PART. 6 PIKIRAN NAKAL

1122 Words
"Kama sekali, Na!" "Eh, cicak ditindih buaya!" Nana terkejut karena Prana masuk ke dapur. "Kamu bicara apa?" "Tidak, Bos. Ini sudah siap tinggal diantar ke meja Bos." "Nanti siang makan apa?" Tanya Prana. "Bos ingin di masakan apa?" Nana balik bertanya. "Sayur bening saja dengan ikan goreng." "Pakai sambel terasi, Bos?" "Ya bolehlah." Prana keluar dari dapur menuju kursi kerjanya. Nana meletakkan roti bakar dan teh panas di atas meja Prana "Nana sudah ditunggu untuk nimbang." Mbak Titi memberitahu Nana. "Iya, Mbak Titi, aku segera ke sana. Bos cuci baju setelah selesai nimbang ya." "Iya." Prana mengangguk. Nana masuk ke ruangan kerjanya untuk mengambil kertas dan pulpen. Setelah itu ia segera menuju tempat biasa ia menimbang bahan rotan dari bagian diameter ke bagian mesin belah, atau mesin pecah. Kenapa diameter rotan diukur, agar bisa menentukan pisau yang dipakai di mesin pemecah. Bilah rotan dimasukkan ke mesin pecah, atau mesin belah, dibagi menjadi kulit rotan dan hatinya. Kulit rotan ini juga kemudian dibagi menjadi beberapa kategori dan ukuran. Ada yang untuk tikar rotan bernama lampit, ada yang dibuat tikar bernama Sabrina. Setelah dari mesin pecah, rotan ini nanti akan dibawa ke bagian lain. Ada yang dibawa ke mesin tumbuk, ada yang dibawa ke mesin jangat, dibawa ke mesin Sabrina, dan ada juga yang dibawa ke bagian sortir. Saat menimbang bilah rotan, memakai timbangan yang besar dan di atasnya diletakkan kayu panjang, agar ikatan rotan bisa diletakkan utuh di sana. saat menimbang, Nana duduk di jendela. Jendela itu tanpa daun jendela, karena hanya ditutup oleh jeruji kawat yang cukup lebar. Ada saja yang iseng, saat Nana duduk begitu, ada yang menggelitik pinggangnya. Tapi hal seperti itu tak pernah membuat Nana marah, candaan-candaan seperti itulah yang membuat suasana kerja menjadi lebih menyenangkan. Sambil menimbang kadang ada beberapa teman pria yang curhat kepada Nana tentang masalah asmara. Nana pendengar yang baik, sehingga banyak teman yang suka bercerita kepadanya. Dan Nana juga dianggap bisa memberikan mereka solusi. Menimbang bahan ini dilakukan Nana dua kali sehari. Untuk dikerjakan pagi dan siang hari, menimbang sore hari untuk dikerjakan malam hari. Saat menimbang, Nana sekalian caper dengan gebetannya. Pria itu sesungguhnya sudah memiliki istri, tapi konon pernikahan itu karena perjodohan bukan karena saling cinta. Dan sekarang, Didi sedang pisah rumah dengan istrinya. "Sudah sarapan?" Didi berdiri di samping Nana. "Sudah." Nana tak mengalihkan tatapan dari angka di timbangan yang harus ia indahkan ke kertas di atas pangkuannya. "Tadi malam menginap di hotel dengan bos?" Tanya Didi. Nada cemburu dari pertanyaan Didi membuat hati Nana mengembang. "Dengan istri dan ibu bos," sahut Nana agar tak ada salah paham. "Enak ya bisa tidur di hotel," ucap Didi lagi. "Alhamdulillah, jadi orang kaya satu malam." Nana tertawa pelan. "Enak jadi Nana disayang bos dan istrinya. Diajak jalan-jalan, menginap di hotel," ujar Acil Odah dari bagian diameter. "Tapi jadi orang yang paling sering kena omel. Ada kesalahan di mesin belah, saya kena omel. Ada kesalahan di stok akhir, saya ikut kena omel. Bos marah dengan siapa saja, saya terus yang kena omel, Cil." Nana menceritakan tak enaknya jadi dirinya. Acil Odah tertawa. "Saking sering kena omel sampai kebal ya, Na." "Ibarat bisul, membatu, Cil." Acil Odah dan yang lain tertawa. Tiba-tiba Prana datang. "Kamu kerja apa bercanda, Na?" "Dua-duanya, Bos. Biar tidak mengantuk." Acil Odah yang menjawab. "Ayo bubar, kerja!" Prana mengusir para pria yang berdiri di sekitar timbangan besar itu. "Siap, Bos!" Meski ekspresi wajah Prana dan nada bicaranya seperti orang marah, tapi semua sudah biasa akan hal itu, sehingga mereka santai saja menanggapinya. Namun mereka tetap beranjak untuk memulai kerja. Kerja mereka digaji borongan, artinya besar kecil penghasilan mereka dihitung dari berapa ton rotan yang mereka kerjakan. Sehingga hasil tergantung usaha mereka. "Cepat selesaikan, Na. Kamu harus nyuci pakaian dan membuatkan saya makan siang." "Iya, Bos. Ini sedikit lagi." Prana berlalu dari tempat itu, melanjutkan meninjau bagian lain di pabrik. Nana segera menyelesaikan pekerjaannya. Selesai menimbang Nana kembali ke kantor lewat bagian stok akhir, tempat ia bekerja dulu. Di pabrik ada tujuh bangunan besar. Setiap bangunan tanpa sekat dan diisi oleh beberapa bagian pekerjaan. "Sini, Na. Ngerujak dulu." Acil Ani melambai ke arah Nana. Nana mendekat, Nana ngiler melihat rujak di dalam piring. "Siapa yang ngidam ini, pagi-pagi sudah mencok?" Nana duduk bersila, lalu mengambil tusuk gigi sebagai alat untuk mengambil buah di piring. "Asemnya!" Nana bergidik, mangganya asam sekali. "Siapa yang ngidam, Cil?" Nana mengulangi pertanyaan yang belum dijawab. "Acil Sanah." Acil Ani menunjuk Acil Sanah. "Hah; anak ke berapa ini?" "Ke lima, Na." Acil Sanah menjawab. "Semoga lancar jaya ya, Cil, aamiin." "Aamiin." "Hey, nongkrong di sini. Kerja, Na! Kerja!" Prana sudah berdiri di ambang pintu stok akhir. Prana bertolak pinggang seraya menggelengkan kepala melihat Nana. Nana tertawa. "Ngerujak, Bos." Nana menawarkan rujak pada Prana. "Terlalu pagi untuk ngerujak. Sakit perut nanti kamu. Ini siapa yang ngidam?" "Acil Sanah!" Nana menunjuk Acil Sanah. "Hah! Bukannya tahun lalu kamu baru cuti melahirkan!" Mata Prana melotot ke arah Acil Sanah. "Ya bagaimana, Bos. Mesinnya bagus jadi produksi lancar." Acil Sanah menjawab seraya tertawa. "Ck!" Prana berdecak seraya menggeleng-gelengkan kepala. Lalu Prana melangkah menuju kantor. Langkah Prana berhenti, ia memutar tubuh. "Nana kerja!" "Iya, Bos." "Terima kasih, Cil!" Nana segera menyusul Prana. Kadang Nana bingung bagaimana Prana bisa ingat dengan karyawannya yang jumlahnya lebih seratus orang. Apalagi kalau ada yang pinjam uang ke kantor. Prana sering mengomel, tapi meski mengomel tetap saja dikasih pinjam. Prana juga bisa ingat, ini buat salah apa, ini bikin salah apa. Seperti Acil Sanah tadi, Prana ingat kalau tahun lalu Acil Sanah cuti melahirkan. Tiba di kantor. "Cuci baju dulu." "Iya, Bos." Nana mendekati Mbak Titi. "Mbak, ini hasil timbangan pagi ini." Nana meletakkan hasil timbangan di atas meja Mbak Titi. Karena tugas Mbak Titi membuat rekapannya. "Terima kasih, Na." "Sama-sama. Aku mau cuci baju bos dulu." "Iya, Na." Nana menuju pintu ruangan tempat tinggal Prana. "Bos!" Nana mengetuk pintu. "Masuk!" Nana membuka pintu. Prana ke luar dari dalam kamar seraya membetulkan kancing celananya. Jantung Nana terasa berhenti berdetak dengan tiba-tiba, padahal sebelumnya melihat Prana seperti ini ia sudah biasa. Tapi kali ini ada perasaan berbeda. Prana ke luar ruangan. Nana mengambil koper Prana. Di dalam ruangan tempat tinggal Prana ada dua kamar tidur, satu ruang tamu yang jadi satu dengan dapur. Di setiap kamar ada kamar mandi. Tapi Nana jarang masak di dapur dalam, ia lebih suka masak di dapur pabrik. Nana takut menggunakan alat dapur yang bagus milik istri Bos. Nana mengeluarkan pakaian Prana dari dalam koper. Yang belum dipakai dikembalikan ke lemari, yang kotor siap ia cuci. Nana menatap celana dalam Prana. Sebenarnya selama ini Nana sudah setiap hari mencuci celana dalam Prana, tapi baru kali ini Nana memikirkan isi celana dalam Prana seperti apa. "Ya Tuhan. Ada apa dengan otakku!" Nana memukul jidatnya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD