Bab 4 Pelangi Tidak Sering Muncul di Jakarta

1242 Words
Udara basah masih menemani angin yang berembus kencang. Setelah sesiangan hujan turun sangat deras, kini langit sore tampak sedikit lebih cerah dari biasanya. Mentari kembali muncul meski malu-malu, mengusir sisa-sisa awan kelabu yang masih tergantung. Di ujung langit, pelangi menampakkan keindahannya secara samar. Mungkin tidak banyak yang melihat karena orang-orang kembali disibukkan dengan urusan masing-masing. Cuaca yang mendadak bersahabat mengembalikan aktivitas sore itu. Manusia berjalan lalu-lalang di trotoar, kendaraan roda dua kembali berseliweran di antara mobil-mobil yang mendesak dalam kepadatan lalu lintas. Semua tampak terburu-buru. Namun tidak dengan Niken. Wanita itu tampak santai melipat mantelnya dan mengembalikan ke jok motor. Dia sempat menikmati keindahan pelangi sejenak sebelum kembali menaiki motor matiknya. Tetapi ketika dia hendak melajukan kendaraan roda duanya itu, sebuah mobil berhenti di sampingnya. Niken menoleh, memperhatikan jendela yang terbuka perlahan. Seorang pria yang Niken kenal menyapanya. “Hai, Thumbelina. Kebetulan bertemu kamu di sini,” kata Jovan memasang wajah innocent. Niken mengarahkan bola matanya ke atas, dia tidak yakin ini sebuah kebetulan. “Hm ... ya, kebetulan,” gumamnya menyindir. Jovan menanggapi sindiran Niken dengan seringaian. “Aku mau mengembalikan KTP kamu, mobilku baik-baik saja.” “Baguslah,” ujar Niken mengulurkan tangannya. “Mana KTP saya?” Tetapi Jovan malah menggeleng. “Bagaimana kalau kita duduk dulu di sana?” Jovan menunjuk sebuah gedung tujuh lantai yang ada di seberang jalan. “Ada rooftop cafe di sana,” sambungnya memberi tahu. “Aku tahu ini mungkin terlihat menyebalkan, tapi aku sungguh-sungguh ingin mengenalmu.” Niken tersenyum kecut. Mengenalnya? Tidak ada laki-laki yang benar-benar ingin mengenalnya. Mereka hanya ingin tidur dengannya. Niken mulai memahami hal tersebut setelah dia mengenal dunia luar, tidak ada laki-laki yang bisa tulus mencintai wanita tanpa keinginan untuk meniduri mereka. Jikapun ada, jumlahnya sangat sedikit, Gea sahabatnya beruntung mendapatkan salah satunya, tapi tidak dengan Niken. Karena faktanya, men always want s*x. Empat tahun yang lalu mungkin Niken akan menyetujui saja ajakan tersebut, di masa itu dia tidak terlalu peduli jika seorang laki-laki hanya ingin memanfaatkan dirinya, karena dia pun memanfaatkan mereka. “Gimana?” tanya Jovan. Niken memandangi Jovan, dia bisa saja menolaknya. Dia memang harus menolaknya! “Oke,” jawab Niken mengkhianati pikirannya. Jovan tersenyum tipis. Lalu mempersilakan Niken melajukan kendaraannya terlebih dahulu ke tempat parkir dengan isyarat tangannya. Mereka bertemu di pintu gedung, Jovan mengajak Niken menaiki lift dan mempersilakan wanita itu masuk terlebih dahulu. Mereka sama-sama terdiam sampai lift berhenti dan pintunya terbuka. Jovan mempersilakan Niken keluar dan dia mengikuti di belakangnya. Niken memandang berkeliling, melihat orang-orang di sekitarnya rasanya dia ingin berbalik dan kembali masuk ke lift agar bisa meninggalkan tempat ini. Namun itu tidak mungkin karena Jovan sudah membimbingnya menuju salah satu meja. Niken melangkah kikuk, dia menyesal sudah melepas jaketnya dan meninggalkannya di motor. Seharusnya dia tetap mengenakan jaket itu meski basah, paling tidak seragam SPG-nya akan tertutupi. Jovan menarik salah satu kursi, dengan canggung Niken duduk di sana. Lalu pria itu berjalan memutari meja dan duduk di depan Niken. Dengan jarinya, Jovan memanggil salah satu waitress. “Kamu mau pesan apa?” tanyanya pada Niken. Melihat buku menu yang disodorkan waitress membuat Niken bingung. Dia membolak-balik tiap halaman tanpa tahu harus memesan apa. Besarnya nominal harga masing-masing makanan terasa tidak masuk akal bagi Niken. “Ini,” kata Jovan tiba-tiba menunjuk salah satu menu. “Kamu pasti suka ini, udangnya diselimuti tepung yang crunchy dan gurih, disiram saus andalan kafe yang terkenal enaknya. Mau kupesankan ini?” Niken mengangguk spontan dan langsung menutup buku menu. “Ya, itu aja,” ucapnya pelan. Jovan menyebutkan pesanan mereka pada waitress yang langsung mencatatnya. “Baik, Pak. Tunggu sebentar,” kata waitress sopan dan meninggalkan meja tersebut. “Kamu enggak bilang kalau ini kafe orang-orang kaya,” gumam Niken. “Kata siapa ini kafe orang-orang kaya?” “Lihat aja baju dan tas branded yang mereka pakai. Dan sekarang mereka memandangiku. Aku merasa jadi badut di sini,” gerutu Niken. Jovan tersenyum simpul. “Pelanginya terlihat lebih jelas.” Jovan mengalihkan pembicaraan. Pandangan Niken tertuju ke arah yang ditunjuk Jovan. Pria itu benar, pelanginya terlihat lebih jelas. Lengkungannya yang sempurna dan warna-warna lembutnya yang berpadu indah. “Pelangi tidak sering muncul di Jakarta,” gumam Niken terdengar seperti berbicara pada dirinya sendiri. Dia memang jarang melihat pelangi di langit Jakarta, karena itu tadi ketika mengetahui pelangi muncul begitu hujan reda, dia menyempatkan diri memandangi fenomena alam itu sejenak. “Tunggu sampai kamu berkunjung ke Hawai, di sana pelangi muncul hampir setiap hari.” “Hm....” “Kenapa? Kamu enggak percaya?” Niken yang semula melihat ke arah pelangi kini mengalihkan pandangannya pada Jovan. “Saya enggak bilang gitu. Saya cuma enggak yakin bisa ke Hawai.” “Kenapa enggak? Bukannya kamu pingin keliling dunia?” Niken diam, menatap Jovan tanpa ekspresi. Kemudian dia berkata datar, “Kalau kita sudah selesai makan, Anda akan mengembalikan KTP saya?” “Ya. Dengan satu syarat.” Kedua alis Niken bertaut. “Apa?” “Jangan sebut aku 'anda' lagi. Apa kamu memakai sebutan 'anda' ke semua temanmu?” “Anda bukan teman saya.” “Tapi aku mau jadi temanmu.” Jawaban Jovan agak mengejutkan Niken. Wanita itu refleks mengerjap. Namun kemudian kembali memasang wajah datar. Saat itulah waitress datang membawa pesanan mereka. Mereka berdua membisu selama beberapa saat, disibukkan dengan hidangan masing-masing. Diam-diam Niken memperhatikan Jovan, bertanya-tanya apa tujuan pria itu mendekatinya? Dari cerita Gea dahulu, Niken tahu Jovan bukanlah lelaki baik-baik. Dia tidak jauh berbeda dengan Bastian, sama-sama casanova, sama-sama tidak bertanggung jawab. Seharusnya Niken tidak berurusan dengan pria seperti ini, tidak setelah dia memutuskan untuk memulai kehidupan barunya. Niken sadar dia telah melakukan banyak kesalahan. Bukan hanya hubungan gelapnya dengan Oka, tapi juga cara dia berusaha menyembuhkan diri dari luka. Tidak ada yang peduli tentang nyeri di dalam d**a yang Niken rasakan, bagi mereka Niken adalah si antagonis. w************n penggoda suami orang. Sorot mata para tetangga yang memberi tahu Niken. Lalu cemoohan dan gunjingan yang mulai terdengar, bisik-bisik setiap kali Niken melewati mereka memanaskan telinga. Niken sakit hati, kalau semua orang menganggapnya w************n, untuk apa dia bersikap seperti wanita baik-baik? Dia bermain-main dengan kehidupannya, menggadaikan masa mudanya hanya karena ego yang sulit dipadamkan. Jatuh dari pelukan satu pria ke pria yang lainnya sambil berusaha melupakan perasaan sesal yang terus menderanya. Sayangnya setelah sekian tahun berlalu, perasaan sesal itu justru semakin membelitnya. “Aku memikirkan ucapanmu tadi,” gumam Jovan pelan. Namun cukup untuk mengalihkan pikiran Niken dari bayangan masa lalunya. “Pelangi tidak sering muncul di Jakarta, kenapa kamu memakai kata 'tidak sering' dan bukannya 'jarang'?” sambungnya bertanya, terdengar penasaran. Niken mengangkat kedua bahunya. “Saya cuma berbicara, tidak memikirkannya. Kenapa memangnya?” “Enggak kenapa-kenapa, cuma aku baru sadar kalau kalimat itu terdengar lebih romantis ketika disambung dengan kata 'tidak sering' daripada kata 'jarang'. Coba dengarkan, 'pelangi tidak sering muncul di Jakarta', bandingkan dengan 'pelangi jarang muncul di Jakarta', apa kamu merasakannya?” tanya Jovan menatap Niken antusias. Melihat wanita yang diajak bicara hanya balik menatapnya tanpa ekspresi apa-apa, Jovan mengibaskan tangannya. “Lupakan, aku memang aneh,” ujarnya menyerah. “Itu cocok jadi judul film, kan?” gumam Niken kembali melanjutkan makan. “Tepat sekali!” seru Jovan tersenyum. Dia memandangi Niken yang masih memasang wajah datar, tapi Jovan tidak memedulikan ekspresi wanita itu. Saat kembali makan, dia masih terus tersenyum. Sesekali dia melihat Niken melalui bulu matanya, sorot matanya terlihat senang. Akhirnya dia menemukan apa yang selama ini dia cari. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD