3. Menantang Maut

1142 Words
Setelah bersantai hingga larut malam, Saidon mengajak Dev untuk menyerang duluan. "Dev, kita taruh kuda di sini. Setelah itu kita maju ke depan dan menembak mereka satu persatu. Karena ini gelap jadi sebisa mungkin tubuh kita berada dibalik pohon!" perintah Saidon. Keduanya langsung menyembunyikan kuda secara jarak jauh, takut jika terkena peluru nyasar. Setelah itu mereka berjalan ke depan secara perlahan. "Mereka ada di sana, kamu fokus ke orang yang di luar tenda. Sedangkan aku akan menembak yang di dalam tenda!" "Iya, Bos,"jawab Devan. Dev agak kesulitan juga, sebab dalam kegelapan dan dari jarak jauh. Sedangkan Saidon matanya begitu jeli, bahkan orang di dalam tenda yang hanya berbentuk bayangan saja mampu dilihatnya. "Dev, kalau kamu merasa kesulitan kita maju beberapa langkah lagi. Di depan ada pohon besar cukup untuk kita berdua bersembunyi!" "Iya, Bos. Aku memang tidak begitu bisa melihat," jawab Dev jujur. Setelah cukup dekat, keduanya langsung menembak secara beruntun. Suara peluru dan jeritan anak buah Frons mulai menggema mengisi keheningan malam. Hanya butuh waktu sepuluh menit Saidon dan Dev sudah mampu membunuh mereka semua. "Kita berhasil, Bos," teriak Dev senang. "Jangan bergembira dulu! Karena jeritan mereka tadi membuat penjaga di sebelah samping mendengar dan sedang menuju ke sini. Jumlah mereka pasti lebih banyak lagi" kata Saidon memperingatkan. "Lalu kita harus bagaimana, Bos?" tanya Dev berubah waspada. "Kita kembali ke arah jurang tadi membawa dua kuda milik anak buah Frons. Di sana ada dua batu besar kita bisa bersembunyi di sana. Nanti jika mereka sudah datang, kita lepaskan kuda-kuda itu agar mereka mengira jika kita yang sedang kabur," perintah Saidon. "Wah, Bosku memang cerdas," decak Dev. Tak lama setelah kedua kuda milik mereka di sembunyikan di balik batu dekat jurang, para pembunuh bayaran yang berjumlah sangat banyak mulai berdatangan. Saidon dan Dev melepaskan kuda-kuda milik pembunuh bayaran yang dicurinya tadi. Ternyata rencana Saidon berhasil, mereka terkecoh dan saling menghentakkan kaki agar kuda mereka bisa menyusul. Setelah suasana sepi kembali Dev tersenyum lega, dengan begini mereka bisa melewati jalanan yang datar tadi. Sebab para penjaga sudah pergi. "Dev, ayo kita pergi sekarang mumpung mereka belum sadar!" ajak Saidon. Peperangan tidak hanya ditentukan oleh jumlah, melainkan taktik yang jitu bisa menghasilkan kemenangan. Seperti Saidon yang hanya membawa anak buah satu tapi mampu mengalahkan pembunuh bayaran yang memiliki jumlah berlipat-lipat. Dev begitu mengagumi pimpinannya sepenuh hati. "Kali ini kita selamat," gumam Dev kelelahan. Baru beberapa langkah berjalan, Saidon merasa ada getaran di kakinya yang begitu cepat. "Oh tidak, Dev cepat masuk ke sela -sela batu ini. Jika sendirian aku lebih mudah mengalihkan mereka," perintah Saidon sambil mendorong tubuh Dev agar tak terlihat. "Bos jangan melawan sendiri, jika harus mati kita mati bersama," pinta Dev khawatir dengan keselamatan bosnya. "Kamu patuhi perintahku, jangan tinggalkan tempat ini sampai aku kembali ke sini. Karena di hutan ini tidak ada sinyal, tentu akan sulit untuk kita saling menemukan jika kamu pergi!" kata Saidon langsung berlari. Namun, setelah cukup lama berlari di depannya sudah ada Frons. Ketika mau menoleh ke belakang para pembunuh bayaran lain juga sudah mengepung. Saidon hanya tersenyum, ternyata adiknya memang sangat bernafsu untuk menghabisinya demi sebuah posisi. "Kak, kamu pasti capek kan? Tubuhmu itu lemah sekali, mari kesini aku akan membantu mengakhiri rasa lelahmu itu," sapa Frons bermaksud lain. "Kamu sungguh adik yang baik, Frons," jawab Saidon tetap tersenyum. "Sejujurnya aku sangat muak dengan sikapmu yang sok itu, padahal jika kita bertarung tentu saja aku yang menang," pekik Frons mulai memperlihatkan watak aslinya. "Benarkah? Lalu kenapa aku yang dipilih menjadi ketua? Padahal aku tidak pernah berusaha untuk mendapatkannya bahkan aku tidak minat sama sekali posisi itu," balas Saidon santai. Saidon sengaja memancing emosi Frons, dia diam-diam menyalakan rekaman yang berbentuk jam tangan. "Itu karena kamu mengandalkan nama kakekmu!" bentak Frons. "Nah, seharusnya kamu sadar jika sejak awal posisi itu memang milikku. Karena kamu sama sekali tidak ada hubungan darah dengan pendiri kelompok mafia!" balas Saidon dengan nada tajam. "Aku tidak peduli! Selama aku ingin maka tidak akan pernah aku lepaskan dan harus aku dapatkan!" balas Frons. "Sungguh lucu, kamu menginginkan sesuatu yang bukan milikmu. Memang yang namanya pohon tidak akan jatuh jauh dari buahnya," sindir Frons. "Tarik kembali ucapanmu itu! Jangan pernah sekali-kali kamu menghina ibuku! Jika tidak aku akan memotong tubuhmu, setelah di masak akan aku hidangkan ke ibumu. Ha… ha… Aku tidak sabar menunggu bagaimana reaksi ibumu saat tahu jika yang dimakan adalah daging putranya sendiri," teriak Frons tertawa puas. Saidon cukup ngeri juga membayangkan hal itu, pasti ibunya akan sakit dan menderita seumur hidup sebab tekanan batin jika apa yang barusan di katakan oleh Frons terjadi. "Jalan satu-satunya untuk berkemungkinan bertahan hidup adalah aku terjun ke jurang, karena jika aku di tangkap mereka pasti tidak akan pernah membiarkan aku lepas dengan utuh," batin Saidon. Saidon membuka ranselnya, dia mencari senter dan menyinari ke arah jurang. "Sudah tidak ada jalan lain lagi! Tapi aku bisa membunuh kamu dengan cara lebih lembut jika kamu mau sujud padaku!" ancam Frons. "Jangan harap, Frons! Aku tidak takut mati, hanya saja aku tidak ingin mati di tangan kamu! Jika aku ada kesempatan hidup maka aku akan membalas perbuatan kamu!" ucap Saidon berusaha mengendalikan kecemasannya. "Apa kamu berani masuk ke jurang itu? Andaikan nyawamu masih hidup juga tidak akan bertahan lama. Di sana pasti banyak hewan berbisa," balas Frons tertawa nyaring. "Apa kamu mau menemaniku? Aku ingin lihat seberapa besar keberanianmu?" tantang Saidon. "Aku bukan orang bodoh! Karena aku masih ingin hidup dan menjadi ketua mafia kemudian menaklukkan semua wilayah," jawab Frons tertawa puas. "Apa kamu yakin jika aku tiba-tiba hilang mereka tidak akan curiga padamu?" tanya Frons. "Tidak! Karena tadi ada kabar jika kakakku tersayang kabur karena tidak mau posisi ketua mafia. Terus ayah yang meminta aku untuk mencarimu," balas Frons tertawa keras. "Cuih, kamu sungguh tidak tahu malu! " umpat Saidon. "Kenapa? Apa karena otak cerdasmu itu tidak berfungsi padaku?" ejek Frons. "Aku sebenarnya dari awal sudah menduga hal ini, hanya saja aku tidak mengira kamu sampai menghabiskan uang banyak untuk menyewa pembunuh bayaran. Aku kira kamu akan berani bertarung denganku secara langsung untuk memperebutkan posisi itu," sindir Saidon. "Aku tidak peduli dengan caranya , yang aku lihat adalah hasilnya!" Balas Frons bangga. "Ayah pasti kecewa jika kamu seperti ini," ucap Saidon. "Hey, cepat kalian bawa dia! Potong dan masak yang enak!" teriak Frons marah. Saidon langsung nekat terjun ke jurang, dia tidak bisa melihat apapun selain kegelapan. Yang membuat dia aneh karena sudah lama dia dalam keadaan melayang akan tetapi tubuhnya tidak sampai dasar juga. Sampai kemudian ada cahaya yang menyelimuti tubuhnya. Cahaya itu begitu terang sampai sangat menyilaukan matanya. Saidon terpejam dan merasa pusing. Sekujur tubuhnya begitu panas seperti hujan meteor yang terjun ke bumi . Saidon juga merasa tulangnya patah ketika mendapat tekanan udara yang sangat kuat. Dan diapun pingsan, mengira inilah akhir dari cerita hidupnya. Dan yang paling membuat dirinya sakit adalah ketika mengingat ibunya. "Ibu, maafkan aku…"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD