Istri Prana datang ke pabrik. Saat istrinya datang begini, Prana menginap di hotel bersama istrinya. Karena istrinya tidak mau tidur di pabrik. Kedatangan istri Prana karena ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengan Nana, tapi Prana tidak mengetahui tentang hal ini. Namun Prana tahu kalau istrinya ingin ia menikah dengan pilihan istrinya. Prana belum diberitahu kalau pilihan Lita adalah Nana.
Sebelumnya sudah ada pembicaraan antara Lita dan Prana. Ini pembicaraan tentang masalah anak. Lita dan Prana adalah pasangan yang sepakat tidak ingin memiliki anak.
Satu Minggu yang lalu, Lita menelepon Prana. Membahas tentang keinginan ibu Prana yang sangat menginginkan cucu.
"Bagaimana? Ibu mengancam tidak akan memberikan warisan kalau kita tidak memiliki anak." Lita menyampaikan apa yang dikatakan oleh ibu mertuanya.
"Kita tidak akan miskin tanpa harta warisan dari ibu." Prana tidak peduli dengan harta warisan, yang didapat oleh ibunya, sebagai harta gono gini, setelah ibunya bercerai dengan ayah tirinya yang kaya raya.
Hubungan Prana dengan ayah tirinya tidak pernah baik, karena ayah tirinya tidak memperlakukannya dengan baik. Apalagi saudara-saudara tirinya juga tidak pernah bersikap baik kepadanya. Karena itu, Prana masa bodoh dengan apapun yang berhubungan dengan ayah tirinya.
"Tapi aku tidak mau warisan itu jatuh ke orang lain. Itu hak Mas!"
"Kita sudah sepakat tidak ingin memiliki anak. Lalu bagaimana? Apa kamu bersedia hamil?"
"Tidak! Tentu saja tidak!"
"Kalau kamu tidak bersedia hamil, kita ikhlaskan saja harta yang ingin diwariskan ibu."
"Aku punya cara, agar ibu tidak lagi mengancam untuk menikahkan Mas dengan wanita pilihannya."
"Cara apa?"
"Mas cari wanita yang bersedia Mas bayar untuk Mas nikahi, dengan begitu ibu tidak akan memaksa Mas untuk menikah dengan wanita yang sudah ibu pilih. Aku tidak ingin dimadu, Mas!"
"Apa!? Kamu gila, Lita!? Maksud kamu aku harus menghamili wanita itu, agar aku punya anak dari dia?"
"Tidak, Mas! Maksudku, Mas cari wanita yang mau dinikahi siri, untuk jadi istri Mas di depan ibu. Kalian tidak harus tidur bersama. Memiliki anak tentu perlu waktu. Setidaknya ibu tidak terus mengancam untuk beberapa waktu."
"Mana ada wanita yang mau seperti itu. Memang kamu ikhlas aku poligami?"
"Ini bukan poligami sebenarnya. Ini hanya untuk menuruti keinginan ibu saja. Demi harta warisan itu agar tidak jatuh ke tangan orang lain."
"Huh! Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran kamu, Lita."
"Aku mencintai Mas, tapi kita harus realistis. Kita sudah memutuskan tidak akan memiliki anak. Tentu kita perlu uang untuk masa tua kita nanti. Tidak memiliki anak, siapa yang akan mengurus kita, siapa yang akan memberi kita makan. Karena itu, harus kita pertahankan apa yang menjadi hak Mas sebagai harta warisan dari ibu."
Prana merasa apa yang diucapkan Lita ada benarnya juga. Banyak orang yang memiliki anak, hari tuanya tidak ada yang menjamin. Masih harus bekerja keras. Apalagi kalau tidak memiliki anak.
"Ini bukan tentang aku gila harta, Mas. Kita bisa mendepositokan uang itu, untuk jaminan di hari tua kita. Mas harus terima saranku ini, karena ini untuk kita juga. Ibu pasti senang Mas mau menikah lagi. Masa tua kita pun terjamin dengan uang warisan dari ibu."
"Bagaimana kalau telah beberapa tahun aku menikah, tidak memiliki anak, lalu ibu kembali kepada ancamannya, tidak ingin mewariskan hartanya kepada kita."
"Mas sudah menuruti keinginan ibu untuk menikah lagi, aku yakin ibu tidak akan menolak untuk memberikan warisan, meski Mas tidak memiliki anak dari pernikahan kedua. Biarkan aku yang mengatur semuanya."
"Huh! Terserah kamu, aku tidak mau mencari wanita itu. Kamu sendiri saja cari. Aku serahkan semua urusan ini kepada kamu." Prana tidak ingin berdebat lagi. Ia ngotot pun pasti akan kalah oleh istrinya.
"Terima kasih, Mas. I love you so much!"
"I love you too."
Dan, sedikit pun Prana tidak pernah menduga, kalau wanita yang dipilih Lita untuk menjadi istri mudanya adalah Nana. Gadis muda karyawannya di pabrik. Lita tidak mengatakan hal itu. Prana tahu Lita dan Nana bicara di dalam kamar berdua. Prana pikir itu hanya pembicaraan biasa, karena saat Lita datang ke pabrik, Lita memang selalu memanggil Nana. Untuk memastikan kalau Nana memasakkan suaminya makanan.
*
Di rumah Nana.
Nana sedang memikirkan tawaran istri Prana. Saat ini ia memang sedang membutuhkan uang untuk biaya pendidikan adiknya. Adiknya yang pertama, Nino, tahun ini masuk SMA, adik yang kedua Nani, tahun ini masuk SMP.
Tentu butuh biaya yang tidak sedikit. Sedang selama ini, sangat sulit bagi Nana untuk bisa menabung. Nana sudah bekerja keras siang malam, Ia hanya bisa menyisihkan sedikit dari gajinya.
"Kak!" Pintu kamar Nana diketuk, suara Nino terdengar.
"Masuk!"
Pintu terbuka, Nino dan Nina masuk ke dalam kamar Nana
"Ada apa?" Tanya Nana.
"Ada yang ingin kami bicarakan." Nino yang menjawab pertanyaan Nana.
"Duduklah."
Nino duduk di kursi kayu yang ada di kamar itu. Sedang Nina duduk di tepi tempat tidur bersama Nana.
"Bicaralah ada apa?"
"Kami berdua sudah bicara, Kak. Kami memutuskan untuk tidak akan melanjutkan sekolah."
"Kenapa!?" Nana berseru kaget.
"Kami tidak ingin membebani Kakak terus. Kami akan mencari pekerjaan apa saja, yang penting halal."
"Tidak! Kalian harus terus sekolah. Kalian jangan memikirkan tentang biaya, biar itu menjadi urusan Kakak."
"Kak, kami kasihan melihat kakak harus bekerja siang dan malam."
"Karena itu kalian harus menurut dengan Kakak. Kalian harus sekolah tinggi, urusan biaya itu tanggung jawab Kakak. Tanggung jawab kalian belajar dengan sungguh-sungguh."
"Tahun ini Nino masuk SMA, Nani masuk SMP. Tentu biaya tidak sedikit, Kak."
"Kakak tegaskan sekali lagi. Masalah biaya hidup dan biaya sekolah kalian, itu sepenuhnya tanggung jawab Kakak. Kalian harus percaya pada Kakak."
Nino dan Nina saling tatap.
"Sekarang kembalilah ke kamar kalian. Jangan pikirkan masalah apapun di luar sekolah kalian."
"Baik, Ksk. Nino sayang Kakak."
"Nina juga sayang kakak."
Tiga kakak beradik itu saling peluk.
"Kembalilah ke kamar kalian."
"Iya, Kak."
Nino dan Nina keluar dari kamar Nana. Nana mengunci pintu. Nana duduk di tepi tempat tidur, dipeluk gulingnya yang sudah kempes. Nana tak bisa menahan air mata. Keputusan sudah diambil. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan masa depan pendidikan adik-adiknya adalah menerima tawaran dari Lita.
Besok Lita ingin mendengar jawabannya. Nana tidak tahu, pernikahan seperti apa yang akan diatur oleh Lita. Tanpa hak dan kewajiban sebagai suami istri, entah seperti apa itu bentuknya. Pernikahan yang hanya akan diketahui oleh mereka yang terlibat di dalamnya yaitu dirinya, Lita, Prana dan ibu dari Prana. Pernikahan yang akan disembunyikan dari karyawan pabrik, maupun orang di luar sana.
Lita menjanjikan uang yang cukup besar. Yang bisa Nana simpan, untuk biaya pendidikan adik-adiknya. Selain itu, Nana akan mendapat jatah uang bulanan dari Lita. Namun, ia tidak boleh berhenti bekerja. Lita ingin, Nana tetap bekerja seperti biasa, dan melayani kebutuhan Prana.
Nana menyeka pipinya yang basah. Bana berharap, tidak ada yang akan berubah dalam hidupnya, maupun hubungannya dengan Prana, setelah pernikahan mereka. Menurut Lita, Prana belum tahu, kalau gadis yang dipilih oleh Lita, untuk menjadi istri muda Prana, adalah Nana.
*