Kenyamanan

1468 Words
Setelah kepergian Cinta, Clara pun segera mendampingi Byan menuju kamar perawatan. Saat melihat wajah Byan yang penuh dengan peluh dan pria tampan itu sesekali meringis kesakitan, Clara benar-benar merasa tak tega. Sifat Clara dan Shera memang memiliki kemiripan, mereka berdua gampang sekali tersentuh oleh sesuatu yang menarik hati mereka. "Kamu... Kenapa disini? Mana Cinta?" Tanya Byan dengan suara lemah. "Saya... Saya tadi nolongin bapak, soal Cinta nanti saya jelaskan." Balas Clara pada Byan. "Sudah ya Mbak, saya tinggal dulu. Nanti malam dr. Fathur akan datang memeriksa Bapaknya." Ujar perawat yang mendorong brankar Byan. "Iya Mas, oh ya Mas kenapa Pak Byan masih kesakitan ya? Emangnya tadi nggak dikasih obat pereda nyeri atau apa gitu?" Tanya Clara pada perawat tersebut. "Sudah Mbak, tadi sudah diinjeksi, obatnya sekarang sedang bekerja, Mbak bisa membantu Bapaknya supaya merasa rileks dengan mengompres bagian perut dan lipatan-lipatan tubuh dengan air hangat untuk menurunkan demamnya." Ucapan perawat barusan membuat Clara tersenyum paksa, bagaimana ia yang orang asing bagi Byan bisa melakukan semua itu? Tapi jika bukan dirinya memang siapa lagi yang bisa melakukannya? Clara lebih tidak rela jika hal itu dilakukan oleh perawat wanita yang tengah berjaga didepan. "Sudah Mbak? Ada yang perlu ditanyakan?" Imbuhnya. "Mmmm... Kira-kira makanan yang boleh dan nggak boleh dikonsumsi apa ya Mas?" "Oh ya saya sampai lupa, nanti Bapaknya akan dapat makanan dari rumah sakit tiga kali sehari, dan kami sudah menginformasikan pada bagian ahli gizi tentang penyakit Pak Byan, nanti ahli Gizinya yang akan mengatur makanan Pak Byan, usahakan mau makan ya mbak biar cepat sembuh." "Iya Mas. Oh ya sebenarnya dia sakit apa sih Mas?" "Tadi waktu diperiksa di IGD Pak Byan bilang kalau punya maag akut, kemungkinan maag akutnya kambuh, nanti selebihnya akan dijelaskan sama dr. Fathur." "Iya-iya Mas, makasih." "Ya udah kalau gitu saya permisi ya Mbak!" "Iya..." Setelah perawat itu pergi, kini Clara tampak menatap Byan dengan tatapan bingung. Ia sudah terjebak disini, tak mungkin sekali ia meninggalkan Byan dalam kondisi seperti ini. "Aku telepon Papa dulu aja." Gumam Clara seraya mengambil ponselnya didalam saku. 'Hallo Cla? Gimana udah ketemu sama Byan?' 'Pa ini aku lagi di rumah sakit.' 'Di rumah sakit? Kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu?' Robby pun tampak panik. 'Aku nggak apa-apa Pa, ini yang sakit Pak Byan, kasihan dia sendirian nggak ada yang nungguin. Dia harus dirawat di rumah sakit, Papa sendiri tadi curiga kan sama kondisi kesehatannya.' 'Iya, Papa sudah menduga kalau dia sedang sakit. Gimana ceritanya kok kamu bisa antar dia ke rumah sakit? Emang nggak ada keluarganya atau gimana?' 'Ceritanya besok aja ya Pah, aku pulang besok kayaknya soalnya malam ini harus nungguin dia. Besok aku ceritain semuanya sama Papa.' 'Ya sudah kalau begitu, jika memang dia hanya sendirian dan nggak ada sanak saudara, Papa minta tolong sama kamu untuk temani dia ya!' Mendengar itu, senyuman Clara pun langsung terbit, seolah mendapat dukungan dari ayahnya, iapun merasa sangat senang sekali. 'Iya Pa, ya udah kalau gitu, nanti sampein ke Mama ya!' 'Iya sayang.' Setelah menelepon ayahnya, kini Clara pun segera menghampiri Byan yang masih terkulai lemah. Pria itu tampak terpejam dengan tangan kanan berada diatas dahinya. Sedangkan tangan kiri yang telah dipasang jarum infus tampak berada diatas perut dan sesekali meremasnya karena merasa sakit. Clara sendiri tidak bisa membiarkan Byan seperti ini, ia harus melakukan saran perawat jika ingin melihat kondisi Byan jauh lebih baik. "Pak Byan!" Panggil Clara dengan pelan. Byan yang mendengarnya pun langsung membuka kedua matanya. "Cinta mana?" Tanya Byan yang masih lemah, bahkan hanya untuk bicara saja rasanya sungguh sulit. "Karena Cinta baru pulang sekolah, tadi saya suruh dia untuk pulang terlebih dahulu untuk ganti baju dan membawa pakaian Bapak kesini nanti. Untuk sementara saya akan disini, tadi saya sudah bicara sama Papa saya." Jelas Clara. "Papa?" "Hm, Pak Robby, Pak Robby adalah Papa saya." "Jadi kamu..." "Saya adalah putri bungsu sekaligus sekretarisnya Pak Robby. Kita baru pertama kali bertemu hari ini." Byan pun tiba-tiba menatap Clara dengan intens. Masih tak menyangka jika Clara adalah anak dari Robby rekan bisnisnya. Pantas saja Clara begitu sopan, anggun dan cantik, entah kenapa Byan merasa nyaman saat berbicara dengan Clara. "Terimakasih sudah menolong saya." Ungkap Byan dengan tulus. "Sama-sama Pak. Kata dokter yang memeriksa tadi, maag akut Bapak kambuh ya, Bapak juga demam tinggi. Apa sekarang Bapak masih merasa sakit? Sejak tadi Bapak hanya diam saja." Tanya Clara dengan tatapan cemas. "Iya, mungkin karena kopi yang saya minum tadi. Perut saya sakit sekali, seperti diremas-remas. Tapi saya masih bisa tahan sampai Cinta datang, jika kamu ingin pulang silahkan, saya tidak apa-apa sendirian." Jawaban Byan memang seolah tengah mengusir Clara, karena mereka sendiri memang baru kenal. Byan merasa tak enak hati karena membiarkan Clara menungguinya. "Saya yang merasa cemas kalau ngebiarin Bapak sendirian, bisa-bisa papa marah sama saya nanti kalau saya pulang dan biarin Bapak sendiri. Nggak perlu sungkan sama saya, saya tulus kok bantuin Bapak, nggak ada niat apa-apa." Jelas Clara pada Byan, jika sudah seperti ini, Byan mana bisa mengusir Clara, yang ada ia akan semakin tak enak hati pada gadis itu, apalagi gadis itu adalah putri dari Robby, senior Byan yang cukup ia segani. "Ya sudah jika itu mau kamu, saya tidak memak-" Byan tidak melanjutkan perkataannya karena pria itu tiba-tiba menggigit bibir bawahnya karena menahan sakit, Clara yang melihat itupun tentu saja langsung panik. Gadis itu kemudian langsung menggulung lengan blazer yang ia kenakan sampai sebatas siku, lalu iapun menggulung rambut panjangnya hingga keatas. Setelah itu Clara segera menuju kamar mandi untuk mengambil baskom yang ia isi dengan air hangat. Clara sempat bingung karena tidak ada handuk sama sekali, mengingat Cinta belum kembali untuk membawa keperluan Byan. Alhasil iapun mengambil sapu tangan miliknya yang ada disaku blazernya, untung saja Clara selalu membawa sapu tangan kemana-mana, jadi bisa sangat bermanfaat jika sedang dibutuhkan seperti ini. "Tadi kata perawatnya saya harus kompres Bapak supaya demam Bapak cepat turun, perut Bapak juga perlu dikompres supaya sakitnya berkurang. Sekarang saya mau bantu Bapak, Bapak yang nurut ya!" Byan tentu saja langsung mengangguk-angguk saja, karena tidak mungkin juga ia menolak disaat seperti ini, disaat ia memang tengah butuh bantuan orang lain untuk meringankan rasa sakitnya. Clara sendiri merasa sangat lega karena respon Byan. Clara kemudian langsung membantu Byan untuk duduk dengan perlahan, lalu setelah itu membantu Byan untuk melepaskan pakaian atas yang pria itu kenakan. Saat melihat tubuh atas Byan, jantung Clara tentu saja semakin berdebar tidak karuan. Pahatan yang begitu indah tersaji didepan kedua matanya. Otot-otot Byan yang menggoda membuat Clara sempat tertegun sesaat, terlebih otot perut yang sangat seksi padahal sedang dalam kondisi yang tidak sehat. Oh Tuhan, Clara bahkan sampai meneguk ludahnya karena saking terpesonanya dengan tubuh Byan. "E-ekhm, Pa-Pak Byan sebelumnya maaf ya!" Clara sok-sokan tak enak hati padahal dalam hatinya ia sedang berteriak kegirangan. "Tidak apa-apa, justru saya berterimakasih." "Saya... Turut berduka cita atas meninggalnya Ibu Bapak, Bapak kelihatannya sangat tertekan, mungkin karena itu juga Bapak sampai sakit seperti ini." "Hm, apa begitu sangat kelihatan? Pasti saya terlihat sangat menyedihkan sekali ya?" "Nggak juga kok Pak." Dusta Clara. "Masalah saya sangat banyak, bukan hanya mengenai kepergian Ibu yang membuat saya begitu terpuruk, tapi masih banyak lagi. Saya... Benar-benar sangat lelah." Melihat mata Byan yang berkaca-kaca, Clara tentu saja merasa sangat iba dan tak tega. Mungkin Byan sedang butuh sandaran untuk meluapkan segala kesedihannya, jika pria itu sudah berhasil meluapkan segala kesedihannya, mungkin ia bisa segera pulih dari sakitnya. "Airmata itu bukan hanya diciptakan untuk kaum wanita, tapi untuk semua makhluk, bahkan hewan pun juga bisa menangis. Jika bapak mau nangis, nangis aja nggak apa-apa, nggak ada yang ngetawain Bapak kok, hm?" Clara tiba-tiba saja menatap Byan dengan begitu intens dan meneduhkan. Sedangkan Byan sendiri entah kenapa merasa begitu nyaman ketika Clara memperlakukannya dengan penuh perhatian dan kelembutan seperti ini, Byan seakan rindu akan perhatian dari seorang wanita, dan Clara benar-benar datang disaat yang sangat tepat sekali. "Maaf." Karena sudah tak mampu menahan airmata dan kesedihan yang selama ini ia pendam, Byan pun akhirnya menangis dan menumpahkan segalanya. Dan tanpa ia duga, Clara pun tiba-tiba memeluknya dengan erat seolah memberikan ketenangan pada Byan yang benar-benar merasa nyaman dengan semua itu. "Bapak boleh menangis sepuasnya, ada saya disini, ada Cinta juga, Bapak nggak sendiri. Ibu memang sudah pergi, tapi Ibu akan selalu ada dihati Bapak, kehilangan Ibu bukanlah akhir dari segalanya. Percayalah jika rencana yang Tuhan berikan kepada Bapak akan jauh lebih indah dari yang Bapak duga-duga." Tutur Clara sembari mengusap-usap punggung Byan untuk menenangkan pria itu. Dan tanpa Byan dan Clara ketahui, saat ini Cinta tengah menatap mereka berdua dengan senyuman haru. Cinta benar-benar tak menyangka jika Clara bisa membuat ayahnya mengeluarkan seluruh emosinya seperti ini. Karena selama ini yang Cinta tahu jika ayahnya hanya akan menangis didepan neneknya saja, bahkan didepannya pun sang ayah tidak pernah sekalipun menunjukkan airmatanya. Tapi didepan Clara, Byan terlihat begitu lepas dan nyaman padahal mereka berdua baru pertama kali bertemu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD