"Na," Mbak Titi memangil Nana.
"Ya, Mbak."
"Bagian mesin belah tadi cari kamu. Ditunggu buat nimbang," ujar Mbak Titi.
"Baik, Mbak Titi."
Nana masuk ke sebuah pintu yang ada di ruangan itu. Ruangan sebelah hanya berukuran 6x6:meter saja. Ada tiga meja, dan tiga tempat duduk di sana. Salah satunya adalah meja, dan tempat duduk Nana.
Yang dua lagi adalah tempat duduk Pak Sodik, dari Pak Sodik ini mereka tahu cerita tentang Prana. Pak Sodik mengurusi banyak hal di perusahaan. Pria usia enam puluh lima tahun itu adalah orang kepercayaan dari ayah Prana, saat ayah Prana masih ada. Kalau ada tamu datang, Pak Sodik yang menghadapi tamu, bukan Prana. Orang-orang tahunya, Pak Sodik sebagai pemilik perusahaan, sedang Prana hanya tenaga ahli saja. Meja satunya lagi, tempat Mbak Dewi, yang biasa membantu Pak Sodik mengurus surat menyurat untuk ekspor. Pabrik ini memang tidak terlalu besar, tapi setiap bulan selalu melakukan ekspor.
Nana membuka laci meja kerjanya, ia mengambil selembar kertas HVS, yang sudah ia garis-garis membentuk beberapa kolom kecil. Di bagian atas ia tuliskan hari, dan tanggal hari ini.
"Pagi, Na," suara Mbak Dewi menyapa.
"Pagi, Mbak." Nana tersenyum pada Mbak Dewi. Mbak Dewi orangnya sangat lembut dalam sikap dan tutur kata. Di antara semua yang bekerja di kantor pabrik, hanya Mbak Dewi yang sarjana, selain Prana.
"Dicari anak-anak mesin belah, ditunggu untuk menimbang bahan."
"Iya, Mbak. Ini baru mau ke sana. Aku pergi dulu, Mbak." Nana bangkit dari duduknya.
"Iya, Na."
Nana ke luar dari pintu ruangannya.
"Na, mau nimbang?" tanya Prana.
"Iya, Bos." Langkah Nana terhenti di dekat meja Prana.
"Suruh Ria saja yang nimbang, kamu ke pasar, aku lihat di kulkas bahan makanan tinggal sedikit." Prana memberikan perintah.
Ria adalah pengawas di bagian diameter rotan. Setiap bilah rotan, diukur diameternya dengan alat khusus yang sangat sederhana. Hal ini untuk menentukan pisau mesin yang akan dipakai untuk memisahkan kulit, dan bagian dalam rotan.
Nana menatap Prana.
"Sekarang ke pasarnya, Bos?" Tanya Nana.
"Bulan depan, Na!"
Prana mukanya datar saat mengucapkan kalimat yang antara kesal, atau canda.
"Hhhh ...." Nana menghembuskan kuat nafasnya.
"Ambil kertas, catat kamu ingin masak apa seminggu ini." Prana memberi perintah pada Nana.
"Sebentar, Bos, aku antar ini dulu ke Acil Ria." Nana mengacungkan kertas yang ia jepit di papan klip pada Prana.
"Ti, kamu saja yang antar ke Ria." Prana memerintah Mbak Titi.
"Baik, Bos. Sini, Na."
Mbak Titi mengambil papan klip dari tangan Nana. Nana masuk ke ruangan sebelah, untuk mengambil kertas dari laci mejanya. Ia kembali ke ruang depan, lalu duduk di kursi, di depan Prana. Ada meja kerja Prana yang di atas nya tersusun berbagai macam pisau dari mesin-mesin yang ada di pabrik, membatasi jarak mereka. Nana mulai menulis menu untuk satu Minggu ke depan.
Hati Nana sesungguhnya sedang dirundung rasa kecewa. Batal menimbang bahan, sama artinya dengan tidak bertemu gebetannya.
Didi nama gebetannya, usianya dua puluh lima tahun, dia bekerja sebagai pengawas di mesin belah, mereka baru dekat setelah Nana dipindah ke kantor. Didi sebenarnya baru menikah satu tshun lalu, tapi konon kabar yang didengar Nana. Pernikahan Didi karena perjodohan saja. Dan sekarang Didi sedang pisah rumah dengan istrinya.
"Na, kamu mendengarkan aku bicara tidak!?" Tanya Prana.
Prana yang sedari tadi bicara, tapi tidak direspon oleh Nana, menjadi kesal hatinya.
"Na!" Prana memanggil Nana sekali lagi.
"Eh ... ada apa, Bos?" Nana menatap wajah Praja.
"Kamu menulis menu, atau melamun?" Prana bertanya kesal.
"Dua-duanya, Bos."
Nana terkekeh pelan. Tidak ada rasa takut pada Prana, meski bos nya itu suka marah dan mengomel.
"Mana, sini, sudah'kan?"
Prana menarik kertas yang ada di hadapan Nana.
"Tidak ada menu yang lain, Na?" Kening Prana berkerut melihat daftar menu yang ditulis Nana, semua menu yang Nana tulis adalah yang diajarkan Acil tukang masak sebelumnya, karena hanya itu yang bisa ia masak.
"Itu menu yang diajarkan Acil. Coba Bos mau makan masakan Banjar, atau sayur bening, lodeh, santan, jadi bisa lebih bervariasi, tidak capcay, dan sayur sop terus." Nana memberikan penjelasan untuk membela diri.
"Ya sudah, kamu ke pasar belanja untuk hari ini saja. Buat masakan Banjar, atau apa yang kamu bisa, selain yang selama ini kamu masak untukku, biar aku cicipi dulu." Prana mengambil keputusan.
"Bos ini aneh. Tinggal di sini sudah beberapa tahun, masa baru sekarang ingin mencoba masakan Banjar. Lagipula bos itu orang Indonesia, kok tidak pernah makan masakan ala Indonesia." Nana mencibir dengan berani di hadapan bosnya.
"Cerewet kamu ini, Na. Ini uang belanjanya, sana pergi!"
Prana menyerahkan uang yang ia ambil dari dompetnya.
"Kalau Nana tidak cerewet, sepi kantor kita ini, Bos!" Celutuk Mbak Wiwi.
Nana tertawa saja.
"Aku pergi dulu, Bos, Mbak Wiwi, Pak Bekti. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam," sahut Pak Bekti dan Mbak Wiwi.
"Selesai belanja, langsung kembali, Na. Jangan bengong kalau melihat cowok ganteng!" seru Pak Bekti yang juga suka bercanda. Nana hanya meninggalkan tawanya.
Nana melangkah dengan riang gembira, melupakan sejenak soal gebetannya. Suasana kerja yang santai, dan penuh canda, membuatnya bahagia. Meski Prana bos yang main perintah seenaknya, tapi sikapnya tidak dingin. Prana bisa bercanda, dan mengobrol asik dengan siapa saja. Hubungan Nans dengan teman kerja dan semua buruh pabrik juga terjalin dengan baik. Itu yang membuat Nana betah bekerja di pabrik ini. Meski harus kerja siang malam.
Dari pasar Nana langsung ke dapur, untuk menyiapkan makan siang Prana. Sebenarnya menu yang Nana tulis tadi bukan hanya masakan Banjar, tapi masakan rumahan biasa. Sayur bening, sayur lodeh, sayur santan. Selama ini Prana hanya makan sayur sop untuk yang berkuah. Lebih sering tumis buncis, wortel dan capcay. Untuk ikan, Prana hanya makan ikan nila saja. Selebihnya ayam dan daging. itu yang membuat Nana bingung mengatur menu untuk Prana setiap hari. Apalagi Prana bukan orang yang bisa menjaga perasaan orang. Kalau suka dia berkata suka, kalau tidak suka langsung dia ucapkan. Bahkan makanan bisa langsung dimuntahkan
Dalam pekerjaan jangan sampai berbuat kesalahan. Karena Prana tak segan memarahi orang yang salah. Apalagi kalau dia sudah mengajari, tapi tetap salah juga. Siap-siap merah telinga. Namun semua karyawan pabrik sudah tahu tabiat Prana yang begitu. Prana kalau marah hanya di bibir saja. Beberapa jam kemudian, dia sudah bisa bercanda lagi dengan orang yang dia marahi. Karena itu, Nana tidak takut pada Prana.
*