Menggemaskan

1323 Words
Cinta menangis tersedu-sedu ketika melihat perawat menancapkan jarum infus ketangan sang ayah. Byan memang terpaksa harus dirawat inap karena kondisi tubuhnya yang sangat buruk. Stress dan kelelahan adalah penyebab utama, kurang istirahat dan maag akut yang ia derita menambah daftar penyebab sakitnya saat ini. Pria itu sudah sadar, namun kondisinya yang begitu lemah membuatnya tak mampu bergerak bebas. Apalagi perutnya masih begitu sakit, bahkan sangat sakit saat ia buat untuk bergerak. Byan benar-benar merasa dirinya amat lemah, masalah demi masalah berdatangan silih berganti, ditambah musibah besar yang menimpa keluarganya membuat Byan sungguh merasa sangat terpuruk. Dalam kondisi lemah dan sakit, biasanya ada sang ibu yang selalu berada disampingnya. Ketika ia bertengkar dengan Anggita ataupun Cinta, ibunya selalu ada untuk menenangkannya. Tapi sekarang? Ibunya sudah pergi, dunia mereka berdua sudah berbeda, dan Byan sudah tak mampu menggenggam jemari hangat yang selalu mampu membuatnya merasa tenang itu. Terkadang rasa sesal itu datang, dimana ia menyesali kematian sang ibu yang terlalu cepat. Kenapa harus sekarang? Disaat ia sedang butuh sekali uluran tangan, disaat semua masalah belum sepenuhnya terselesaikan, ibunya malah pergi untuk selama-lamanya, dan tak akan pernah kembali lagi untuknya. "Maaf mbak?" Cinta menghampiri Clara yang baru saja selesai mengurus pendaftaran Byan. Sejak tadi gadis itu terlalu fokus menangis sampai ia melupakan sosok wanita cantik yang sudah menolong ayahnya. "Hm, saya Clara rekan bisnis ayah kamu. Tadi saya ngikutin beliau karena mau balikin berkas penting yang tertinggal di kantor saya." Jelas Clara pada Cinta, Cinta pun akhirnya mengangguk paham. "Saya Cinta, terimakasih banyak karena mbak udah nolongin papi." Ungkap Cinta seraya membersihkan sisa-sisa airmatanya. "Sama-sama Cinta. Sejak dikantor tadi pak Byan emang kelihatan kurang sehat, tapi dia bilang nggak apa-apa terus, padahal tadi waktu saya nggak sengaja sentuh tangannya, tangannya panas banget. Kata dokter papi kamu kecapekan dan kurang istirahat, di tambah maagnya kumat gara-gara minum kopi dikantor saya." "Papi emang nggak pernah minum kopi sejak punya maag akut mbak, terus tadi kenapa papi minum?" "Mungkin dia sengaja lakuin itu untuk menghormati rekan bisnisnya. Kalau saja saya tau jika papi kamu nggak bisa minum kopi, saya juga nggak akan mungkin kasih di kopi tadi. Sayangnya dia nggak bilang apa-apa Cinta, maafkan saya." "Nggak apa-apa mbak, mbak Clara nggak salah kok. Emang udah waktunya aja Papi sakit hiks." Cinta pun semakin menangis karena merasa bersalah, melihat sang ayah jatuh sakit tentu saja membuat hatinya merasa sakit. "Cinta kamu kenapa? Kok nangis lagi sih? Papi kamu udah nggak apa-apa kok, udah ditangani sama dokter." Clara pun mencoba mendekat dan merangkul bahu Cinta. "Ini semua salah aku juga, aku selalu buat papi kecewa dan stress, papi pasti tertekan karena punya banyak masalah, dan salah satunya aku yang selalu bikin masalah untuk papi." Ungkap Cinta pada Clara. Cinta sebenarnya tidak suka mengungkapkan perasaannya pada sembarang orang, apalagi orang asing seperti Clara, namun entah kenapa melihat Clara, membuat kata-kata Cinta mengalir begitu saja seolah ada magnet yang menariknya. Clara sendiri tampak prihatin, entah kenapa hatinya tak tega saat melihat Cinta, terlebih ketika Cinta menceritakan tentang ayahnya. Clara merasa begitu iba. Entah ini perasaan kasihan atau simpati, atau tertarik, entahlah, Clara juga belum mengerti. "Emangnya kalian tadi bertengkar soal apa kalau boleh tau? Tapi kalau kamu nggak mau cerita juga nggak apa-apa." Tanya Clara dengan hati-hati. "Kita bertengkar nggak sekali dua kali aja, bahkan sering banget mbak. Ini semua bermula dari sepuluh tahun yang lalu, disaat usiaku masih enam tahun, mami dan papi bercerai karena mami selingkuh, mami mengkhianati papi dan keluarga papi marah besar. Awalnya pernikahan mereka berdua ditentang keras oleh keluarga papi, tapi papi nekad kawin lari sama mami. Dan dari situlah kebencian keluarga papi bermula. Setelah bercerai, papi akhirnya dapat maaf dari keluarganya dan diterima kembali, tapi lima tahun kemudian mami kembali lagi dan papi yang masih cinta pun akhirnya menerima mami kembali. Keluarga papi pun kembali membenci papi bahkan semakin benci, apalagi setelah itu Oma sering sakit-sakitan gara-gara mikirin papi. Terus lagi-lagi mami selingkuh, mereka pun bercerai lagi, sampai sekarang keluarga papi masih benci banget sama papi. Bahkan ketika Oma meninggal kemarin, nggak ada satupun saudara yang mau ajak papi ngomong, bahkan mereka ngusir papi. Papi hancur banget mbak, aku tau itu, meskipun Papi nggak ngomong dan nggak nangis sama sekali, tapi aku tau kalau papi pasti sakit karena Oma adalah satu-satunya sandaran papi, sesalah apapun papi, Oma pasti akan nerima papi kembali. Hanya Oma yang selalu ada disaat papi terpuruk. Sedangkan aku hanya pembuat masalah, aku selalu buat masalah disekolah karena banyak banget temen-temen yang nggak suka sama aku, dan mereka terang-terangan menghina keluargaku didepan mataku sendiri. Apalagi mereka semua tau kalau mamiku itu artis yang doyan selingkuh, gimana aku nggak sakit hati dibilang anak haram lah, anak pelakor lah, anak jalang lah, makanya aku mukulin mereka, aku nggak bisa diem aja ditindas sama mereka aku..." "Cinta udah jangan dilanjutin, saya tau ini pasti sangat berat." Clara pun segera memeluk Cinta dan menenangkannya, sedangkan Cinta kini akhirnya bisa menangis sepuasnya didalam pelukan Clara. "Hiks, aku kadang capek mbak kayak gini terus, aku juga nggak tega lihat papi kayak gitu, aku mau lihat papi bahagia nggak menderita terus kayak gini. Sekarang mbak Clara pikir, buat apa harta melimpah, rumah besar, mobil banyak, kalau kita nggak bahagia? Semua itu nggak ada artinya sama sekali. Percuma aja. Aku kalau lihat papi sok kuat, aku bener-bener nggak tega. Tapi kadang aku juga kesel karena papi tuh selalu diem aja kalau dihina-hina sama keluarganya, papi nggak pernah coba ngelawan sama sekali. Bahkan kalau aku yang lawan, papi selalu aja marah dan larang aku, padahal akukan mau belain dia, tapi dia malah nyalahin aku. Katanya semua ini emang salahnya, dan dia pantes dapetin itu semua. Tapi sampai kapan? Papi juga berhak dapat maaf, Tuhan aja maha pemaaf tapi kenapa mereka enggak?" Cinta yang malang, Clara bahkan sampai menitikkan air matanya karena tak kuasa mendengar cerita Cinta. Ternyata dibalik wajah tampan itu tersimpan sebuah derita yang sangat mendalam. Dibalik senyuman paksa itu, tersimpan rasa sakit yang sangat mengerikan. Byan yang malang, kenapa cerita Cinta sekarang malah membuat Clara ingin mendekati pria itu dan memberikan kebahagiaan? Tapi jika Byan menolaknya bagaimana? Namun Clara kan belum mencobanya. Ia harus mencobanya dulu, siapa tahu Byan menerimanya dengan tangan terbuka. Lagi pula Byan kan tampan sekali, gagah dan seperti sangat baik. Biarpun usianya... Mengingat usia, Clara jadi teringat akan sosok Kevin suami Shera sepupunya. Sekarang Clara jadi kena batunya, sok-sokan tak ingin punya suami tua, dan kini dirinya malah jatuh hati pada pria yang sudah berumur seperti Byan. "Papi kamu... Umur berapa sih?" Tanya Clara tiba-tiba. "Empat puluh dua, kenapa mbak?" Cinta balik bertanya karena heran dengan pertanyaan Clara. "E-enggak kok, tanya aja. Nggak apa-apa kok." Ya ampun hampir saja, Clara bodoh, bisa-bisanya ia tanya umur Byan disaat-saat seperti ini. "Makasih ya mbak, udah mau dengerin curhatanku yang panjang banget. Sekarang aku mau nemenin papi dulu." "Cinta!" "Ya mbak Cla?" "Sebaiknya kamu pulang dulu, ganti baju, terus ambil keperluan papi kamu, kayak baju, pakaian dalam, dan yang lainnya. Sekarang biar saya aja yang jagain papi kamu dulu, ya?" Mendengar itu Cinta tentu saja langsung tersenyum lega. "Serius mbak? Mbak nggak apa-apa jagain papi sendirian?" "Nggak masalah, saya free kok. Nanti saya bisa telepon atasan saya, kebetulan pak Byan ini juniornya atasan saya, jadi atasan saya pasti mengerti." "Ya ampun mbak Cla makasih banget ya, untung aku ketemu sama wanita baik kayak mbak Cla, udah baik, cantik banget lagi kayak model." Cinta pun tiba-tiba memeluk Clara dengan erat. "Hm." Clara lantas hanya bisa tersenyum samar menanggapinya. "Aku pulang dulu ya mbak, titip papiku ya! Oh ya aku minta nomor ponsel mbak ya!" "Oh iya." Clara dan Cinta pun segera bertukar nomor ponsel. "Aku tinggal dulu ya mbak! Makasih mbak Clara! Nanti aku bawain makanan." Seru Cinta dari kejauhan. "Iya!" Balas Clara dengan lantang. Clara pun kembali tersenyum, dan sekarang ia harus segera menghubungi ayahnya untuk memberitahukan tentang kondisi Byan yang tengah ditangani dokter. 'empat puluh dua? Tapi masih kayak dua puluhan, gemes banget.' gumam Clara dalam hati yang berbunga-bunga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD