SL. 17

3541 Words
2 tahun berlalu sejak kelulusan sekolah SMA-nya. Anastasia berkuliah dengan semestinya dan nilai yang dihasilkan selalu memuaskan. Mata kuliah untuk hari ini telah selesai namun ia belum enggan untuk pulang, gadis tersebut beranjak keluar dari kelasnya dan melangkah menuju kantin. "Heni sama Mila masih ada kelas kali ya?" tanya Anastasia sambil sesekali menoleh ke arah belakang seolah mencari keberadaan sahabatnya. "Nanti gue chat digrup saja deh," ujar Anastasia sambil melanjutkan langkah kakinya menuju kantin kampus. Tidak dipungkiri, Anastasia selalu di goda oleh Kakak tingkat atau bahkan adik tingkatnya karena dia wanita yang cantik namun susah untuk ditaklukkan, bahkan banyak wanita populer dari kalangan jurusan yang berbeda iri terhadap Anastasia yang selalu digandrungi oleh Coboy Campus. "Anstasia, sendirian aja. Mau kemana?" "Na, mau ke kantin ya. Boleh bareng enggak?" "Pulang bareng yuk Na." "Na, nonton yuk. Jangan sombong-sombong kenapa jadi cewek." Anastasia berjalan tanpa menggubris ucapan-ucapan yang terdengar jelas ditelinganya. Hingga dimana ia sudah sampai di area kantin, matanya langsung menyorot ke arah beberapa kedai yang berjajar dan lumayan ramai juga. "ANA!" Wanita tersebut lantas mencari sumber suara, lambaian tangan menbuat ia memicingkan matanya dan langsung menghampiri keberadaan kedua sahabatnya. "Lu udah kelar matkul?" tanya Heni ketika Anastasia duduk tepat di hadapannya, wanita tersebut hanya mengangguk lalu meletakkan tasnya di atas meja. "Yasudah pesan dulu sana," kata Mila yang membuat Anastasia beranjak berdiri lalu memesan makanan yang akan ia makan. "Menurut lu Ana sudah lupain Rekal belum?" tanya Mila tiba-tiba, Heni yang mendapat pertanyaan tersebut sontak terdiam lalu melihat ke arah sahabatnya yang sedang memesan makanan. Heni menjawab, "Menurut gue belum, emang lu pernah lihat Anastasia jalan atau ceritain cowok setelah putus dari Rekal?" Mila reflek langsung nenggelengkan kepalanya yang membuat Heni tersenyum tipis lalu melajutkam menyeruput minuman yang ada dihadapannya. "Jadi lu tahu jawabannya kan," ujar Heni yang membuat Mila terdiam mendengarnya. "Hayo! Lu berdua lagi ngomongin gue ya?" tanya Anastasia sambil menggebrak pelan meja yang membuat kedua sahabatnya jelas sedikit terkejut. Mila menyela, "Emang enggak cukup cowok-cowok kampus ngomongin lu?" Sambil tertawa pelan membuat Anastasia berkata, "Bosen gue diomongin mereka mah." Heni berkata, "Lu aja bosan apalagi kita yang setiap hari ada aja yang nyuruh salamin ke lu." Anastasia terkekeh saja mendengarnya, namun yang dikatakan Heni emang begitu adanya. Kedua sahabatnya selalu saja mendapat titipan salam untuk disampaikan kepadanya. "Yasudah si jangan ditanggepin, gue kesini mau kuliah bukan nyari buaya," cetus Anastasia. Heni dan Mila hanya menggelengkan kepalanya pelan ketika mendengar jawaban dari sahabatnya tersebut. Dering telepon membuat Anastasia yang ingin melahap makanannya jelas mengurungkan niatnya, kedua sahabatnya hanya mengerutkan keningnya. "Nyokap," kata Anastasia yang membuat Heni dan Mila hanya manggut-manggut saja lalu melanjutkan melahap makanan dan minumannya. "Halo Mah," kata Anastasia sambil menyeruput minumannya. "Selamat siang mbak, ini anak yang punya handphonenya ya?" Anastasia terdiam sejenak seolah jantungnya berhenti seketika. Anastasia bertanya, "Ini siapa ya? Kok handphone Mamah saya ada si anda?" Heni dan Mila yang mendengar jelas nengernyitkan dahinya lalu menatap lekat ke arah sahabatnya. "Wey, kenapa?" tanya Mila dan Heni tanpa suara. "Mbak, Mamah Mbak kecelakaan sekarang ada dirumah sakit, ini saya menghubungi kontak darurat yang di handphone ini." Anastasia seketika terdiam sejenak, sorot matanya mendadak kosong. "Mas enggak bercandakan? Gimana keadaan Mamah saya sekarang?" tanya Anastasia dengan suara yang gemetar menahan tangisan. Heni dan Mila sontak langsung beranjak berdiri dan menghampiri sahabatnya. "Na, kenapa? Tante Meta kenapa?" tanya Heni. "Mending Mbak langsung kerumah sakit GT saja. Biar mbak bisa melihat dan bertanya langsung sama Dokter." Anastasia lemas sejadi-jadinya, ia menatap kedua sahabatnya dengan sorot mata yang sendu menahan air mata. Mila bertanya, "Kenapa Na?" "Mamah kecelakaan," jawab Anastasia yang membuat kedua sahabatnya saling memandang satu sama lain, mereka berdua merasakan sesak. "Gue harus kerumah sakit sekarang!" Wanita tersebut beranjak berdiri yang membuat kedua sahabatnya juga berdiri dan berkata, "Kita ikut!" Mereka bertiga melangkahkan kakinya keluar dari area kantin tersebut dan menuju parkiran. "Naik mobil gue! Biar motor lu disini dulu," kata Heni yang membuat wanita tersebut menyela, "Enggak Hen, gue naik motor saja." Heni mencengkram tangan sahabatnya lalu menatap dengan sorot mata yang tajam. "Lu lagi enggak berpikir jernih Ana! Jadi naik ke mobik gue sekarang!" seru Heni sedikit keras, para mahasiswa-mahasiswi yang melintas dekat mereka sontak terkejut karena seruan Heni. Mila menggandeng Anastasia dengan anggukan kecil lalu berkata, "Ayuk Na, jangan ngulurin waktu." Wanita tersebut melangkah masuk ke mobil Heni. "Mamah gue akan baik-baik sajakan?" tanya Anastasia dengan nada gemetarnya, Mila memeluk sahabatnya. Sedangkak Heni dokua menyetir walau sesekali pandangannya menatap ke arah Anastasia yang tersendu. "Tante Meta pasti baik-baik saha Na," ucap Mila seraya menenangkan. "Rumah sakit mana Na?" tanya Heni. "GT." 20 menit kemudian Heni langsung memarkirkan mobilnya, setelah itu ketiga wanita tersebut beranjak turun dari mobil dan melangkah masuk ke rumah sakit tentunya Heni dan Mila harus mengimbangi Anastasia yang berlari. "Ana!" seru Mila, nafasnya sedikit tersenggal karena mengikuti lari sahabatnya "Sus, atas nama Ibu Meta ada?" tanya Anastasia dengan nafas yang memburu, ia memasang wajah khawatir. "Tunggu sebentar ya," ucap suster tersebut yang lalu mengecek data pasien atas nama yang disebutkan. Heni menimburng, "Korban kecelakaan Sus." Suster tersebut terdiam sejenak menatap ketiga wanita tersebut. "Korban kecelakaan ada di ruang IGD, kalian tinggal lurus saja mengikuti lorong ini," kata Suster menjelaskan, tanpa berkata apapun Anastasia berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. "Sus, makasih ya." Heni dan Mila lalu menyusul sahabatnya setelah berkata seperti itu. Semakim berat langkah wanita tersebut ketika mendekat ke ruang IGD yang sudah didepannya sudah ada beberapa orang serta polisi, air matanya tidak lagi bisa ditahan. "Ana," ucap Heni, ia merangkul sahabatnya untuk berjalan. Dokter keluar dari ruang IGD dengan raut wajah yang tidak mengenakan, gelengan kepala serta tundukan kepala dari sang dokter jelas dapat dilihat Anastasia. Wanita tersebut berlari menghampiri Dokter lalu bertanya, "Gimana keadaab Mamah saya Dok? Dia baik-baik sajakan?" Dengan sorot mata yang memohon dan penuh kekhawatiran. Dokter tersebut terdiam membisu, ia menunduk lalu berkata, "Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, namun pasien mengalami pendarahan yang cukup hebat hingga nyawanya sudah tidak bosa tertolong." Jder! Anastasia bak disambat petir mendengar perkataan snag Dokter, ia terduduk lemas sambil meraung, "Enggak Dok! Periksa lagi, Mamah saya masih hidup Dok, enggak mungkin dia ninggalin saya sendirian. Saya mohon bantu Mamah saya Dok." Tangisannya pecah sejadi-jadinya, mereka yang melihat jelas merasakan sesak yant mendalam melihat wanita yang benar-benar kehilangan. Heni dan Mila berusaha membangunkan sahabatnya dari duduk tersungkurnya di bawah kaki Dokter. "Na, lu harus sabar. Lu harus kuat," kata Heni menguatkan, ia merangkul sahabatnya sambil mengelus bahu sahabatnya. *MAMAH GUE ENGGAK MUNGKIN NINGGALIN GUE HEN! TADI PAGI DIA BILANG MAU MAKAN MALEM BARENG GUE!X" Anastasia menangis tersedu membuat Heni dan Mila benar-benae terpukul, mereka menangis sambil memeluk Anastasia. "Mbak, ini ponsel Mamah Mbak. Tadi saya yang menelepon Mbaknya," ucap laki-laki dengan sekitaran umur 30 tahun. Wanita tersebut menatap lekat laki-laki tersebut lalu melihat ke arah ponselnya, ia mengambilnya dengan tangan yang gemtaran. Ketiga wanita tersebut memasuki ruang IGD dan melihat wanita paruh baya terbaringan muka yang pucat, alat-alat disampingny seolah tidak lagi bisa membantu. "Mah, kenapa Mamah ninggalin Ana sendirian?" tanya Anastasia ketika melangkah mendekat ke Meta yang terbujur kaku. Heni dan Mila masih setia merangkul menemani sahabatnya dengan air mata yang tiada hentinya keluar. "Hen, Mil, ini mimpikan? Ini bukan nyokap gue kan?" tanya Anastasia dengan sorot mata yang berharap. "Lu harus kuat Na, lu enggak sendiri. Lu punya kita berdua," kata Mila yang kino memeluk sahabatnya, Heni menyeka air matanya sejenak sebelum akhirnya memeluk. "Kenapa takdir benci sama gue? Kenapa takdir harus ngambil nyokap gue?" tanya Anastasia serata tidak terima akan kehilangan yang mendadak tersebut. Heni berkata, "Enggak ada yang mau kehilangan orang yang disayang Na!" Anastasia menangis memeluk jasad sang Mamah dengan rasa sesak seolah tidak mau kehilangan, ia berharap ini adalah mimpi buruk namun ketika ia kembali membuka mata kenyataanlah yang harus di terima. Hingga waktu berjalan dengaan cepat, sang Mamah langsung dikuburkan setelah semua yany berada dirumah sakit telah diselesaikan, para tetangga yany mendengar kematian wanita paruh baya yang terkenal humble jelas bikin terkejut dan berduka. "Ana, kamu harus sabar ya. Allah akan selalu menguatkan kamu," ucap salah satu tetangga. Anastasia masih menatap lekat nisan yang bertuliskan nama sang Mamah, ia mengelus pelan dengan perasaan yang sesak, ia masih tidak percaya akan kehilangan sosok yang ia punya satu-satunya. "Makasih ya Bu," ucap Mila yang membalas, karena sang sahabat sama sekali tidak menggubris. Para pelayat satu persatu pulang kini hanya tinggal Anastasia, Heni dan Mila yang berada di pusaran makam tersebut. "Kenapa nyokap gue milih tidur ditanah, padahal kasur dirumah kita lebih empuk," ucap Anastasia yang melantur, kedua sahabatnya sangat mengerti apa yang dirasakan Anastasia. "Na, ikhlas ya. Tante Meta juga enggak mau melihat lu kaya gini, dia pasti sedih, langkahnya pasti berat," kata Heni dengan helaan nafas pelannya, hatinya sesak melihat sahabatnya. Anastasia menyela, "Kenapa Tuhan enggak biarin Mamah buat lebih lama sama gue?" Sambil menoleh ke arah kedua sahabatnya yang terdiam, Heni dan Mila jelas tidak tahu jawabannya. Mila berkata, "Kita pulang yuk Na." Sambil mengelus bahu sahabatnya, ia tersenyum sendu ke arah Anastasia. "Boleh gue berdua dulu sama Mamah," ucap Anastasia dengan sorot mata yang memohon. Heni mengangguk pelan lalu berkata, "Jangan lama, sudah mendung." Anastasia mengangguk pelan, Heni dan Mila beranjak berdiri lalu melangkah menjauh dari sahabatnya walau sesekali menoleh dengan sorot wajah khawatir. "Hen, gue enggak tega lihatnya," kata Mila dengan sendu. "Kita kasih waktu dia Mil," balas Heni sambil tersenyum getir melihat sahabatnya yang kini menunduk ke nisan makam. Anastasia tersenyum getir, matanya sudah bengkak karena menangis tiada henti. "Maafin Ana Mah, sampai saat ini belum bisa temuin Mamah dan dia," kata Anastasia dengan penuh rasa sesal yang mendalam. "Aku sudah mencoba menghubunginya namun tidak ada satupun respon darinya Mah. Maafin Ana, maafin dia juga Mah," ucap Anastasia dengan tangisan yang sedu. Langit seraya mengerti bagaimana hancurnya hati wanita tersebut. Waktu berlalu sangat cepat, hingga dimana ia bertekad untuk melupakan laki-laki tersebut bahkan membecinya. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, kehidupan Anastasia mulai berubah sejak kematian Mamahnya. "Ana! Lu enggak boleh kaya gini terus! Sayang-saynag kuliah lu. Tante Meta juga enggak akan suka lu kaya gini!" seru Heni ketika melihat sahabatnya sedang bersantai di ruang keluarga sambil meminum soju dan merokok. Anastasia terdiam tidak memperdulikan, hingga dimana Mila yang melihatnya jelas geram. Satu tamparan hebat mendarat mulus di pipi wanita tersebut, Heni sontak terkejut. "Kenapa lu nampar gue?! Hah!" seru Anastasia yang seraya tidak terima. Mila menatap tajam lalu mencetus, "Kenapa? Enggak suka?! Lu boleh sedih tapi jangan kehilangan akal gini! Lu pikir dengan kaya gini bisa balikin nyokap lu? Enggak! Yang ada lu rusakk!!!" Dengan nada yang sarkas, baru kali ini Mila terlihat sanagt emosi. "Hidup gue juga udah hancur tanpa nyokap gue?!" Anastasia tidak kalah berserunya. "SEENGGAKNYA LU BIKIN BANGGA ALMARHUM MAMAH LU! BUKANNYA MALAH BIKIN DIA SEDIH GARA-GARA GAGAL DIDIK LU YANG KAYA GINI!" seru Mila dengan penug emosi, Heni sontak mengelus punggung Mila untuk menenangkannya. Heni berkata, "Mil sabar." "Nih anak kudu dikasih pelajaran biar ngerti! Bukan dia doamg yang kehilangan orang yang disayangnya, diluaran sana banyak tapi gak betingkah kaya gini!" seru Mila dengan sorot mata yang kecewa, Anastasia terdiam menunduk mendengarnya. Heni berkata, "Na, gue tahu gimana sulitnya mengikhlaskan, cuman enggak gini caranya buat lu lupa. Apa lu yakin nyokap bokap lu bahagia nglihat lu kaya gini?" "Gue enggak kenal lu yang sekarang Na!!!" seru Mila dengan penuh emosi. Wanita tersebut menatap kedua sahabatnya, air matanya mengalir dengan deras, hatinya sesak, ia meringkuk memeluk dirinya sendiri. "Gue juga enggak kenal diri gue yang sekarang! Gue udah enggak ada arah!" kata Anastasia dengan nada yang tersedu-sedu, Heni dan Mila menghela nafasnya dengan gusar lalu duduk tepat disamping kanan dan kiri sahabatnya. "Gue juga enggak mau kaya gini, tapi ini yang buat gue tenang! Maaf," kata Anastasia dengan tangisan. Heni dan Mila kini memeluk sahabatnya dengan sangat erat. "Gue cuman enggak mau lu berubah Na, gue sayang sama lu. Lu punya kita berdua, jangan ngerasa sendiri," kata Mila, air matanya jelas sudah tidak bisa tertahan lagi. "Jangan nyakitin diri lu sendiri," ujar Heni yang lalu memeluk mengeluk pucuk kepala sahabatnya. Anastaisa menumpahkan air matanya di pelukan kedua sahabatnya. *** Hari ini hari dimana Anastasia merayakan kelulusan di universitasnya, ia ditemanin kedua sahabatnya yang sudah melaksanakan kelulusannya terlebih dahulu. Mereka berfoto bersama untuk diabadikan. "Ana, selamat yaaa. Akhirnya lulus juga dan bergelar," ucap Heni. Mila tersenyum manis lalu berkata, "Gue bangga sama lu." Wanita tersebut kini memeluk kedua sahabatnya dengan sangat erat lalu berkata, "Makasih kalian berdua selalu ada buat gue." Heni dan Mila tersenyum tipis, mereka berdua sangat tagu bagaimana kehidupan sahabatnya setelah kehilangan sosok sang Mamah yang apa-apa selalu mensupportnya. "Gimana kalau kita ke makam Tante Meta?" tanya Heni, Anastasia dan Mila mengangguk dengan antusias. Mereka bertiga kini melangkahkan kakinya menuju parkiran, dan tentunya menaiki mobil Heni. "Let's Go!" seru mereka bertiga, setelahnya mereka bertiga tertawa pelan. "Nanti beli bunga dulu," kata Anastasia. Mila menyela, "Eh tenang saja, kita sudah beli kok." Wanita tersebut menngerutkan keningnya bingung, sedangkan Heni dan Mila saling menatap satu sama lain lalu tersenyum sambil menaikkan kedua alisnya. "Kalian sudah beli?" tanya Anastsia. Mila menyela, "Lihat di belakang." Wanita tersebut sontak mengikuti apa yang dikatakan sahabatnya, Anastasia tersenyum tipis ketika melihat bunga tabur dan sebucket bunga mawar yang indah ada di bagasi mobil sahabatnya. "Kalian kapan belinya?" tanya Anastasia yang kembali memposisikan dirinya duduk menghadap lurus ke depan. Anastasia melangkah di jalan setapak mencari keberadaan makam sang Mamah, ia masih menggunakan baju wisudanya, wanita tersebut tersenyum manis tidak sabar untuk bertemu Mamahnya. "Assalamualaikum Mah, Ana dateng seperto bisa sama Heni dan Mila," ucap Anastasia yang langsung membersihkan makam yang kini sudah terlihat cantik dengan rumput-rumput tipis yang memperindah. "Assalamualaikum Tante," ucap Heni dan Mila yang membuat Anastasia tersenyum manis. "Mah, hari ini aku wisuda, seperti yang Mamah harapkan aku lulus dengan nilai yamg memuaskan. Walau dulu aku sempat ingin berhenti, namun Heni dan Mila memberi aku semangat lagi sampai aku bisa lulus," ungkap Anastasia sambil mengelus nisan sang Mamah. Heni dan Mila hanya tersenyum tipis mendengar penuturan sahabatnya. "Fotoin gue sama Mamah dong," ucap Anastsia. *** Sinar mentari menyerbak masuk begitu saja mengusk kenyaman tidur, ini tahun ke 4 ia hidup sendiri tidak ada yang berubah dari wanita tersebut hanya saja ia semakin bertumbuh cantik dan kuat menjalanin kehidupannya. Kini wanita tersebut tinggal disebuah kos-kos'an kecil setelah sang Mamah meninggal, rumah tersebut di lelang oleh bank karena tidak ada lagi pembayaran yang masuk. Anastasia terbangun dari tidurnya, ia beranjak dari kasur kecil yang muat hanya untuk dirinya saja. "Mah, doain Ana selalu ya dari atas sana," ucap Anastasia ketika melihat foto yang berada di meja nakasnya. Wanita tersebut tersenyum tipis sebelum akhirnya melangkahlan kakinya ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Anastasia bekerja sebagai salah satu jurnalis yang sering kali memwawancarai pengusaha yang sukses di usia muda. Dering telepon membuatnya bergegas untuk mengangkatnya, yaps benar saja itu dari teman sekantornya. "Halo Frey kenapa?" tanya Anastasia sambil menlaudspeaker teleponnya. "Na lu dimana? Pak Ijal nanyain lu mulu nih." Anastasia terdiam sejenak, ia melihat ke arah jam dinding yang terpajang. "Tumben banget nyariin gue, ada apa ya?" Gadis tersebut jelas dirundung bingung atas perkataan teman sekantornya tersebut. "Udah lu buruan deh otw kesini." Anastasia lalu berdehem, ia melanjutkan memakai pakaian untuk bekerjanya, celana jeans dengan baju putih yang di double dengan baju rajut tangan buntung, tidak lupa ia mengalungkan identitasnya sebagai jurnalis perusahaan majalah. Wanita tersebut mengambil ponselnya, tasnya lalu melangkah keluar dari kamar kos-nya tersebut menuju parkiran yang tersedia di area kos. Anastasia menghela nafasnya lalu tersenyum menatap langit yang cerah sebelum akhirnya menaiki motor sport kesayangan yang tidak pernah berubah dari dahulu. Motor tersebut melaju keluar dari area kos dengan kecepatan standar, tidak ada yang berubah masih terlihat hampa walau terjalan, wanita tersebut masih merokok dan minum walau tidak sesering saat ia kalut, kedua sahabatnya masih sangat amat posesif terhadapnya. 30 menit berlalu, wanita tersebut lantas langsung memarkirkan motornya dan setelahnya ia berlari kecil bergegas masuk ke perusahaan tempat ia bekerja. "Pagi Na." "Baru datang Na?" Hanya senyuman tipis dan anggukan kecil yang diberikan Anastasia untuk membalas sapaan beberapa karyawan yang sering kali menyapanya. Wanita tersebut mengatur nafasnya ketika sudah sampai di ruang kerjanya, beberapa teman kerjanya jelas melihatnya. "Ana, lu habis lari maraton?" tanya Freya - teman sekantor yang tadi menelepon. "Mana Pak Ijal?" tanya Anastasia dengan nafas yang sedikit tersenggal, Freya hanya menunjuk ruang atasannya yang membuat gadis tersebut menoleh, Anastasia lantas mengangguk ke arah Freya yang kini berbisik, "Fighting." Dengan kedua tangan yang memberi semangat. Anastasia yang melihat hanya terkekeh pelan saja, ia melangkahkan kakinya menuju ruang atasannya, wanita tersebut menarik nafasnya dalam-dalam sebelum mengetuk pintu ruangan sang atasan lalu masuk dengan perlahan. "Ada apa Pak mencari saya?" tanya Anastasia dengan sopan. Pria yang berusia 40 tahun tersebut lantas mendongak menatap ke arah karyawan yang menghadap ke arahnya. "Ah sudah datang kamu," ucap Pak Ijal yang membuat Anastasia mengangguk pelan dengan senyum tipis. "Ada berita menarik yang seperti kamu harus mencari tahu kebenarannya, saya harap kamu bisa di andalkan soal wawancara ini," jelas Pak Ijal dengan sorot mata menelusuk seraya percaya kepada wanita yang ada di hadapannya. Anastasia jelas sedikit terkejut, ia menatap dengan rasa tidak percaya. "Bapak yakin mengutus saya untuk wawancara kali ini?" tanya Anastasia sedikit ragu, pria paruh baya tersebut bersandar di kursi kerjanya menatap lekat karyawannya. "Lalu untuk apa saya mencari dan memanggil kamu?" tanya Pak Ijal kembali dengan nada yang datar membuat Anastasia menunduk sedikit takut. Anastasia menarik nafasnya perlahan sebelum berkata, "Baik Pak kalau gitu saya akan usahakan yang terbaik atas kepercayaan anda." Pak Ijal tersenyum senang atas jawaban yang diberikan wanita tersebut. "Kamu bisa mulai sekarang, perusahaan RX." Anastasia menatap lurus lalu mengangguk pelan. "Kalau gitu biar saya rapih-rapih dulu," kata Anastasia, pria paruh baya tersebut mengangguk untuk menjawabnya. Wanita tersebut kini membalikkan badannya bergegas untuk keluar dari ruang kerja sang atasan. "Oh iya Na, kamu bisa ajak Tito untuk membantu kamu," kata Pak Ijal. Anastasia membalikkan badannya ke arah sang atasannya lalu berkata, "Baik Pak." Setelahnya wanita tersebut keluar dari ruang kerja sang atasan yang tentunya ia langsung mendapatkan tatapan penasaran dari teman-teman kantornya. "Na, kenapa?" "Na baik-baik sajakan? Enggak biasanya Pak Ijal manggil lu." "Cerita, ada apa? "Jangan bilang lu dipecat?" Pertanyaan dari Patra jelaa membuat mereka semua menoleh ke arah sumber suara lalu sedetik kemudian menatap ke arah Anastasia yang kini hanya menatap sendu saja. "Na benar? Enggak kan?" tanya Freya. Anastasia duduk di kursi kerjanya seolah mengistirahatkan tubuhnya yang tadi berlari kecil untuk menghadap sang atasan. "Gue disuruh wawancara perusahaan RX," kata Anastasia yang membuat teman-teman sekantornya yang masih penasaran jelas terkejut dan menatap satu sama lain. "Serius lu? Katanya yang punya galak, dingin, judes ah pokonya gitu dah," kata Freya yang seolah mengetahui atasan perusahaan yang akan di wawancarai Anastasia. Wanita tersebut jelas mengerutkan keningnya lalu menoleh ke arah teman sekantornya. "Katanya pemimpinnya masih muda, baru balik dari luar negeri juga," nimbrung Patra. "Gue pernah dengar si, tapi dia ganteng loh katanya," ujar Cia. Anastasia yang mendengar hanya terkekeh sambil merapihkan keperluannya. "Kalau ternyata cantik gimana?" tanya Anastasia. "Ih enggak, masa Xander cewek si. Enggak mungkin kan," ujar Cia yang membuat gadis tersebut mengerutkan keningnya, ia menghentikan sejenak aktifitasnya lalu bertanya, "Xander?" Cia mengangguk lalu menyahut, "Iya, dia dikenal Xander. Cuman ya enggak tahu si nama asli atau enggak, cuman terkenalnya itu." Freya menimbrung, "Katanya juga ini pertama kalinya dia ke Indonesia." Gadis tersebut kembali melanjutkan aktifitas memasuki barang-barangnya. "Apa kalian tidak ada pekerjaan?" tanya Pak Ijal dengan tiba-tiba, mereka yang mengerubungi meja Anastasia sontak membubarkan dirinya. Pria paruh baya tersebut menatap jengah kepada para karyawannya, Anastasia yang melihat hanya terkekeh pelan saja. Pak Ijal menghampiri meja Anastasia lalu bertanya, "Sudah kamu siapakan semuanya?" Gadis tersebut beranjak berdiri lalu mengangguk dan menjawab, "Sudah Pak." "Tito mana?" tanya Pak Ijal sambil melihat ke arah sekelilingnya, namun tidak melihat keberadaan karyawan tersebut. "Maaf Pak saya telat," ujar suara bass dengan nafas yang sedikit ngos-ngosan. Pak Ijal hanya menatap datar saja lalu berkata, "Kamu bantu Anastasai untuk wawancara, jangan buat kesalahan." Tito menoleh ke arah wanita yang kini sudah menggaet tas di lengan sebelah kirinya. Anastasia menunduk hormat sebelum melangkah pergi dari hadapan sang atasan, Tito pun segera menyusul ketika mendapat tatapan melotot dari pria paruh baya tersebut. "Na, kita wawancara siapa?" tanya Tito ketika mereka berdua memasuk lift. "Pemimpin perusahaan RX," jawab Anastasia, Tito yang mendengar jelas hanya ber Oh ria saja, namun beberapa detik kemudian ia tersadar dan bertanya, "Lu serius kita wawancarai pemimpin RX?" Wanita tersebut terdiam sejenak menoleh ke arah rekan kwrhanya lalu mengangguk. "Astaga, kenapa harus tuh orang si," ujar Tito. "Ya emang disuruhnya dia," balas Anastasia, laki-laki tersebut jelas menghela nafasnya dengan pasrah yang membuat Anastasia jelas mengernyitkan dahinya bingung. "Ada apa si? Kok kayanya kesannya pemimpin RX buruk banget," kata Anastasia sedikit penasaran. "Kita kalau enggak punya janji enggak bakal bisa wawancarai dia, sama jurnalis luar negeri yang hebat aja dia nolak kalau belum ada janji apalagi kita," jelas Tito. Anastasia menyela, "Belum dicobakan." Dengan nada yang yakin, Tito terdiam sejenak seraya berpikir apa yang diucapak rekan kerjanya ada benarnya juga. "Oke, kita coba!" seru Tito dengan semangat membuat Anastasia yang mendengar jelas tersenyum tipis. "Naik motor gue aja," kata Anastasia ketika keluar dari lift, mereka berdua melangkah keluar perusahaan tersebut dengan penuh percaya diri. "Gue yang bawa," kata Tito, wanita tersebut lantas langsung memberikan kunci motor sport kesayangannya tersebut kepada Tito.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD