Lita dan Bu Hana meninggalkan ruangan kamar Prana. Prana berdiri dari duduknya.
"Aku ingin ganti pakaian."
"Silakan, Bos."
Prana mengambil pakaian dari dalam koper. Lalu membawa masuk pakaiannya ke dalam kamar mandi. Nana masih duduk diam untuk sesaat. Memikirkan nanti harus tidur di mana. Lalu Nana berdiri. Ia mengambil goodie bag dengan logo salah satu mart. Di dalam goodie bag ada pakaiannya. Nana mengambil pakaiannya. Lalu Nana kembali duduk menunggu Prana selesai memakai kamar mandi.
Prana keluar kamar mandi sudah dengan piyama.
"Aku tidur di sofa, kamu tidur di tempat tidur."
"Jangan, Bos. Biar saya yang tidur di sofa, Bos di tempat tidur."
"Jangan membantah itu perintah."
Seperti biasa wajah Nana cemberut kalau dimarahi bosnya, tapi Nana tidak berkata apa-apa. Nana masuk ke kamar mandi membawa pakaiannya. Setelah membersihkan diri dan memakai pakaian, Nana keluar dari kamar mandi. Nana melihat Prana sudah berbaring di sofa. Nana tak punya pilihan, ia berbaring di atas tempat tidur.
Nana percaya, Prana tidak akan macam-macam kepadanya. Karena mereka sudah cukup sering berdua di dalam kamar Prana, saat Nana membersihkan kamar bosnya itu. Prana sering berdiri mengawasinya.
Meski perasaan gelisah hadir, Nana berusaha untuk tenang. Karena perjanjian sudah jelas, pernikahan ini hanya sandiwara di hadapan Ibu Prana, tidak akan ada yang berubah dalam hubungannya dengan Prana. Dirinya tetap Nana karyawan pabrik, dan Prana tetap bosnya bukan suami nya.
Ini pertama kalinya Nana tidur di kasur yang empuk. Tidurnya sangat lelap, untung tidak kesiangan untuk salat subuh.
"Bos, subuh!" Nana membangunkan Prana.
"Subuh?"
"Iya, waktunya salat subuh."
"Saya tidak salat. Kamu bangunkan saya jam delapan."
"Tidak salat?"
"Saya masih mengantuk. Bangunkan saya jam delapan!"
"Oh, baik, Bos."
Nana menatap Prana yang melanjutkan tidur.
Nana salat sendirian. Setelah salat Nana berbaring lagi menunggu jam delapan pagi, karena bingung apa yang harus dilakukan.
"Nana, buka pintu!" Suara Lita terdengar dari luar pintu. Nana segera membuka pintu kamar.
Di depan pintu berdiri Lita, dan Bu Hana.
"Mas Prana belum bangun?"
Lita dan Bu Hana melangkah masuk.
"Kenapa dia tidur di sofa? Kalian tidak melakukan apa-apa tadi malam?" Bu Hana menunjuk prana yang tidur di sofa.
"Maaf, Bu. Saya sedang datang bulan. Tidur berdua juga perlu rasa nyaman, jadi tadi malam Bos tidur di sofa. Kami butuh waktu untuk ...." Nana terpaksa berbohong.
"Datang bulan? Itu bekas siapa?" Bu Hana menunjuk mukena dan sajadah Nana.
"Tadi subuh saya mandi, Bu, jadi saya bisa salat." Nana kembali harus berbohong.
"Waktu yang bagus untuk segera program punya anak."
"Iya, Bu." Kepala Nana mengangguk.
Nana berusaha untuk tidak gugup dalam menjawab pertanyaan Bu Hana. Meski ada rasa berdosa karena sudah membohongi wanita tua itu.
"Bangunkan Prana, Lita!" Bu Hana menyuruh Lita membangunkan Prana.
"Bos minta dibangunkan jam 08.00, Bu." Nana menyampaikan permintaan Prana padanya.
"Bangunkan saja. Biar cepat sarapan, dan Prana bisa segera mengantar kami ke bandara." Bu Hana menatap putranya yang tidur di sofa.
"Iya, Bu."
Lita membangunkan Prana. Nana membereskan pakaian yang ia masukkan ke dalam goodie bag.
"Ambilkan pakaian ganti untuk Prana di dalam kopernya." Bu Hana memerintah Nana.
"Maaf, Bu, saya tidak berani membuka koper Bos."
"Sekarang kamu itu istrinya. Kalau Lita tidak ada, kamu yang mengurus semua keperluan Prana. Dari ujung kaki sampai ujung rambutnya, lahir dan batinnya." Bu Hana menatap wajah polos Nana. Nana melirik Lita, ingin tahu apakah Lita tidak merasa sakit hati mendengar ucapan ibu mertuanya.
"Baik, Bu." Nana menganggukkan kepala.
"Ingat, sebagai istri Prana, kesejahteraan urusan sumur, dapur, dan kasur Prana adalah tanggung jawab kamu. Jangan sampai Prana tidak terurus pakaian, makan, dan kebutuhan batinnya. Itu tujuanku mencarikan dia istri muda, karena Lita tidak mau mengikuti Prana ke sini. Tanpa istri di sampingnya, tidak akan terpenuhi semua kebutuhannya. Kamu paham, Nana?"
"Baik, Bu."
Nana menjawab seraya mengambilkan pakaian Prana dari koper, dan memasukkan pakaian kotor ke dalam tempat yang tersedia.
Prana terbangun karena dibangunkan Lita, lalu Prana masuk ke kamar mandi dengan membawa pakaian ganti. Setelah Prana keluar dari kamar mandi, mereka langsung keluar dari kamar, tapi tas dan koper tidak dibawa, karena mereka akan sarapan dulu di restoran hotel. Nana memakai pakaian baru yang dibelikan oleh Lita. Prana berjalan di depan bersama ibunya, sedang Nana berjalan di belakang bersama Lita. Nana mengaku kepada adik-adiknya menemani Ibu Prana menginap di hotel, tentu ia tidak berkata jujur tentang pernikahannya.
Mereka sarapan di restoran hotel. Selesai sarapan langsung kembali ke kamar, lalu segera check out dari hotel. Hari ini Lita dan ibu Prana pulang ke Jakarta. Prana dan Nana mengantarkan mereka ke bandara. Dari bandara Prana membawa mobil ke pabrik. Nana keluar dari mobil, saat mobil terparkir di depan kantor pabrik. Orang kantor di pabrik tahunya Nana menemani ibu Prana di hotel. Nana keluar dari bagian jok belakang mobil. Di bawaserta goodie bag berisi pakaiannya.
Prana lebih dulu melangkah masuk ke dalam kantor seraya membawa koper pakaiannya. Nana mengikuti di belakang.
Prana langsung masuk ke dalam ruangan tempat tinggalnya di pabrik. Sedang Nana masuk ke dalam ruangan tempat ia bekerja.
"Yang menginap di hotel sudah datang" Mbak Dwi menggoda Nana.
"Bagaimana rasanya tidur di hotel mewah, Nana?" Tanya Mbak Dwi.
"Alhamdulillah, saya bisa tidur nyenyak. Kasurnya empuk, ruangannya adem."
"Ibu dan istri Bos sudah pulang ya?"
"Sudah. Dari hotel langsung ke bandara. Dari bandara kami ke sini."
"Ada apa kok cuma satu malam di sini?"
"Ibunya Bos kangen dengan bos."
"Kenapa kamu diajak ke hotel."
"Katanya sesekali ingin aku merasakan nginap di hotel."
"Satu kamar sendiri kamu, Na?"
"Iya, Mbak Dwi."
"Beruntung kamu ya."
"Alhamdulillah."
"Na!" Suara Prana memanggil Nana.
"Bos memanggil."
"Iya."
Nana ke luar dari ruangannya. Prana berdiri menunggu di ambang pintu ruangannya.
"Ya, Bos."
"Pakaian saya di koper bereskan. Yang kotor di cuci, yang belum dipakai kembalikan ke lemari. Teh saya juga siapkan!"
"Baik, Bos! Saya buatkan minum dulu sebelum mencuci pakaian."
"Iya."
"Bos ingin dibuatkan roti bakar?"
"Ya, buatkan saja."
"Siap, Bos."
Nana segera ke dapur untuk membuat roti bakar dan teh panas, sebelum mencuci pakaian bosnya. Nana teringat ucapan ibu Prana, kalau sumur, dapur, dan kasur adalah tanggung jawabnya sebagai istri Prana.
'Kalau sumur, dan dapur ya baiklah, Bu. Tapi kalau kasur, hiy, badan bos sebesar itu bagaimana dengan senjatanya. Hah! Ya ampun, Nana. Apa yang kamu pikirkan. Bu Lita badannya tinggi besar ya cocok dengan Bos. Seperti komodo dan buaya. Kalau aku dengan Bos, itu seperti cicak ditindih buaya. Ya Tuhan, Nana, apa yang kamu pikirkan!?"
Nana menepuk jidatnya sendiri, pipinya merona, merasa malu dengan pikirannya sendiri, yang tiba-tiba memikirkan tentang urusan kasur. Padahal di perjanjian sudah jelas, tidak ada urusan kasur. Pernikahan mereka hanya sandiwara di depan Ibu Prana. Tidak pernah ada anak yang akan dilahirkan dalam pernikahan mereka. Urusan kasur sudah diatur perjanjiannya oleh Lita. Lita bersedia menikahkan Prana, tapi bukan ingin berbagi tubuh apalagi cinta Prana.
*