2. Elshava Gadiza

1185 Words
Seorang gadis bertopi army berbalut jaket hitam, berjalan cepat memasuki g**g sempit yang lembab dan gelap. Ia berhenti ketika ujung g**g itu berakhir pada sebuah bangunan minim pencahayaan, sehingga tampak suram dan menakutkan. Di bangunan itu hanya ada pintu utama yang terkunci, dan sebuah jendela kecil berupa kaca persegi yang dipenuhi jejak telapak tangan berdarah. "Ini aku," ucap gadis itu mendekatkan wajah di depan pintu. "Apa kalian di dalam?" Ia menunggu beberapa saat untuk mendapatkan jawaban, tetapi nihil. Ia lalu berjinjit, mengintip dari jendela, berusaha mencari celah kaca yang masih bersih tanpa darah melekat, agar bisa mengintip. Ia menangkap sosok tiga anak kecil sedang tertidur, atau lebih buruk dari itu? Entahlah. Ia tidak ingin berpikir terlalu jauh. Gadis itu lalu merendahkan badan untuk melihat knop pintu. Ia harus tahu mekanisme seperti apa pengunciannya, agar bisa memilih untuk menggunakan teknik yang mana agar bisa membobol pintu tersebut. Knop pintu yang mulai berkarat itu, berbentuk bulat dengan lubang kunci di tengahnya. Instingnya memberitahu, jika mekanisme pengunciannya adalah latchbolt—jenis baut yang memuat pegas dan memiliki satu ujung miring. Baiklah, ia bisa membuka ini dengan kawat. Ia merogoh kawat di saku jaket, lalu menekuk ujung kawat agar berbentuk pengait, dengan pegangan panjang di sisi lain. Kemudian, ia memasukkan ujung pengait ke celah antara kusen dan tepi pintu. Satu tangannya yang lain memegang gagang pintu, ia memutarnya bersamaan dengan menarik kawat tersebut. Baut tertarik, membuat pintu terbuka. Ia langsung saja masuk, menemukan tiga orang anak kecil berusia sepuluh tahun—dua anak perempuan dan satu laki-laki—dengan kaki-tangan dirantai. "Kak Zaza," panggil seorang anak perempuan berambut panjang dengan sudut bibir yang robek. Rambut panjangnya kusut sekali, sama dengan pakaian daster selutut yang ia kenakan—kusut dan robek. Gadis yang dipanggil Zaza itu langsung terduduk di hadapannya. Ia membuka jaket, mengeluarkan semua makanan dan minuman yang sedari tadi bersembunyi di dalam jaket. Lalu, memakaikan pelan-pelan jaketnya ke tubuh kurus anak kecil itu. "Lala baik-baik aja kok, Kak," ucapnya serak ketika melihat wajah khawatir Zaza. "Ali yang lemah, Kak. Sampai pingsan." Gadis kecil itu tertawa. Zaza beralih menatap sepasang anak kecil yang tidur di lantai dengan bantalan tangan sendiri. Ia memegang dagu bocah laki-laki, dan melihatnya lekat. Sekujur tubuhnya bermandikan darah, bahkan, darah segar masih mengalir dari pelipis. "Lulu tidur?" tanya Zaza kepada Lala yang sedang memakan roti dengan rakus. Ia tidak memedulikan sudut bibirnya yang sobek. Sesekali ia tetap meringis sambil tetap makan dengan lahap. Lala mengangguk. Ia beralih membuka tutup botol air mineral, lalu meminum airnya sampai habis. "Jangan dibangunin, Kak. Biar mati aja sekalian. Udah tiga hari kami gak dikasih makan." Zaza yang hendak membangunkan Lulu, menghentikan gerakan tangannya yang sudah terulur untuk menggoyang-goyangkan bahu gadis kecil itu. Ia beralih menatap Lala tajam, lalu duduk di depan gadis itu sambil menuntut penjelasan. "Dia itu kembaran kamu." "Justru itu, Kak. Lebih baik dia mati daripada terus hidup menderita," ungkap Lala enteng sambil tertawa. "Lagian Kak Zaza lihat, aku digebukin begini demi dia. Supaya dia gak luka sedikit pun. Nasib jadi kakak," keluhnya seperti orang dewasa. "Oya, kok Kak Zaza tahu kami di sini? Makasi, Kak, udah ngasih makan." Zaza terdiam. Sorot matanya berubah menakutkan. Ia tersenyum tipis sekali.  "Kamu ... tidak mau mati juga?" Lala yang hendak menyuap, menghentikan pergerakan. Ia terdiam sebentar sebelum akhirnya tertawa. "Aku takut mati, Kak, kalau Lulu masih hidup. Aku gak mau ninggalin dia sendirian. Jadi, lebih baik dia mati duluan." Lala terus tertawa, lama-lama tawanya berubah lirih. Ia langsung menangis pilu. "Kalau aku gak ngajak Ali dan Lulu untuk lapor polisi, mungkin kami gak berakhir di sini sekarang." Ia terus menangis, bahkan meraung-raung. Anehnya, kembarannya Lulu tak terusik sedikit pun dari tidurnya. Apa anak itu benar-benar hanya sedang tidur? Zaza memeluk Lala, walau Lala kehabisan daya untuk membalas pelukannya. "Lala gak mau kalau kami masih dikendalikan mereka, Kak. Lala mau bebas. Kakak juga harus bebas, ya?" tanyanya di sela-sela tangisan. Diam-diam, Zaza mengambil sesuatu dari saku celana, sebuah pisau belati lipat berwarna hitam legam. Ia menekan tombol di gagangnya, membuat matanya menangkap mata pisau yang mengilap. "Lala ingin bebas, 'kan?" tanyanya. Tiba-tiba, Lala memeluk Zaza erat, sangat erat, dengan segenap tenaganya yang masih tersisa, membuat Zaza kaget. Gadis kecil itu juga tertawa cekikikan. Ia pun berbisik di telinga Zaza, "Kakak ke sini disuruh untuk membunuh kami, 'kan?" Mata Zaza melotot. Ia kaget. Lala semakin tertawa. "Hanya aku yang tersisa, Kak. Ali dan Lulu sudah mati sejak kemarin." Ia lalu berubah menangis sejadi-jadinya. Zaza mendengar suara hantaman keras dari benda yang beradu, seiring dengan rasa sakit yang menjalar di kepala dan punggungnya. Seketika dunianya gelap, ia pingsan. ***** Zaza membuka mata perlahan. Ia mendengar suara wanita dan pria yang sangat dikenalnya. Untuk beberapa saat, ia terdiam memandang langit-langit. Rasa sakit tadi telah berkurang, bagaimanapun badannya sudah terbiasa mendapat perlakuan seperti ini. Jadi, ia tak butuh waktu lama untuk pulih. Ia duduk, sambil menatap sekitar. Sebuah ruangan yang mewah. Sofa-sofa dan meja besar, televisi lebar, lampu kristal menggantung di atas, ia sudah hafal tempat ini. Dia sekarang pasti sedang berada di ruangan abangnya, di dalam bar. "Lihat, gadis bodoh itu. Untung saja aku mengawasinya," keluh seorang wanita berpakaian serba hitam sambil membuka topi yang dikenakan. "Aku sudah menduga, dia memiliki rasa kasihan pada bocah jalanan." "Wajar saja. Dulu, aku memungutnya dari jalanan," ungkap seorang pria tinggi dengan penampilan mewah. Jas abu-abu yang ia kenakan sangat rapi, dan terlihat mahal. Ia lalu beralih menatap Zaza serius. "Gadiza, mulai besok kamu pindah sekolah, ada tugas baru untukmu." "Pindah sekolah?" tanyanya sedikit kaget. Ia lalu berusaha mengontrol ekspresi. "Maksudku ... kami akan UTS." Wanita berpakaian serba hitam itu lalu tersenyum sinis. Ia duduk di atas meja, tepat di hadapan Zaza. Ia memandang Zaza tajam. "Sejak kapan kamu peduli dengan sekolah? Tugasmu hanyalah melakukan pekerjaan yang kami berikan." "Tetapi bagaimana mungkin aku tiba-tiba pindah? Keadaan sekolah masih kacau. Ada dua siswa yang baru tewas di sana." Wanita itu memandang Zaza curiga. "Apa kamu benar-benar menyukai anak laki-laki itu?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat. "Mengapa sulit sekali meninggalkan sekolah itu?" Zaza cepat mengelak. "Kalau aku benar-benar menyukainya, tidak mungkin aku menyerahkannya pada kalian." Ia lalu balas menatap wanita itu tajam. "Lagian dia sudah mati." Pria yang sedari tadi hanya tersenyum sinis sambil memandang mereka, berucap tegas, "Di sekolah baru, kamu perlu mengawasi seorang anak laki-laki, dan kamu akan satu jurusan dengannya." "Baik, Bang," ungkapnya patuh. Wanita tadi dengan cepat memegang kuat dagu Zaza dengan kasar. "Kamu bisa bersikap dan berkata baik kepada Garda, tapi denganku, kamu selalu berwajah seperti ini!" serunya kesal menatap wajah Zaza yang berkerut dan melemparkan tatapan tajam. "Kamu tinggal denganku, dan aku selalu menjadi walimu!" "Reisya, tahan emosimu," cegah Garda. "Besok pagi kalian berdua sudah harus mulai bekerja sama." Reisya mendecih sebelum akhirnya melepaskan tangannya. "Awasi laki-laki itu! Kita akan mendapatkan lebih banyak uang dari sebelumnya." Zaza terdiam sebentar, keningnya berkerut. "Hanya mengawasi?" Sebelum Reisya menyembur, Garda lebih dahulu menjawab dengan tenang. "Sampai datang perintah berikutnya. "Garda mengetuk-ngetukkan jari di lengan sofa. Ia tersenyum misterius. "Anak laki-laki itu sangat berharga, dan bagusnya, ia memiliki orangtua yang bodoh." "Jangan melakukan kesalahan!" ancam Reisya. "Memangnya aku pernah, melakukan kesalahan?" **** Terima kasih telah membaca. :))
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD