Dari bagian mesin Sabrina, mereka ke bagian pembuatan tikar lampit. Tikar lampit dibuat manual. Kebanyakan karyawannya wanita. Memerlukan keahlian khusus untuk membuat tikar tersebut. Bilah rotan dijalin manual dengan menggunakan satu set jarum yang panjang dan bergagang dari kayu.
"Sesekali bagi nasi, Bos. Lapar malam begini." Salah satu karyawan wanita bicara didukung oleh karyawan lainnya.
"Kerja yang benar. Pengiriman hampir tiba waktunya. Target jangan sampai lepas. Nasi bungkus nanti menyusul."
"Hua! Mantap, Bos!" Para ibu yang kerja malam di bagian lampit dan stok akhir bersorak kegirangan, padahal yang dijanjikan bos hanya bonus nasi bungkus. Nana ikut tersenyum bahagia. Bagi orang di luar sana, apalah artinya sebungkus nasi, tapi bagi mereka itu sangat berarti.
Prana mengobrol dengan kepala bagian stok akhir. Memastikan barang yang akan dikirim bisa selesai tepat waktu. Setelah itu mereka melanjutkan membagi permen ke gudang seberang, tempat mesin pecah dan mesin tumbuk berada. Nana menatap Didi, pria gebetannya. Di gudang itu ada enam mesin pecah, masing-masing memiliki satu tim yang berisi enam orang. Dari enam orang itu ada satu yang menjadi pemimpin tim dan harus bertanggung jawab atas kerja timnya. Didi salah satunya.
Sementara Prana berbincang dengan kepala bagian mesin pecah, Nana membagikan permen.
"Jangan terlalu dekat dengan bos, jadi bahan gosip." Didi bicara di dekat Nana. Tatapan Prana pada Nana dan Didi.
"Sudah pekerjaanku seperti ini. Hampir setiap malam aku menemani bos membagi permen. Kenapa baru sekarang bicara gosip." Nana menggerutu.
"Aku juga tidak tahu dari mana awal gosip beredar."
"Aneh-aneh saja."
"Na, ayo ke depan!"
"Iya, Bos."
"Aku pergi ya."
"Iya."
Nana mengikuti langkah Prana menuju mesin tumbuk di bagian depan. Nana membagikan permen di sana. Setelah dari sana mereka kembali ke kantor.
Prana langsung masuk ke ruangannya untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian, begitu juga dengan Nana. Masuk ke kamar mandi kantor untuk mengganti pakaian dan membersihkan diri.
"Na!"
Baru saja Nana meletakkan pakaian kotor di dalam plastik suara Prana terdengar memanggil.
"Ya!"
Nana masuk ke ruangan Prana.
"Ibuku ingin bicara dengan kamu."
"Iya."
Nana masuk ke dalam kamar Prana. Ternyata Prana tengah video call dengan ibunya.
"Assalamualaikum, Bu."
"Wa'alaikum salam. Kalian dari mana?"
"Saya menemani bos keliling pabrik melihat karyawan yang bekerja."
"Bas bos, bas bos, Prana itu suami kamu. Masa memanggil suami bos!"
"Bu. Yang tahu pernikahan kami itu cuma Pak sodik dan Pak Bekti. Yang lain tidak tahu, jadi biar saja Nana memanggil aku seperti itu."
"Nana tidur di situ?"
"Iya."
"Kalau pernikahan kalian tidak diumumkan. Apa tidak jadi gosip, kalian tidur berdua, sedang mereka pikir kalian belum menikah."
"Nana tidak menginap di sini. Dia bekerja seperti biasa. Kami hanya mencuri waktu berdua." Prana yang menjawab pertanyaan ibunya.
"Apa bisa jadi anak kalau hanya mencuri waktu begitu?"
"Ya bisa, Bu. Yang penting kan masuk, tumpah, selesai."
Nana melongo mendengar jawaban santai Prana atas pertanyaan ibunya.
"Huh, kamu ini! Kalian harus punya waktu yang berkualitas berdua. Jangan asal masuk dan tumpah." Bu Hana tampak kesal dengan jawaban putranya.
"Tidak perlu hal seperti itu, Bu. Kalau mau jadi ya jadi saja, di manapun tempatnya, seperti apapun waktunya, bagaimanapun gayanya."
Sekali lagi Nana melongo mendengar jawaban Prana yang asal saja.
"Awas ya, jangan bikin anak di samping tumpukan batang rotan. Nanti cucuku tidak sehat!"
"Tumpahnya itu kan di dalam, Bu. Bukan di lantai lalu dimasukkan ke dalam. Tidak ada hubungannya sehat atau tidak."
"Ya sudah. Ibu menunggu kabar baik dari kalian."
"Iya."
Wajah Bu Hana menghilang dari layar ponsel Prana. Ada rasa bersalah dalam diri Nana. Nana merasa sudah memberi harapan besar kepada orang tua itu. Harapan yang sesungguhnya kosong, hanya bohong belaka.
"Bagaimana kalau ibu bos akhirnya tahu, kalau pernikahan kita hanya sandiwara di hadapannya, bukan untuk memberikan dia cucu seperti keinginannya."
Nana mendongak menatap wajah Prana.
"Dia tidak akan tahu, kalau kamu tidak cerita."
"Sesungguhnya, menurut saya, alasan Bos dan Bu Lita tidak ingin memiliki anak itu terlalu mengada-ada. Kalau Bos tidak ingin nasib anak Bos seperti Bos dan Bu Lita. Baik-baik jadi orang tua. Bos bisa lihat saya dan adik-adik saya, kami sudah hidup beberapa waktu ini tanpa orang tua. Kami bisa bertahan. Kami bahagia, meski tidak kaya harta. Itu karena didikan kedua orang tua kami."
"Jangan gurui aku, Nana. Ditinggal pergi orang tua meninggal, dengan korban perceraian itu berbeda."
"Tapi ...."
"Keluar, aku mau tidur!"
"Baik, Bos."
Nana keluar dari ruangan Prana. Ditutup pintu ruangan Prana. Nino sudah berbaring di sofa dengan berselimutkan sarung. Nina sudah berbaring di kasur dengan selimut motif bunga. Nana berbaring di samping Nina. Matanya tidak bisa terpejam, tatapannya ke langit-langit kamar. Teringat akan ucapan ibu Prana, yang sangat berharap mendapat cucu dari pernikahan Nana dan Prana.
'Ya Allah. Jika aku berdosa karena memberikan harapan palsu, aku mohon ampuni aku. Aku melakukan ini karena terpaksa demi masa depan adik-adikku. Ampuni aku ya Allah, ampuni aku, aamiin.'
Nana berusaha tidur. Meski perasaannya sedang gundah saat ini.
*
Subuh, Nana dan kedua adiknya bangun. Nino salat subuh di musholla. Nana titip membeli sarapan pada Nino. Nana dan Nina salat subuh bergantian. Kemudian mereka merapikan tempat tidur. Kasur kapuk digulung, dimasukkan plastik seperti semula, lalu diletakkan di belakang kantor. Bantal dan guling juga dirapikan. Sehingga ruang tamu kantor sudah seperti biasanya.
Nino datang membawa sarapan. Mereka bertiga sarapan. Kedua adik Nana sudah memakai seragam. Setelah sarapan, kedua adik Nana pamit pergi ke sekolah. Nana menyapu ruangan dan melap kaca. Ia juga membersihkan kamar mandi. Belum ada orang kantor yang datang. Karena jam kerja dimulai pukul 08.00, sedangkan sekarang baru pukul 07.15.
Pintu ruangan Prana terbuka. Nana menatap Prana. Prana tidak menatapnya. Prana langsung duduk di kursi kerjanya. Nana beranjak ke dapur pabrik di samping tempat tinggal Prana. Ia merebus air untuk menyeduh teh bagi Prana, dan menyiapkan roti untuk sarapan bos nya yang tampaknya moodnya sedang tidak bagus pagi ini.
Nana kembali ke kantor dengan membawa teh dan roti. Kepala bagian bahan mentah yang gudangnya paling belakang sedang menghadap Prana.
"Nanti saya cek ke gudang belakang," ujar Prana.
"Baik, Bos. Saya permisi, selamat pagi."
"Hmm ...."
Setelah kepala bagian gudang bahan mentah pergi, barulah Nana meletakkan teh dan sarapan Prana di atas meja. Wajah Prana merah, seperti menyimpan amarah. Nana tidak berani mengusiknya. Meski rasa penasaran Nana rasa.
Hari ini, terasa berbeda. Karena wajah Prana tertekuk seharian ini. Prana tidak terdengar bercanda seperti biasanya.
"Maaf, Bos. Siang ini ingin makan apa?"
"Sop ayam."
"Baik, Bos."
Hanya tentang makanan itu saja pembicaraan mereka. Saat sore Nana bertanya ingin makan malam apa.
"Tidak usah. Aku pergi ke Banjarmasin sore ini."
"Oh, baik, Bos."
"Kamu dan adik kamu tidur di sini saja malam ini. Nanti aku beri uang lembur."
"Hah!"
"Itu perintah. Kamu jemput adik kamu sekarang."
"Iya, Bos."
Nana tidak berani membantah, karena mood Prana sangat buruk hari ini. Nana mendengar kalau Prana marah-marah ke karyawan di gudang paling belakang. Mereka salah mencampurkan obat untuk merendam rotan.
*