penyebab kekasihnya celaka. Flashback On “Tadi itu Resty mengajak ketemu Larisa di tangga darurat,” cerita Liana. “Buat apa?” tanya Dewa. “Mungkin memintanya untuk tidak mengganggu Bapak,” Liana berpura-pura tidak tahu. Dia tidak mau terseret masalah ini. Gadis itu ingin meyakinkan Dewa bahwa Larisa lah yang bersalah. Dewa menghela napasnya panjang. “Kamu tahu rencana ini?” tanyanya dengan suara lelah. “Eumm i-iya, Pak,” jawab Liana gugup. “Harusnya kamu temani, Li. Jadi Resty tidak sampai begini keadaannya,” sesal Dewa. Tadinya bukan begini skenarionya! Harusnya Larisa yang jatuh! Seru Liana dalam hati. “Sa-saya tidak menyangka kejadiannya seperti ini, Pak,” ujar Liana terbata-bata. Dewa mendesah. “Apa mereka berkelahi ya?” “Saya tidak tahu, Pak,” jawab Liana cepat. Flashback off Emosi Dewa kembali naik begitu mengingat percakapannya dengan Liana. Dia yakin kalau staff juniornya itu membuat celaka pacarnya. Kedua tangannya terkepal erat. Di dalam hatinya, ada rasa ingin membalas apa yang menurutnya dilakukan Larisa kepada kekasihnya. Kamu jahat, Larisa, cetus Dewa dari dalam hatinya. Selama cuti, Larisa memilih mengurungkan diri di kamarnya. Dia hanya keluar kamar untuk ke kamar mandi. Makan pun sampai dipaksa oleh Rika, mamanya. “Makan, jangan sampai kamu sakit,” sentak Rika setiap menyuruh putrinya itu makan. Dengan malas-malasan dia mengikuti perintah mamanya tersebut. “Ma, jangan tanya-tanya dulu,” ucap Larisa begitu dilihatnya sang mama ingin bicara. Rika menghela nafasnya. Dia harus menghargai permintaan putrinya, seberapa besarnya pun penasaran melingkupi hatinya. “Ya sudah, habiskan makanmu,” kata Rika pada akhirnya. Setelah makan, Larisa pun masuk kamarnya tanpa kata. Dia benar-benar tidak ingin membicarakan hal yang sedang membebani hatinya kepada Rika. Berkali-laki dia ingin menghubungi Reina untuk mengetahui keadaan Resty. Tetapi keberaniannya lenyap setiap membuka ponselnya. Aku takut Kak Resty kenapa-kenapa, bisik hati Larisa seraya meletakkan ponselnya ke nakas. Tetapi dia gelisah karena tidak mendapatkan kabar tentang seniornya itu. “Besok saja kalau sudah masuk kantor,” putusnya dengan suara lirih. Ketika Larisa masuk kerja, dia merasa suasana agak canggung di kantor. Security yang berjaga, memandangnya ganjil begitu dia masuk ke area kantor. Seolah dirinya adalah pencuri yang sedang ketangkap basah. Dan semakin terasa tidak enak begitu masuk ke lobby. Semua mata memandangnya dengan sinis. “Gila ya? Setega itu ternyata,” sebuah kalimat lirih terdengar di telinganya. Seketika gadis itu waspada, tetapi Larisa masih berusaha tidak peduli. “Mukanya boleh imut, kelakuannya amit-amit,” selewat lagi sebuah kalimat di telinga. “Amit-amit banget pokoknya,” balas yang lain. Ini bukan sedang membicarakanku kan? Larisa mulai bertanya-tanya. Dia tetap melangkah ke dalam lift meski telinganya tetap berusaha mendengar. Di dalam lift pun dia merasa orang-orang melihat dirinya dengan sinis. Rasa tidak nyaman semakin menyelimuti hatinya. Tangannya erat menggenggam tas Selempangnya. Begitu keluar dari lift, dia merasa lega karena tidak perlu lagi mengalami suasana seram. Tetapi ketika sedang menuju ruangannya dia kembali diliputi hati yang tidak nyaman karena didengarnya Liana bicara agak keras di ruangannya. Pelan-pelan gadis tersebut berjalan untuk menyimak lebih jauh. “Nggak mungkin lah Resty jatuh sendiri,” ucapnya yakin. Deg Hati gadis itu mencelos. Kali ini dia yakin, bahwa dia lah yang sedang dibahas oleh orang-orang kantor. Larisa menghentikan langkahnya, diam-diam mendengarkan. “Masak Larisa berani celakain Resty?” seseorang bertanya dengan sangsi. “Kenapa nggak? Toh dia masih ngejar-ngejar Pak Dewa meski tahu Resty pacarnya,” sergah Liana dengan penuh keyakinan. “Wajah innocent belum tentu sepolos itu,” sela yang lain mendukung Liana. Larisa menghela napas kemudian melanjutkan langkah ke ruangannya. Di ruang kerjanya pun suasana sama tidak nyamannya. Rekan satu timnya menghindari dirinya. Bahkan Dino pun tidak mau menatapnya. Padahal semalam dia membelanya. “Sa, sebentar,” Reina menyeret dirinya keluar menuju toilet. “Kenapa Bu?” tanya Larisa, begitu mereka berhenti di dalam cermin yang ada di toilet. Reina menghela napas. “Resty koma. Operasi kemarin belum cukup untuk menyembuhkan luka cedera di kepalanya,” ceritanya. Diamatinya wajah anak buahnya dengan intens. Larisa menunduk sedih. Dia tidak menyangka sampai separah itu keadaan Resty. Padahal saat itu dirinya sama sekali tidak menyentuh kekasih Dewa itu. “Tapi bukan aku yang bikin jatuh Kak Resty, Bu,” Larisa tetap kukuh dengan ceritanya. Dia tidak bersalah. Reina menganggukkan kepalanya. Dia pun berpikir bahwa juniornya ini sangat mungkin tidak bersalah. Tetapi dengan sejarah Larisa yang suka mengusik hubungan Resty dan Dewa, siapa yang percaya jika gadis itu bukan penyebab kekasih Dewa itu celaka? “Kita doakan semoga Resty cepat sadar ya,” akhirnya itu saja harapan Reina. Larisa menganggukkan kepalanya. Harapan Reina, jika Resty siuman, gadis itu bisa jujur mengakui bahwa Liana tidak bersalah. Saat ini opsi CCTV luput dari pikiran. “Ayo, sekarang kita bekerja,” ajak Reina. Keduanya pun kembali ke ruangan. Larisa berusaha fokus dengan pekerjaannya di tengah ketidaknyamanan yang dia rasakan. Teman-teman seruangannya yang biasanya ramai, kini ikut diam. Seolah ada kebingungan untuk tetap mendukung gadis itu atau ikut-ikutan menyalahkan rekan mereka tersebut. Sekitar jam sepuluh, Reina menghampirinya. “Sa, kamu dipanggil Pak Dewa,” beritahu Reina. Seketika Larisa mendongakkan kepalanya. “Ada apa ya, Bu?” suara tanyanya bergetar. Tetap saja dia cemas, meskipun ingin sekali menyampaikan kebenarannya kepada atasannya itu. Bahwa tidak sedikitpun tindakannya mencelakai Resty. “Mungkin bertanya tentang kecelakaan itu. Ayo kutemani,” jawab Reina mencoba berfikir positif, mengajak Larisa untuk segera pergi. Di ruangannya, ternyata Dewa tidak sendiri. Ada Arya dan dua orang berseragam polisi di sana. Seketika perasaan Reina dan Larisa tidak enak. Tangan juniornya langsung gemetar. “Saudara Larisa Putri?” tanya salah satu petugas yang di bajunya tertulis bernama Malik. “Iya Pak, saya Larisa Putri,” jawab Larisa. Wajahnya cemas menatap ke arah petugas tersebut. Petugas itu menyodorkan sebuah surat kepada Larisa. “Saudara Larisa kami panggil untuk memberikan kesaksian atas kecelakaan yang menimpa Nona Resty Prameswari di kantor ini pada Hari Rabu sore jam empat, tanggal 14 April 2010,” petugas itu berbicara. Seketika wajah Larisa pucat. Dia memandang Reina yang juga kaget. Dia tidak menyangka kalau perkara ini jadi melibatkan polisi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD