Bab 5 Pekerjaan Sampingan

1874 Words
“Niken, please!” ucap Gea dengan nada tegas. “Tapi, Ge—” “Kali ini aku enggak terima alasan apa pun,” potong Gea dan langsung memutuskan telepon. Niken menarik napas panjang sebelum mengembalikan ponsel ke dalam tas, lalu menutup dan mengunci pintu kamarnya. Tadi dia baru mau berangkat kerja ketika musik pembuka lagu Skyfall milik Adele mengalun dari benda pintar itu, memberitahukan kegusaran Gea karena Niken membatalkan acara bestie night yang rutin mereka lakukan sejak awal persahabatan mereka. “Ini udah ketiga kalinya kamu membatalkan acara kita, Ken. Is everything okay?” tanya Gea terdengar khawatir saat Niken menjawab teleponnya tadi. Apakah semuanya baik-baik saja? Niken tidak tahu. Akhir-akhir ini dia hanya merasa tidak bisa berdekatan dengan sahabatnya itu. Kehidupan telah berubah, empat tahun bukanlah waktu yang singkat, ada banyak hal yang membuat keadaan tidak lagi sama seperti awal-awal persahabatan mereka. Mungkin Niken hanya iri karena tidak seberuntung Gea. Meski terdengar jahat, tapi bukankah itu perasaan yang wajar? Terutama ketika penderitaan dan kemalangan selalu mengiringi langkahmu sementara kehidupan dan percintaan orang-orang terdekatmu justru berjalan mulus. “Ehm, duh yang dijemput cowoknya,” ucap Mila, salah satu tetangga kos Niken, dengan senyuman meledek. Niken menoleh ke kanan dan kiri. “Ngomong sama siapa, Mil?” tanyanya heran. “Sama elo lah, enggak mungkin gue ngomong sama setan,” sembur Mila. “Lo kok enggak bilang-bilang udah punya cowok sih, mana ganteng lagi. Kelihatannya tajir pula,” decaknya melanjutkan. Kening Niken berkerut. “Emang gue punya cowok?” gumamnya konyol. “Yaelah, amnesia nih bocah. Itu yang jemput lo di depan siapa kalo bukan cowok lo?” Niken mengangkat kedua bahunya bingung, lalu tanpa mendengarkan ucapan Mila selanjutnya, dia melangkah pergi dengan terburu-buru, penasaran siapa cowok yang dibilang Mila barusan. Seharusnya Niken bisa menduga siapa pria itu. “Mau apa Pak Jovan di sini?” tanyanya ketus ketika jaraknya sudah dekat dengan Jovan yang berdiri bersandar pada mobilnya. Jovan menjatuhkan rokok yang diisapnya dan menginjak puntung sampai apinya padam. Senyuman tipis terukir di bibirnya. “Menjemput kamu,” katanya santai. “Terima kasih, tapi enggak usah.” “Sebenarnya ada yang mau aku bicarakan sama kamu,” kata Jovan menjelaskan tujuan sesungguhnya dia menjemput Niken. “Jangan bilang mau minta ganti rugi. Pak Jovan bilang urusan kita udah selesai, mobil Pak Jovan juga enggak apa-apa, kan?” “Seratus persen,” jawab Jovan menekankan kata-katanya. “Aku bukan mau minta ganti rugi, tapi mau memberi penawaran.” “Penawaran apa?” “Kita bisa membicarakannya sambil aku mengantar kamu, jadi kamu enggak terlambat, gimana?” Niken berpikir sebentar, kemudian mengangguk. Jovan buru-buru membukakan pintu mobil. “Semoga penawaran itu menarik, saya tidak suka menghabiskan waktu untuk hal yang tidak berguna” gumam Niken saat masuk ke mobil. “Hm, aku enggak yakin, tapi kuharap begitu,” balas Jovan. Kemudian dia menutup pintu dan berjalan memutar ke sisi yang lain. Saat mobil yang dikendarai Jovan sudah berada di jalan raya, pria itu berdeham. Niken meliriknya sekilas. “Aku ingin tahu, apa kamu tertarik menerima pekerjaan sampingan?” tanya Jovan memulai, pandangan matanya tetap lurus ke depan. “Pekerjaan sampingan seperti apa dulu?” Niken balik bertanya. “Yah, ini memerlukan waktu satu minggu, tapi bayarannya besar. Dan mungkin kamu harus ke luar kota.” Niken berpaling menatap Jovan dengan sorot mata sedingin es. “Turunkan saya di sini,” ucapnya tegas. “Kenapa?” tanya Jovan menoleh ke arah Niken sebentar. “Apa yang buat kamu tersinggung?” “Dengar ya, Pak. Mungkin Bastian pernah menceritakan tentang saya pada Bapak, tapi asal Pak Jovan tahu, saya bukan p*****r!” Mendengar ucapan Niken yang menggebu-gebu, Jovan melongo. Hampir saja bemper mobilnya mencium kendaraan lain kalau dia tidak buru-buru membanting setir ke kiri. “Astaga, kamu salah paham,” katanya cepat. “Bukan itu maksudku.” Pipi Niken memerah. “Oke, apa yang akan aku bicarakan ini memang tidak menyenangkan,” jelas Jovan, “tapi juga sama sekali bukan seperti yang kamu pikirkan,” sambungnya setelah menjeda sejenak. “Aku cuma ingin meminta bantuanmu,” gumam Jovan lagi. “Bantuan?” Masih ada nada curiga dalam suara Niken. “Lusa, rekan bisnisku yang dari Amsterdam liburan ke Bali bersama istri dan anak-anaknya. Dan karena kebetulan aku sedang berada di sini, mereka memintaku menemui mereka di sana.” Niken diam mendengarkan. Namun ketika Jovan tidak juga melanjutkan ucapannya, dia berpaling pada pria itu. “Dan?” tanyanya. “Rekan bisnisku itu berniat menjodohkan aku dengan adiknya. Aku enggak ingin menyinggung dia, jadi kukatakan saja aku udah punya pacar.” Jovan melirik Niken. “Aku mau menyewa kamu jadi pacar pura-puraku.” “Menyewa?” Niken mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi. “Well, aku enggak menemukan kata lain yang cocok selain itu,” gumam Jovan menyesal. “Terima kasih tawarannya, Pak. Tapi saya tidak berminat,” ujar Niken datar. Jovan tersenyum simpul. “Baiklah,” ucapnya, kemudian dia mengambil sesuatu dari dashboard mobil dan menyerahkan pada Niken. “Ini kartu namaku,” katanya. “Saya-” “Tolong diterima saja,” potong Jovan. “Masalah kamu mau membuangnya setelah keluar dari mobilku atau enggak, itu terserah kamu.” Niken menerima kertas persegi yang didesain simpel, tapi terlihat elegan itu dan memasukkan ke saku bajunya. Lalu mereka sama-sama terdiam sampai mobil Jovan berhenti di depan gedung tempat Niken bekerja. “Terima kasih sudah mengantar saya,” kata Niken canggung. Jovan tersenyum dan mengangguk. Sesaat, tatapan mereka saling beradu. Namun Niken buru-buru memalingkan wajah dan langsung membuka pintu mobil, lalu turun. Ketika pintu sudah tertutup kembali, Jovan melajukan mobilnya perlahan. Niken masih tetap berdiri di situ sampai kendaraan itu tidak terlihat lagi. ***** Saat ini Niken sama sekali tidak mendengarkan Gea yang mengoceh panjang lebar di depannya. Suara ceria sahabatnya itu terdengar kabur, seolah angin langsung membawa pergi kata-kata Gea begitu wanita itu melontarkannya. Pikiran Niken berada di tempat lain, di sebuah tempat pada masa lalunya yang kelam. “Ken, kamu baik-baik aja?” Bukan pertanyaan Gea yang membuat Niken agak tersentak, melainkan sentuhan lembut pada punggung tangannya. “Y-ya, a-aku baik-baik aja,” ucap Niken gagap, berusaha mengembalikan fokus matanya pada sang sahabat. Gea menggeleng. “Kamu sama sekali enggak terlihat baik-baik aja. Ada apa sebenarnya, Ken? Kalau kamu ada masalah, kamu bisa bicara sama aku.” Kali ini Niken yang menggeleng. “Bukan sesuatu yang serius,” gumamnya tersenyum tipis. “Apa ini tentang Risa dan Oka?” Melihat perubahan ekspresi Niken, Gea langsung melengos gusar. “I knew it,” geramnya. “Niken, dengar! Kamu enggak bisa terus-terusan mengalah sama Risa. Kamu memang pernah salah, tapi ingat, itu bukan murni kesalahan kamu.” “Aku enggak mau bahas mereka sekarang, Ge. Lupain aja, oke?” elak Niken. “Maaf, kalau aku mengabaikanmu, sekarang aku akan jadi pendengar yang baik, kamu cerita apa tadi?” Niken berusaha memasang wajah ceria. Gea menggenggam tangan sahabatnya. “Seumur persahabatan kita,” ucapnya penuh tekanan, tapi lembut, “kamu selalu jadi pendengar yang baik buatku, Ken. Sekarang giliranku.” “Aku tahu ada banyak hal yang mengganggu pikiranmu selain Risa dan Oka, tapi gimana aku bisa tahu apa itu kalau kamu enggak mau cerita sama aku? Aku sangat ingin membantu kamu, Ken,” sambungnya sungguh-sungguh. Sesaat mereka berdua saling diam, hanya suara obrolan tidak jelas terdengar dari sepasang kekasih yang duduk di dekat mereka. Juga langkah kaki pelayan kafe yang sesekali melewati mereka. Malam belum terlalu larut, tapi cuaca yang muram sejak sore tadi sepertinya membuat orang enggan keluar. Kafe yang biasanya ramai pengunjung pun kini tampak sepi. Selain Niken dan Gea, hanya ada dua pasang pengunjung lain yang duduk di mejanya masing-masing. Niken berpaling ke arah jendela yang menghadap ke jalan. Diam-diam mengamati kacanya yang berembun dan tertimpa buliran-buliran kristal dari cipratan air hujan, membuat pemandangan di baliknya menjadi blur. Dengan cahaya lampu-lampu di belakangnya yang berpendar, efek blur itu berubah menjadi bokeh yang sebenarnya begitu memukau. Sayangnya Niken tidak berada dalam kondisi “sedang bisa menikmati keindahan”. Suasana hatinya yang kalut cukup membuat dia lupa dengan keadaan sekitar. Suara helaan napas berat mengawali kalimat yang dia ucapkan dengan pelan. “Aku sendiri enggak tahu apa aku baik-baik aja, Ge. Aku cuma merasa kosong.” “Kamu kesepian?” Ada perasaan bersalah dalam diri Gea saat melontarkan pertanyaan tersebut. “Bukan,” geleng Niken. “Aku udah biasa hidup sendirian. Sebelum kita bertemu aku juga selalu sendiri.” “Kamu benar. Terus apa istilah buat perasaan kosongmu itu?” Selama beberapa saat Niken terdiam. Kemudian berkata pelan, “Muak, jenuh, powerless?” “Kamu butuh suasana baru, Niken. Dan aku tahu kamu harus apa.” “Apa?” “Resign dari kerjaan kamu sekarang, pergi liburan, pulang dalam keadaan fresh, terus kita buka bisnis bareng.” Ucapan Gea membuat Niken tersenyum simpul. “Kamu tahu aku enggak bisa begitu.” “Kenapa enggak?” “Pertama, aku nggak mungkin resign, aku butuh pekerjaan ini. Kedua, aku bukan tipe orang yang bisa menabung, jadi aku sama sekali enggak punya budget buat liburan. Ketiga, aku enggak mungkin menjerumuskan kamu buat bisnis bareng aku. Kamu kan tahu jiwa bisnisku nol besar. Aku dilahirkan sebagai pekerja, bukan pebisnis,” kekeh Niken. “Nonsens! Aku bisa mematahkan semua argumenmu kalau diizinkan.” “Please!” senyum Niken. Gea menggeser posisi duduknya seraya menegakkan tubuh, kemudian mulai bicara, “Pertama, kamu enggak butuh pekerjaanmu yang sekarang. Kedua, enggak semua liburan memerlukan biaya besar, ada yang namanya liburan dengan budget minim, bahkan tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Ketiga—” Niken mengangkat tangannya. “Liburan tanpa mengeluarkan uang sepeser pun? How?” “Ada orang-orang yang membutuhkan asisten tambahan ketika mereka mau berlibur, dan biasanya mereka menyewa seseorang melalui agen. Aku bisa membantumu kalau kamu mau. Ini musim liburan, beberapa kenalan Dathan pasti ada yang membutuhkan asisten tambahan. Kamu enggak cuma bisa liburan gratis, tapi juga dibayar.” “Hm ... aku bisa menebak, kamulah yang akan mempekerjakanku.” “Kok kamu tahu,” cengir Gea merasa tepergok. “Of course.” Niken mengarahkan matanya ke atas. “Baru kemarin kamu bilang mau menghabiskan waktu libur kalian di Jepang.” “Tapi enggak ada salahnya, kan? Kita jadi bisa liburan bareng.” “Aku bukannya enggak mau liburan bareng kalian, Ge, tapi aku belum siap ke luar negeri.” Niken beralasan. “By the way, aku jadi ingat seorang kenalan yang menawariku hal semacam itu,” sambung Niken dengan pandangan menerawang. “Hal semacam itu apa?” “Ya seperti yang kamu bilang tadi, dia membutuhkan seseorang yang bisa membantunya saat liburan ke Bali.” “Oya? Siapa?” Niken mengedikkan bahu. “Kamu enggak kenal,” ucapnya berbohong. “Sebenarnya aku udah nolak, tapi kayaknya kamu benar, aku akan coba hubungi dia lagi,” kata Niken sambil bangkit dari duduknya. “Dan ini cuma ke Bali,” sambungnya bergumam. Lalu membungkuk ke arah Gea dan mencium pipi sahabatnya itu. “Thanks udah kasih pencerahan, Ge. Hujan udah berhenti, aku pergi dulu ya? Nanti kuhubungi lagi.” “Wait, Ken! Poin nomor tiga gimana? Kita jadi buka bisnis bareng?” seru Gea melihat sahabatnya sudah berlalu begitu saja. “No way. Enggak ada bisnis bareng,” sahut Niken tertawa sambil melambaikan tangannya. Bersambung

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD