Resty Fell Down

2334 Words
Larisa segera berlari ke dasar tangga, mendapati Resty yang jatuh terduduk dengan mata terpejam. Kepala sekretaris itu terkulai setelah menghantam ujung siku-siku anak tangga. Darah mengalir dari belakang. Tidak ada luka yang lain sepertinya. “Kak Resty!” panggil Larisa sambil menggoyangkan bahunya lumayan kencang. Tetapi tidak ada respon dari seniornya tersebut. Larisa panik, kemudian memeriksa denyut nadi Resty yang melambat detaknya. Gadis itu berpikir cepat, berlari ke ruangannya. Dia tahu teman-temannya masih ada di sana. Mereka janji lembur bersama. Ada harapan dapat bantuan untuk menolong Resty. “Tolong!” seru Larisa begitu sampai. Reina yang masih sibuk di mejanya pun mendongakkan kepalanya ke arah Larisa. “Kenapa, Sa?” tanya Reina. Seingatnya tadi gadis itu pamit untuk menemui sekretaris sekaligus pacar boss mereka. “Kak Resty-hah-hah-Kak Resty-,” perkataan Larisa dengan nafas tersengal-sengal langsung dipotong oleh Dino, salah seorang seniornya, “kenapa Resty?” “Jatuh di tangga darurat!” seru Larisa. Tangannya meraih lengan Dino dan membawanya sambil berlari ke tempat Resty jatuh. Mau tak mau, laki-laki itu mengikutinya. Karena penasaran dengan kepanikan gadis kriwil itu, orang-orang yang masih di ruangan timnya Reina pun mengikuti mereka. Liana yang juga masih di kantor, keluar dari ruangannya, bermaksud memeriksa hasil perbuatan Resty. Dia kebingungan dengan ramainya orang berlarian ke arah tangga darurat. “Apa Resty berhasil?” gumam Liana ingin tahu. Senyum tipis terbit di bibirnya. Dia pun mengikuti langkah-langkah yang berlarian ke arah tangga darurat. Dino terperangah begitu sampai di sana. Dia melihat temannya itu pingsan dengan darah yang terus mengalir. Liana malah penasaran, saat melihat Larisa yang berdiri di dasar tangga dan ekspresi wajahnya mengandung rasa panik. Kenapa Larisa masih berdiri di sana? batin Liana bertanya-tanya. Semakin bingung menganalisa apa yang terjadi. Begitu dia bisa melihat Resty yang setengah terduduk di dasar tangga, mulutnya pun ternganga. Rasa paniknya pun muncul seketika. “Resty!” serunya kaget. Cepat-cepat tangannya menutup bibirnya yang ternganga. Kenapa jadi Resty yang jatuh? Apa mereka berkelahi? tanya Liana dalam hatinya. Reina yang berdiri didepannya berbalik ke arahnya. “Ke meja Resty, panggil ambulans dari sana! Cepat!” seru Reina memerintah Liana. Sedang di bawah, Dino berusaha menghentikan pendarahan dengan cara menekan sedikit area kepala. Pahanya dijadikan tumpuan kepala gadis itu. “Cepat Liana! Cari kontak ambulans di meja Resty!” seru Reina, jengkel melihat teman kerjanya itu malah menatap horor ke arah Larisa. Seolah gadis itu hantu yang bangkit dari kubur. Diam-diam dia pun melirik wajah Larisa yang pucat pasi. Berbagai pertanyaan pun ada di kepalanya. Tetapi untuk saat ini diabaikannya. Yang terpenting adalah menyelamatkan Resty. “Liana, cepat!” seru Reina. “I-iya!” gugup Liana. Dia pun berbalik, melaksanakan perintah Reina. Kenapa Resty yang jatuh? Liana masih bertanya-tanya dalam hati. Sedangkan Reina mengusir mereka yang berkerumun di sekitar tempat Resty jatuh. Hanya dia, Dino dan Larisa yang tetap di sana. Yang lain dipaksanya keluar. “Kembali kerja atau pulang! Ini bukan tontonan!” seru Reina. Liana kembali ke tangga darurat ketika orang-orang tersebut pergi. “Ambulan sudah kupanggil, Rei,” beritahunya kepada Reina. “Oke, Thanks. Kita tunggu saja,” jawab Reina sambil melirik Larisa. Ingin dia langsung bertanya tentang apa yang terjadi kepada gadis itu, tetapi masih belum berani. Sedangkan Liana menatap ke arah Larisa dengan penuh pertanyaan. Tiga puluh menit kemudian ambulans pun datang. Orang-orang yang masih berada di lobby pun kaget. Keamanan yang sudah diberitahu sebelumnya, segera mengarahkan petugas ke lift barang yang langsung mengarah ke tangga darurat lantai 7, tempat Resty jatuh. Dengan cepat petugas menangani penyelamatan untuk Resty, setelah itu membawanya ke Rumah Sakit yang dekat dengan perusahaan. “Ayo Larisa!” seru Reina, membawa staff juniornya itu ke tempat parkir untuk mengikuti ambulan yang sudah pergi terlebih dahulu. Dino dan Liana ikut mobil penyelamatan tersebut. Wajah Larisa masih pucat, tetapi dia menuruti Reina. Setelah mengambil tas mereka di ruangan. Keduanya masuk ke dalam lift yang menuju tempat parkir diiringi dengan tatapan ingin tahu pegawai lain. “Mbak Rei!” Alex memanggil ketika keduanya berada di parkiran basemen. Laki-laki itu yang pertama kali dihubungi Reina begitu dilihatnya Larisa pucat. Dia berharap saudara gadis itu bisa membantunya. “Lex, ayo!” seru Reina sambil tetap menyeret Larisa yang masih linglung dan menangis. Alex mengangguk. “Pakai mobilku saja, mobilmu sudah kutitipkan ke security,” kata laki-laki itu. Reina hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian membawa Larisa masuk ke kursi penumpang di belakang. “Aku duduk di belakang ya, Lex,” Reina meminta ijin kepada Alex yang duduk sendirian di kursi depan. Alex menatap Reina, setelahnya ke arah Larisa. Dia mengangguk memakluminya. Kemudian menjalankan mobilnya ke arah rumah sakit yang disebutkan oleh Reina. Sepanjang perjalanan menuju Rumah Sakit, Reina memeluk bahu Larisa erat. Kesunyian melingkupi suasana. Baik dia maupun Alex belum berani untuk bertanya tentang kejadian yang baru saja terjadi. “Pak Dewa sudah dihubungi?” tanya Alex sambil tetap fokus di kursi pengemudi. Reina menggelengkan kepalanya. Dia tidak tahu pasti. Di kepalanya sendiri masih banyak pertanyaan tentang kejadian tadi. Biasanya Larisa yang selalu datang dalam keadaan fisik seperti habis dicakar setiap usai bertemu Resty. Baru kali ini dia mendapati kekasih Dewa yang jatuh, bahkan pingsan dan berdarah. Reina menatap Larisa. Dia yakin sekali tidak mungkin gadis di sebelahnya ini menang jika adu fisik melawan Resty. Apalagi dilihatnya saat ini penampilan juniornya itu tidak ada bekas perkelahian ataupun berantakan. Ada yang aneh, batinnya berkata. Untuk sementara dia memilih diam. Sesampainya di Rumah Sakit, Reina langsung menarik Larisa ke UGD. Ada Dino dan Liana yang sudah duduk di kursi tunggu. “Gimana?” tanya Riana kepada Dino. “Masih ditangani di dalam, Bu,” jawab Dino sambil melirik Larisa. Dia sepertinya penasaran dengan kejadian tadi. Pegawai laki-laki senior Larisa itu duduk di sebelah gadis berambut keriting itu. Dilihatnya gadis itu sudah sedikit lebih tenang, meski masih menangis “Kejadiannya gimana, Sa?” tanyanya dengan hati-hati. Larisa belum bisa menjawab, dia hanya menangis kebingungan. “Kamu pasti yang bikin Resty jatuh!” seru Liana menuduh. Tiba-tiba dia berdiri di hadapan mereka dengan jari telunjuknya menuding ke arah Larisa. Gadis itu menggeleng sambil terus menangis, lidahnya kelu untuk mengeluarkan suara. Tenggorokannya masih berat. “Pasti kamu sengaja! Biar Resty celaka! Biar Pak Dewa bisa kamu miliki!” tuduh Liana makin jauh. Kesal karena yang lain tidak merespon ucapannya. Larisa tetap menggelengkan kepala, menolak tuduhan itu. Reina memeluk tubuh juniornya untuk memberi kekuatan. Dia sendiri tidak merespon ucapan Liana, karena masih bingung dengan semuanya. “Diem dulu, Li! Jangan asal tuduh!” sergah Alex, jengah dengan tuduhan Liana yang belum ada dasarnya. “Pasti dia yang bikin Resty jatuh! Kan tadi mereka janjian buat ketemu di tangga darurat, Lex!” yakin Liana. “Pasti didorong jatuh!” Lagi-lagi Larisa hanya menggelengkan kepalanya, tanpa bisa berbicara. Reina makin erat memeluknya. “Sudah Li, jangan berisik. Sudah dihubungi keluarganya dan Pak Dewa?” Reina mengalihkan pembicaraan. Menatap ke arah Liana dan Dino secara bergantian. “Sudah, mereka dalam perjalanan kemari,” jawab Dino. Dia memilih menunggu di sana, meskipun tidak ada yang bisa dilakukan. Sementara Dewa yang masih di pabrik, sudah dihubungi oleh Liana. Tentu saja panik mendengar kabar tersebut. “Pak Arya, saya minta ijin pulang dulu,” katanya, begitu sambungan telepon dari Liana terputus. Wajahnya pias dan mengkhawatirkan keadaan Resty. “Ada apa Wa?” Arya yang baru dari toilet dan tidak mengetahui panggilan telepon itu pun bertanya. “Liana tadi telepon, katanya Resty jatuh dan sekarang sedang ditangani di Rumah Sakit,” jawabnya. Dia bingung dan gugup, kekasihnya kecelakaan dan dalam keadaan kritis, tetapi tidak didampingi olehnya. Sedangkan Arya menatap Dewa sejenak, seperti memikirkan sesuatu. “Oh ya sudah, kita ke sana bareng,” putus Arya sambil menepuk bahunya. Keduanya pun bergegas meninggalkan pabrik. Dewa mengemudikan mobil milik Arya dengan kekuatan penuh ke arah rumah sakit yang disebut oleh Liana. Dalam hati laki-laki itu, ingin segera sampai dan mengetahui apa yang terjadi. Ada apa? Kenapa Resty bisa jatuh? Berkali-kali dia bertanya dalam hati sambil tetap berkonsentrasi dengan mobil yang dia kendarai. Sementara di rumah sakit, Farid datang dan langsung duduk bersebelahan dengan Liana. Dia belum tahu pasti apa yang terjadi dengan putri semata wayangnya. Baru saja ingin menanyakan hal itu, seorang perawat keluar dan menghampirinya. “Keluarga Nona Resty?” tanya perawat tersebut. “Ya Sus, ada apa?” Farid segera berdiri dan menghampiri perawat tersebut. “Kami memerlukan darah karena saat ini sedang berusaha menghentikan pendarahan kepalanya. Persediaan dengan golongan darah Nona Resty tidak mencukupi,” beritahu perawat. Farid menghela nafasnya. Golongan darah anaknya sama dengan istrinya. Jelas tidak bisa mendonorkan darahnya. “Golongan darahnya apa ya, Sus?” tanya Dino. “AB, Mas. Mungkin ada yang bisa membantu? Kami butuh cepat,” jawab perawat tersebut. “Golongan darah saya AB, bisa diambil,” sahut Larisa yang baru bisa membuka suaranya setelah sekian lama diam dan menangis. Wajah Liana mendadak merah padam. Bergegas dihampirinya gadis itu. “Kamu yang bikin Resty jatuh, sekarang mau sok pahlawan?” sarkasnya. Tangannya hampir menggapai wajah Larisa untuk ditamparnya. Tetapi tindakannya itu langsung dihalangi oleh Alex. Laki-laki itu langsung menghampiri perempuan garang tersebut. “Sudah, nanti saja kalau mau marah! Yang penting sekarang Resty bisa segera ditangani!” sergah Alex menghentikan niat Liana yang ingin menampar Larisa. Tangannya menahan tangan perempuan itu. Sementara Farid memandang ke arah mereka, mencerna di setiap dialog yang ada di depan matanya. Dia masih belum terlalu paham, tetapi berusaha mengira-ngira apa yang sedang terjadi. “Oke, mari ikut saya,” ajak perawat itu kepada Larisa, tidak berkomentar degan keributan yang diciptakan Liana. Setelah Larisa masuk mengikuti perawat, Dewa dan Arya datang dengan langkah tergesa. “Pak Dewa!” panggil Liana. Mereka pun menghampiri rombongan itu. Dewa menghampiri Farid dan mencium tangan ayah kekasihnya. Kemudian keduanya berpelukan, menyalurkan rasa saling menguatkan. “Gimana Resty, Li?” tanya Dewa, berpaling ke staffnya setelah menghampiri dan mencium tangan Farid. Baru Liana akan membuka mulut, Reina mendahuluinya, “masih ditangani, Pak.” Reina sengaja mendahului Liana, karena dia takut ucapannya akan memperkeruh keadaan. Larisa belum banyak bicara dan Resty masih ditangani. Hanya keduanya yang tahu pasti keadaan itu. Ucapannya yang sedari tadi gencar menuduh junior mereka jelas bukan hal yang baik untuk mendinginkan suasana. Dewa bisa saja salah ambil tindakan. Perawat yang tadi keluar lagi. “Keluarga Nona Resty? Bisa ikut ke dalam untuk menemui dokter jaga?” Farid dan Dewa segera berdiri dan menghampiri perawat tersebut. Kemudian mereka masuk ke UGD. Mereka yang ditinggalkan pun kembali duduk dan menunggu. “Resty pasti didorong sama bocah itu,” gumam Liana, masih bersikeras membuat tuduhan terhadap Larisa. “Kita sama-sama nggak tahu apa yang terjadi, Li,” sanggah Dino, meski dia juga ragu-ragu dengan ucapannya sendiri. “Lalu kamu pikir Resty jatuh sendiri?” Liana balik bertanya, kesal dengan sikap Dino yang dia pikir membela Larisa. “Bukan begitu juga,” elak Dino mencoba meluruskan. “Lalu?” Liana melotot menekan Dino. “Sudah, kita tunggu dulu kabarnya Resty,” sergah Arya, menghentikan obrolan keduanya. Dia sendiri belum bisa mengerti dengan apa yang terjadi. Liana dan Dino pun diam, mengikuti ucapan big boss mereka. Tiga puluh menit kemudian, berbarengan dengan keluarnya Dewa dan Farid, Larisa keluar dengan wajah pucat dan agak lemas. Reina dan Alex segera menghampiri gadis itu. “Gimana, Sa?” tanya Alex. Sementara Reina kembali memeluknya. Sedang Arya, Dino dan Liana menatap ke arah Dewa dan Farid yang memilih sisi lain dari ruang tunggu. “Bukan aku yang bikin Kak Resty jatuh, Kak,” jawab Larisa. Alex mengangguk dan menepuk bahu Larisa pelan. Dia tahu tidak mungkin sahabat sekaligus saudaranya itu akan bersikap yang bikin orang celaka. Tetapi Liana menatap Larisa dengan wajah sinis. Tampaknya dia tak percaya pada ucapan gadis itu. “Sudah bilang ke orang tuamu?” tanya Reina pelan. “Sudah.” Dia menghela nafasnya, masih dirasakannya kepanikan mamanya saat telepon tadi. Kali ini Larisa sudah bisa bersikap tenang, meski dia khawatir dengan Resty. Sedang Liana segera menghampiri Farid yang kini duduk di dekat Dewa dan Arya. “Resty gimana Om?” tanyanya. “Harus dioperasi,” jawab Farid singkat. Liana ternganga mendengarnya. Dia tidak menyangka, keisengan mereka berdua untuk mengerjai Larisa malah berbalik merugikan sahabatnya itu. “Kamu! Kamu yang menyebabkan ini semua!” Liana histeris menunjuk ke arah Larisa, yang dijawab oleh gelengan kepala gadis itu. Kembali Larisa menangis dan tidak bisa bersuara. Hampir saja tangannya melayang ke arah pipi juniornya, tetapi keburu ditahan oleh Dino. Seketika Dewa menoleh ke arah Larisa. Daritadi dia memang bingung melihat keberadaan gadis itu di sini. Kenapa Larisa ada di sini? Ada apa? Kini Dewa bertanya dalam hatinya. “Jangan nuduh dulu sebelum ada bukti,” sergah Alex. Arya memandang Liana yang tampak menggebu-gebu menuduh Larisa. “Mereka habis bertemu di tangga darurat, habis itu Resty jatuh. Menurutmu, apa penyebabnya?” tanya Liana kepada Alex. “Jangan memperparah keadaan, Li,” sergah Dino mengingatkan. Liana ingin membantah perkataan Dino, tetapi Arya menginterupsinya. “Sudah, kita bahas nanti. Kita tunggu operasi dulu,” Arya menghentikan pertengkaran dan mengajak rombongan ke ruang operasi. Tetapi Alex mencegah Reina dan Larisa pergi. “Makan dulu, Mbak. Operasi Resty pasti makan waktu, Larisa perlu makan buat memulihkan tenaganya,” usul Alex saat melihat wajah pucat sahabatnya itu. Reina pun menyetujuinya. Ketiganya pun melangkah ke kantin untuk makan malam. Di sana, sambil makan, Larisa pun akhirnya bercerita kronologinya. “Kamu nggak mendorong dia kan?” tanya Alex memastikan. Larisa menggeleng, mulutnya masih sibuk mengunyah makanannya. “Tadi kan kubilang, lebih baik kutemani,” sesal Reina. *Aku nggak nyangka jadi seperti ini, Bu,” jawab Larisa. “Sudah lah, sudah terlanjur kejadian,” sela Alex menenangkan. “Semoga keluarga Resty paham kalau itu bukan kesalahanmu,” lanjutnya lagi. Ketiganya kemudian melanjutkan makan dalam diam. Setelah makan, ketiganya bergegas ke ruang operasi sambil membawa minuman dan camilan untuk yang sedang menunggui operasinya Resty. Baru mereka sampai, Dewa langsung menghampiri, menatap ke arah Larisa dengan wajah penuh amarah. “Kalau terjadi sesuatu pada Resty, kubunuh kamu!” desis Dewa. Wajah Larisa memucat dan badannya melemas. Alex bergegas menahan tubuh gadis itu agar tidak jatuh. Sementara, Liana yang berdiri di dekat Reina, tersenyum penuh dendam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD