3. s**l (?)

1028 Words
Seorang siswi berjalan santai melewati koridor yang sepi. Pantas saja, karena jam pelajaran telah dimulai dari sepuluh menit yang lalu. Ia berjalan menuju kelas XI IPA II, kelas yang terletak paling sudut sekolah. Di sebelahnya, tampak seorang guru yang mendampingi. Tak lupa guru itu selalu memberi aba-aba di setiap jalan. "Nah, di sini kelasnya," katanya. "Ibu berbicara dengan guru yang sedang mengajar dulu." Ia hanya tersenyum menanggapi guru tersebut. Menunggunya berbicara dengan guru mata pelajaran yang sedang mengajar di dalam kelas, sambil mengatur gelang karet abu-abu dan kacamata bulat berbingkai hitam yang dikenakan. "Ayo, kita masuk," ajak guru tersebut. Siswi itu mengikuti langkahnya yang memasuki kelas, dan berhenti di depan, tepat di tengah-tengah. Otomatis semua perhatian tertuju kepadanya. "Anak-anak, ibu ke sini untuk mengantarkan keluarga baru di kelas kita. Selanjutnya, ibu serahkan kepada Bu Eka yang sedang mengajar." Bu Eka segera mengambil alih, dan mempersilakan siswi tersebut. "Namaku Elshava Gadiza, panggil saja Zaza." Ia tersenyum. "Hai, Zaza," sapa semua siswa serentak. Zaza tersenyum kecil. Teman-teman barunya di kelas ini terlihat ramah. "Zaza duduk di kursi paling belakang, ya. Hanya itu yang kosong. Tidak apa-apa, 'kan?" "Tidak masalah, Bu." Zaza tersenyum ke arah Bu Eka, lalu berjalan menuju kursinya. Di sebelah kursi kosong itu tampak seorang siswi yang sudah tersenyum cerah ke arahnya. "Hai, Zaza! Gue Thrana. Panggil aja Ana." Ia mengulurkan tangan dengan semangat. Zaza tersenyum, sambil membalas uluran tangannya.  "Terima kasih sudah ramah." Ana tertawa pelan, kedua matanya menyipit. "Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan-sungkan." Ia menunjuk diri sendiri. "Gue wakil ketua kelas ...," ia beralih menunjuk ke sebelah Zaza. "Nah, ketua kelasnya yang itu, Prabu Jaya Negara, sedari tadi lihatin lu melulu." Zaza beralih menoleh ke samping. Benar saja, ada seorang siswa yang sedang menatapnya. Ia langsung melemparkan sorot tajam. Prabu yang mulai tersadar dengan keadaan, tersenyum malu. Ia terpergok sedang menatap gadis itu. "Eh, lu inget gue? Kita pernah ketemu—" "Gak," jawab Zaza cuek. Prabu tertawa kecil. Ia yakin sekali kalau gadis ini adalah gadis yang sama dengan yang ditemuinya di trotoar waktu itu. "Gue inget banget, kok. Dari mata lu." Ia menunjuk matanya. "Gue pasti gak salah orang. Walau sekarang lu pakai kacama—" "Jangan sok akrab," ungkap Zaza sambil tersenyum kecil dengan paksa. Ana yang sedari tadi memantau percakapan mereka, tampak bingung. Ia tahu Prabu tipe orang yang memiliki ingatan sangat baik, tetapi teman sebangkunya justru terlihat tak acuh. "Jadi sebelumnya kalian saling kenal atau enggak?" "Ana! Prabu!" bentak Bu Eka. "Sedari tadi malah mengobrol! Jangan mentang-mentang kalian perangkat kelas dan juara kelas jadi bisa seenaknya!" "Harusnya kalian bisa menjadi contoh," bisik Ana pelan sekali, yang hanya bisa di dengar oleh teman sebangkunya—Zaza. Sementara itu, Zaza melirik Ana yang tampak menunduk. Ia langsung takjub ketika mendengar kalimat yang dilontarkan Ana tersebut, juga diucapkan oleh Bu Eka. "Yes, tepat," bisik Ana lagi. Zaza tersenyum tipis sekali. Ia beralih melirik Prabu, yang juga menunduk. Ada apa dengan mereka? "Sekarang Prabu, Zaza, Ana, berdiri di luar sampai jam istirahat!" perintah Bu Eka mutlak. Prabu terkejut, dan langsung berkata, "Zaza gak salah, Bu." "Iya, Bu. Ana dan Prabu yang mengajak Zaza untuk mengobrol duluan," tambah Ana menolong. Zaza memandang datar Ana dan Prabu secara bergantian. Ia kemudian berdiri. "Tidak apa-apa, Bu, saya ikut keluar saja." Ia tersenyum, lalu bergegas keluar dari kelas. Ana dan Prabu menganga. Mereka pun segera menyusul langkah Zaza. Saat ini, Zaza, Ana, dan Prabu, berjejer rapi di dekat pintu. Mereka hanya berdiri tegak, dengan ekspresi beragam. Zaza dengan wajah cuek, Ana dengan ekspresi kesal, dan Prabu yang tersenyum kecil sambil sesekali melirik Zaza. "Gini, ya, Prabu, gue paling gak suka kalau guru marah udah pakai kata 'mentang-mentang'. Kesannya jadi kita yang angkuh! Padahal—" "Sssttt ...." Prabu meletakkan telunjuknya di jidat Ana. "Lu kebiasaan kalau emosi gak kira-kira. Suara lu bisa kedengeran sampai ke dalam," bisiknya. Ana pun tersenyum lebar. Ia lalu beralih menatap Zaza. "Za, maaf banget, hari pertama masuk sekolah lu jadi s**l gara-gara kami." Zaza menggeleng santai. "Coba dibalik." Ia menarik sebelah sudut bibir. "Hari kalian yang jadi s**l, semenjak gue datang." Ana dan Prabu terdiam, sambil berpikir. "Za, udah jelas gue sama Prabu kok, yang salah. Maaf, ya." "Santai ajalah. Kayaknya kalian baru pertama kali dihukum?" tebak Zaza, yang hanya direspons anggukan polos oleh Ana dan Prabu. Zaza tertawa kecil melihat kedua teman kelasnya itu, yang sedang menatapnya bingung. "Eh, Ibrahim," ungkap Ana tiba-tiba. Ia menoleh ke arah Prabu, tampak pria itu juga sedang menatap langkah Ibrahim yang mendekat.  "Kayaknya dia bersemangat mau ngeledek lu, nih. Lihat aja senyum sinisnya." Zaza mengernyit. Ia kemudian menoleh ke arah pandang Prabu. Tiba-tiba, langkah Ibrahim terhenti. Ekspresinya berubah menunjukkan keterkejutan. Kedua mulutnya menganga, dengan wajah ketakutan yang kentara. "Kok si Ibrahim kayak lagi lihat setan?" tanya Ana heran. Ia menoleh ke kanan, lalu ke kiri, memastikan apa yang membuat pria itu sangat ketakutan. "Gue gak lihat, tuh." Ibrahim pun kelabakan. Niatnya urung untuk mengganggu Prabu. Ia segera pergi menjauh. "Heran gue lihat dia," komentar Ana yang disetujui oleh Prabu. Mereka berdua tampak berpikir keras. "Gue ke toilet dulu, ya," ungkap Zaza sambil tersenyum. Ana dan Prabu masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka hanya mengangguk menjawab ucapan Zaza. Prabu melihat langkah Zaza yang menjauh. Ia kemudian teringat sesuatu. "Eh, ngomong-ngomong Zaza udah tahu letak toilet?" Sementara itu, Zaza terus berjalan, ia mengikuti tujuannya, sambil menyeringai. ***** Napas Ibrahim seketika tersengal-sengal. Peluh bercucuran di dahi, seiring dengan telapak tangannya yang mendingin. Ia merutuki diri sendiri ketika kedua kakinya malah membawanya ke dalam toilet. Ia semakin khawatir jika nantinya ternyata orang itu menunggunya di pintu depan. Di balik pintu toilet, ia berusaha mengatur napas. Menarik udara sebanyak-banyaknya, lalu mengembuskan perlahan. Sekitar lima menit Ibrahim menghabiskan waktu untuk menenangkan diri. Ia pun sudah merasa lebih baik. Suasana sekitar sangat hening, sepertinya belum ada siswa yang izin ke toilet di jam pelajaran. Ia tak mendengar apa pun. Mungkin saja hanya ia yang terlalu parno. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Ia lalu membuka pintu toilet. Seketika matanya melotot. Di hadapannya, berdiri seorang gadis yang mungkin terlihat biasa bagi orang lain. Namun, tidak untuknya. "Za ... Za." Ibrahim mematung. Gadis di depannya menyeringai, menakutkan. "Apa kabar?" ***** Terima kasih telah membaca. :))
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD