“Ma, kapan kita jemput Zahwa?” Begitu melihat ibunya di bawah, Samudra gegas turun menghampirinya. “Kamu ini kenapa sih? Seperti burung beo? Itu-itu saja yang ditanya.” Pagi-pagi Bu Widia sudah mengomeli putranya yang terus menerus bertanya Zahwa sampai membuat telinganya pekak. “Aku seperti ini karena mencemaskan Zahwa, Ma.” “Astagfirullah, Sam. Lama-lama Mama bisa menggila berbicara denganmu. Lebih enak dikasih tau Zahwa daripada kamu, bebal.” Bu Widia memijat pelipisnya. Semalaman tidurnya nyenyak sekali karena Bu Widia bisa mempercayakan cucunya pada Naomi yang dianggap sangat lembut dan penuh kehangatan saat menjaga Zahwa. Namun, sangat berbanding terbalik dengan Samudra yang uring-uringan di tempat tidur—tidak bisa tidur karena pikirannya memikirkan keadaan Zahwa, sekaligus memi