PART. 11 DALAM KEBINGUNGAN

1140 Words
Saat Nana tiba di pabrik, Prana sudah berangkat. Sehingga di kantor hanya ada Nana dan kedua adiknya saja. Nana dan adik-adiknya sudah berbaring. Kedua adik Nana bahkan sudah tidur saat suara pintu gerbang yang tak begitu jauh jaraknya dengan kantor digeser. Suara mobil masuk ke halaman kantor. "Na, buka pintu, Na." Suara Pak Yudo membuat Nana segera bangun dari berbaring. Nana membuka pintu. Pak Yudo berdiri di depan pintu dengan memapah Prana. Nana sangat terkejut melihat Prana. "Bos kenapa?" Nana membantu Pak yudo memapah Prana. "Bos mabuk." "Mabuk?" Nana sungguh terkejut mendengarnya. "Iya. Bantu aku membawa Bos ke dalam." "Siapa yang mengantar Bos pulang?" "Supir temannya yang menjemput tadi sore." Pak Yudo dan Nana membawa Prana masuk ke dalam kamar. "Kamu urus ya, Na." "Iya." Pak Yudo ke luar diikuti Nana. Nana menutup dan mengunci pintu kantor. Mobil terdengar pergi. Nana kembali ke kamar Prana. Nana berdiri menatap Prana yang berbaring. Nana bingung apa yang harus ia lakukan dengan Prana. Nana mengingat adegan film bagaimana menghadapi orang yang mabuk. Pertama, Nana melepas sepatu dan kaos kaki Prana. Lalu Nana berusaha melepas kemeja Prana. Nana menatap celana Prana. Nana ragu, harus melepasnya, atau tidak. Nana memutuskan untuk tidak melepas celana Prana. Nana hanya melepas sabuknya saja. Lalu Nana mengambil handuk kecil dan masuk ke kamar mandi. Handuk kecil ia basahi dengan air hangat. Kemudian disekap perlahan wajah bosnya, lalu lengan Prana, terakhir kaki Prana. Prana mabuk tidak seperti di film-film. Prana tidak muntah-muntah, tidak mengomel, tidak berteriak, dia seperti orang tidur biasa saja. Itu cukup meringankan pekerjaan Nana. Setelah merasa cukup mengurus Prana, Nana keluar dari kamar Prana, lalu ke luar dari ruangan Prana. Nana kembali berbaring di atas kasur, di samping adiknya. Nana tidak menyangka ternyata Prana bisa mengkonsumsi minuman beralkohol. Di kamar Prana, Nana tidak pernah melihat ada minuman beralkohol. Dan tidak pernah melihat Prana mabuk sebelumnya. Nana berusaha tidur, tapi tidak bisa. Permintaan ibu Prana terus terngiang di telinganya. Nana berada dalam rasa gelisah. Nana menatap jam, ternyata sudah dinihari. Nana bangkit, lalu menuju kamar mandi. Nana mengambil air wudhu, lalu ia salat malam mengadukan keresahan hati yang sedang ia alami saat ini. "Na!" Nana berdiri mendengar panggilan Prana. "Ya, sebentar!" Cepat Nana melepas mukena, lalu masuk ke dalam ruangan Prana. "Kopi ada?" "Kopi? Sebentar saya carikan di dapur sebelah." Nana ke luar dari pintu dapur Prana , kemudian masuk ke dapur pabrik. Seingat Nana ada kopi renteng milik Pak Bekti di sana. Nana mengambil satu bungkus, lalu ia bawa masuk ke dapur Prana. "Hanya ada ini, mau?" "Ya." Kepala Prana mengangguk. Prana masuk lagi ke dalam kamarnya. Nana membuatkan kopi, lalu kopi dibawa ke dalam kamar. Nana meletakkan kopi di atas meja. Prana tengah bersandar dengan jemari memijat keningnya. Nana menatap Prana. Ingin menawarkan untuk memijat Prana takut. "Ada yang bos perlukan lagi?" "Tidak. Kamu tidur saja lagi." "Baik, Bos. Saya permisi ke luar." "Ya." Nana meninggalkan Prana sendirian di dalam. Nana berbaring dan berusaha untuk tidur. * Tak terasa, satu bulan sudah mereka menikah. Tak ada hal yang istimewa, semua berjalan seperti hari sebelum mereka menikah. Interaksi Prana dan Nana juga masih sama. Seperti pagi ini, Nana menyiapkan teh dan roti bakar untuk Prana. Prana menghabiskan teh dan roti bakar buatan Nana. Lalu Prana berkeliling dari bagian paling belakang pabrik, sampai paling depan. Nana melaksanakan menimbang seperti biasa. Para pria juga seperti biasa, berdiri di kiri dan kanan Nana. Para ibu mengajaknya bercanda. Selama satu bulan ini tak ada pembicaraan yang menyinggung tentang pernikahan mereka. Siang ini, Nana selesai menimbang. Catatan timbangan diserahkan pada Mbak Titi. "Ingin makan siang apa, Bos?" Nana berdiri di samping meja Prana. "Ikuti aku ke dalam." Prana bangkit dari duduk lalu masuk ke dalam ruangan pribadinya. Nana mengikuti langkah Prana. "Tutup pintunya. Ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu." Nana menutup pintu. "Duduklah!" Prana menunjuk sofa. Nana duduk di sofa rotan itu. Posisinya sama saat duduk dengan Lita satu bulan lalu. "Dengarkan aku bicara. Jangan dipotong sampai selesai, paham!?" "Baik, Bos." "Ibuku datang. Dia sudah ada di hotel, dia ingin mengajak Kita menginap di hotel. Jadi malam ini, sampai besok, pabrik aku liburkan. Ibu ingin mengajak kedua adikmu untuk menginap di hotel juga." Nana membuka mulutnya, telapak tangan Prana terangkat, mencegah Nana bicara. "Biarkan aku menyelesaikan bicaraku dulu." Mulut Nana tertutup. "Ibu ingin. Agar kedua adikmu diberitahu, bahwa kita sudah menikah. Karena ibu berpikir, pernikahan kita ini seperti pernikahan pada umumnya. Pulang dari sini kamu harus langsung bicara pada kedua adikmu." "Tapi ...." "Tidak ada tapi, ini perintah. Aku yakin kamu tahu bagaimana cara memberi tahu kedua adikmu. Dan aku juga yakin, adikmu bisa menerima pernikahan kita." Nana diam tak tahu harus bicara apa. Prana berdiri dari duduknya. "Ibu sudah menunggu kita untuk makan siang di hotel." "Kita!?" "Iya, aku dan kamu." "Begini?" Nana menunjuk pakaiannya. Kaos oblong dan celana jeans hitam murahan. "Aku juga begini saja." Prana menunjuk dirinya yang hanya menggunakan kaos oblong putih dan celana kain. "Ayo. Nanti ibu mengomel kelamaan menunggu." Nana terpaksa mengikuti Prana. Prana memberitahu Pak Sodik beberapa hal sebelum pergi. "Mau kemana, Na?" Tanya Mbak Titi. "Ibunya Bos menunggu di hotel." "Kamu ikut ke hotel?" "Iya." "Oh ...." "Ayo, Na. Berangkat." "Iya, Bos." Nana mengikuti Prana ke luar kantor. Lalu masuk ke dalam mobil Prana. Sejak mendengar ibu Prana ingin ia memberitahu adiknya tentang pernikahan mereka, perasaan Nana menjadi tidak tenang. Nana bingung harus seperti apa dan dengan kalimat bagaimana untuk menyampaikan kepada adik-adik nya. Mungkin mereka akan menerima, tapi tetap saja Nana merasa bingung. "Kenapa diam saja?" Prana tiba-tiba bertanya karena merasa Nana tidak bicara dari mereka berangkat tadi. "Bos tidak merasa malu, membawa saya makan di restoran hotel dengan pakaian saya seperti ini?" Nana masih ragu pergi makan ke restoran hotel. "Kalau malu aku tidak akan mengajak kamu, Nana. Penampilan tidak penting, yang penting kita sanggup bayar." "Bos tidak pergi ke Banjarmasin dan pulang mabuk lagi?" "Malam itu ada teman mengadakan acara kumpul di Banjarmasin. Aku minum hanya untuk menghormati yang mengundang saja. Aku tidak mabuk, hanya minum sedikit." "Sedikit, atau banyak sama saja tidak boleh, Bos. Bisa merusak kesehatan." "Kenapa kamu sudah seperti ibuku." "Diingatkan bukannya terima kasih." Nana membalas protes Prana dengan protes juga. Mereka tiba di hotel, dan makan siang bersama ibu Prana. Ibu Prana menyampaikan apa yang sudah disampaikan Prana kepada Nana tadi. Ibu Prana ingin, Nana memberitahu kedua adiknya tentang pernikahan dengan Prana. Ibu Prana sudah membooking empat kamar hotel di dekat kolam renang. Satu untuk ibu Prana, satu untuk Nana dan Prana, yang dua untuk kedua adik Nana. Nana tidak bisa berkata apa-apa. Nana tak menyangka, ibu Prana memberi perhatian kepada kedua adiknya. Setelah makan siang, Nana dan Prana kembali ke pabrik. Begitu tiba di pabrik, Nana langsung pulang ke rumah untuk mempersiapkan segala sesuatu sebelum pergi ke hotel. Nana akan pergi ke hotel dengan taksi on line, Prana sudah memberi Nana uang untuk itu. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD