Bandara Kingsford Smith, Australia
Nampak 3 orang berada di jalur keberangkatan bandara.
Arta, Avio, dan Erlang melambaikan tangannya kearah pemuda yang hampir menghilang di jalur keberangkatan
Raina nampak bahagia. Dia merasa ini semua hanyalah mimpinya. Sedari tadi senyum di bibir nya tak luntur karena dapat merasakan kebebasan dengan Kakaknya, Erl.
"Kakak ..." cicit Raina dengan menarik ujung kaos yang Lia kenakan.
Lia yang mengobrol dengan Ramond pun menoleh, "Apa, Dek?"
"Raina seneng," ucap Raina jujur dengan memeluk Lia dari samping.
Lia membalas pelukan Adiknya dan tersenyum dalam pelukan tersebut
Akhirnya Kakak bisa lihat kamu senyum lagi, Raina
***
John F Kennedy, Amerika
Setelah perjalanan kurang lebih 16 jam akhirnya mereka bertiga sampai di Bandara Internasional John F. Kennedy Amerika.
Raina yang memang baru pertama kali menginjak Amerika pun tak hentinya tersenyum
"Raina seneng?" tanya Lia saat melihat Adiknya terus senyum sedari tadi.
Raina mengangguk cepat. "Seneng banget, Kak. Makasih."
"Ayo ke mobil." ajak Lia dengan satu tangan menarik koper dan satunya menggandeng tangan Raina.
Raina mengikuti Lia memasuki mobil diikuti Ramond di belakang nya.
Sekitar satu jam mereka telah memasuki kawasan perumahan elite Beverly Hills. Sekitar 300m dari gerbang mereka sudah memasuki area Mansion milik Lia.
Setelah mobil berhenti, Raina langsung turun dan mengambil kopernya.
Raina berjalan mengikuti Lia memasuki Mansion
"Selamat datang Nona Erl." Para maid dan bodyguard menunduk sopan saat Lia, Ramond, dan Raina melewati gerbang utama.
Lia menanggapi dengan anggukan kecil
"Rain, kamar kamu di lantai 2 sebelah kamar Kakak ya," jelas Lia saat berada di lift.
"Iya, Kak."
Ting
Setelah lift terbuka, Lia berjalan bersama adiknya menuju kamar yang sudah di siapkan
"Ini kamar kamu, kalau perlu sesuatu langsung lewat Connecting Door di dalam ya," jelas Lia dan diangguki Raina.
Setelah selesai menjelaskan, Lia menuju kamar di sebelah kamar milik Adiknya
"Apa ini mimpi?" gumam Raina dengan mencubit pipinya.
"Awwwssshhhh ..."
Raina meringis saat cubitan tersebut terasa sakit
"Ternyata bukan mimpi."
***
"Jadi, Ayah sudah mendaftarkan Raina ke sekolah yang sama dengan Edgar?" tanya Erlang selaku anak tertua.
Arta menyesap teh hangatnya dan mengangguk, "Ya nak, itu saran dari dokter."
"Sekolah masih satu bulan lagi, mengapa Ayah terburu mendaftarkannya?" timpal Rafel bingung. Pasalnya mereka terbiasa mendaftarkan anaknya sekolah dengan jarak mendekati jadwal masuk sekolah.
Avio datang membawa nampan berisi 2 toples cookies dan satu piring Brownies
"Nggak papa, takutnya papa repot nggak sempat pilih kelas terbaik untuk Raina," jawab Arta seadanya.
Erlang dan Rafel pun mengangguk setuju dengan ucapan Arta.
"AKU PULANG!!"
Suara teriakan Edgar terdengar hingga ruang keluarga membuat Arta mendengus.
Edgar langsung menyalami kedua orang tuanya dan menuju kamar untuk membersihkan diri.
Sekitar 10 menit Edgar selesai dengan rutinitas nya dan menghampiri keluarganya dan bergabung memakan kue buatan sang bunda
"Yah, Adik kapan pulang?" tanya Edgar setelah menelan Brownies nya.
Arta mengedikkan bahu. "Tanya Kakak kamu Lia. Dia yang culik Raina untuk liburan."
"Tumben Ayah bebasin Raina keluar?" tanya Edgar seraya memicingkan matanya curiga.
Arta yang merasa terintimidasi pun melotot. "Apa?"
Edgar berdehem kikuk
"Ayah nggak ada maksud tersembunyi kan ijinin Raina ke Amerika? Ayah nggak berniat buang Raina kan?"
Pletak
"Awh Kak ...." ringis Edgar saat merasakan jitakan di kepalanya.
"Lo kalau ngomong nggak dicerna dulu. Raina anak Ayah, mana mungkin Ayah buang anaknya!" Rafel menghujat Adiknya yang bodoh itu karena menuduh Ayahnya yang membuang Raina.
Sementara itu Arta mendengus jengkel dengan anak keempatnya tersebut. Memiliki anak dengan kadar t***l tingkat akut membuat Arta sedikit lebih bersabar.
"Kamu mau Ayah buang?" tanya Arta dengan datar.
Edgar menggeleng cepat, "Nggak, Yah."
Avio yang sedari tadi fokus mengerjakan laporan bulanan butiknya pun tertawa karena perdebatan suami serta anaknya
"Kamu tadi ngapain ke sekolah, Ed?" tanya Avio masih dengan tertawa.
"Biasa Bun rapat anggota baru OSIS. Yang angkatan tua mau lengser," jawab Edgar dengan menatap Avio.
"Kamu mau ambil jabatan apa di OSIS?" tanya Erlang setelah menutup laptopnya.
"Aku ambil yang nggak terlalu padat jadwalnya, Bang. Kayak seksi olahraga atau kesiswaan misal," jawab Edgar dengan mengetukkan jarinya di dagu.
"Nggak pengen jadi ketua atau wakil?" timpal Arta.
Edgar menggeleng tegas. "Kalau aku ambil jabatan itu, waktuku buat Princess bakalan sedikit."
Arta mengangguk paham. Memang Edgar yang tidak pernah bertemu Adiknya sejak ia mengantar ke RS saat masih di Indonesia. Terhitung hampir satu tahun. Karena jadwal sekolahnya yang padat sehingga ia tak dapat cuti untuk menjenguk Adiknya.
"Baiklah apapun keputusan kamu, Ayah akan tetap bangga denganmu boy," ujar Arta dengan menepuk bahu Edgar. "Oh ya, Ayah baru ingat sesuatu."
"Apa, Yah?" tanya Edgar.
"Kapan kamu ke sekolah lagi?" tanya Arta dengan menatap putranya.
Edgar mengernyit bingung, "Besok kayaknya, kenapa memang?"
"Belikan baju sekolah perempuan dari hari Senin sampai Jumat," perintah Arta tegas.
"Untuk apa Ayah pesan baju sekolah perempuan? Ayah dagang?" tanya Edgar dengan wajah polosnya.
Arta menggeram kesal. "Untuk Adikmu Raina."
Edgar diam
Hening
Hening
"APAAAAAA ...???"
"Berisik!" ketus Erlang karena telinganya berdengung akibat teriakan bocah laknat yang berstatus sebagai adiknya tersebut.
Edgar cengengesan. "Pissss Bang."
"Ini Adik beneran sekolah ditempatku, Yah?" Edgar kembali memastikan pendengarannya.
"Ya," jawab Arta malas.
Setelah mendapatkan jawaban itu, Edgar langsung ngacir ke kamarnya meninggalkan kedua orangtua serta abangnya yang menggeram kesal
***
Bandara Soekarno Hatta, Indonesia
Senyuman yang indah tak hentinya terbit dari bibir merah cherry seorang gadis yang 2 bulan lagi berusia 16 tahun tersebut.
Setelah berada di Negeri Paman Sam selama 3 minggu, hari ini Raina dan Lia kembali pulang ke Indonesia. Minus Ramond karena sedang ada urusan bisnis yang mengharuskannya terbang ke Kanada.
Kedua gadis tersebut berjalan menuju pintu keluar bandara. Lia menelisik segala penjuru mencari jemputan yang akan membawa mereka bertemu kedua orang tuanya.
"Atas nama Erliana Har?" tanya seorang pria setengah baya dengan membaca ponselnya.
"Ya, Pak."
"Mari nona," ucap pria tersebut sopan.
Lia menggandeng Adiknya menuju mobil pesanannya.
"Kenapa nggak suruh jemput Ayah atau Bunda aja, Kak?" tanya Raina bingung. Pasalnya dirumah mereka, jumlah sopirnya tak dapat terhitung karena terlampau banyak.
Lia menggeleng, "Biar surprise Dek."
Raina mengangguk paham.
Selama perjalanan mereka berdua dalam keadaan hening karena Lia tertidur. Sepertinya, Kakaknya itu terlalu lelah mengekspor negara tetangga sehingga sekarang tumbang.
Selang 30 menit mobil yang mereka tumpangi telah memasuki pekarangan Mansion nya.
"Kak, bangun." Raina mengguncangkan lengan Kakaknya agar terbangun dari tidurnya.
Terlihat Lia menggeliat dan mengerjapkan matanya. "Eh ... Hehe Kakak ketiduran, ya?"
Raina menanggapi dengan tersenyum kecil
"Pak ini uangnya." Lia menyerahkan selembar uang berwarna merah kepada sopir tersebut.
Setelah itu mereka berdua turun dan berjalan menuju pintu utama
"SEL-"
"Ssssttt .... Jangan berisik, ini surprise." Lia menempelkan jari telunjuknya di bibir, mengingatkan para pekerja agar tidak berteriak mengucapkan selamat datang. Para pekerja tersebut menunduk hormat dan membiarkan anak majikannya masuk kedalam rumah
TING TONG
"Sebentar!!" Suara teriakan orang dari dalam rumah membuat kedua gadis tersebut menunggu dengan tenang di depan pintu.
Cklek!
Seorang pemuda terlihat menegang saat membuka pintu utama. Lidahnya keluh dan air matanya menetes tanpa disuruh. Raina yang berhadapan pun ikut membeku saat melihat orang yang hampir satu tahun ini tak di temui nya.
"R-Rain."
Pemuda tersebut langsung menerjang Raina dengan pelukan hangat yang sangat erat. Ia sangat merindukan gadis tersebut. Hampir setahun ia tak bertemu dengan setengah jiwanya, membuat pemuda tersebut selalu uring-uringan.
Raina membalas pelukan tersebut tak kalah erat. Mau semarah apapun dengan, Edgar ia tak dapat membenci pemuda tersebut. Raina menangis dalam dekapan Kakaknya.
"ED SIA-"
Avio membekap mulutnya saat mengetahui siapa yang datang. Seseorang yang selalu mereka nantikan kehadirannya.
"Raina kenapa nggak telfon Kakak? Kan bisa Kakak jemput," cecar Edgar disela pelukannya.
Lia sudah masuk terlebih dahulu karena badannya terasa pegal terlalu lama duduk di pesawat.
Raina menggeleng. "Kata Kak Lia biar surprise."
Edgar tersenyum lebar hingga matanya menyipit.
CUP!
Sebuah kecupan yang sangat dalam mendarat di kening Raina. Edgar lah yang mengecup kening Adiknya.
Setelah itu, ia menggendong Adiknya masuk karena terlalu lama berada di pintu Mansion. Edgar menggendong koala seraya memeluk erat Raina. Ia tak ingin Adiknya pergi lagi. Sudah cukup satu tahun ia habiskan dengan menunggu tanpa kepastian.
Setelah sampai di ruang keluarga dengan masih menggendong Raina, Edgar mendudukkan dirinya di sofa panjang dan memangku Adiknya. Raina pun menyandarkan kepalanya di d**a bidang Edgar hingga merasakan sebuah elusan di kepalanya.
Bukan Edgar yang mengelus kepalanya, melainkan Kakaknya Rafel yang baru saja bangun tidur.
"Halo Adik kecil, manja banget sama dia? Kenapa gak sama Kakak aja sih." Rafel menggerutu karena Princess nya lebih memilih bermanja ria dengan pembuat onar.
Raina yang mendengar suara abangnya pun mendongak, "Kakak Raf." ucapnya dengan menatap Rafel.
Rafel mengangkat tubuh mungil Adiknya untuk ia gendong. Sedangkan Edgar sudah mendengus jengkel karena waktunya dengan sang adik terganggu.
"Kamu capek ya? Kakak temenin tidur mau?" tanya Rafel dengan posisi Raina dalam gendongannya dan mengecupi wajah Adik manisnya tersebut.
Raina menggeleng dengan mengucek matanya. "Jangan dikucek matanya sayang, nanti infeksi." Rafel menggenggam tangan Adiknya saat Raina terus mengucek mata bulatnya.
"Dek, nanti tidur sama Kakak ya? Nanti Kakak ajarin dandan ala anak SMA yang simple." Lia yang sudah berganti baju langsung bergabung di ruang keluarga.
Raina mengangguk bahagia. "Oke, Kak."
Avio yang sedari tadi mengintip dari dapur tersenyum lebar
Ternyata bahagia kamu sederhana nak
***