Beverly Hills, Amerika
Seorang gadis cantik berusia 19 tahun tengah menatap kearah langit malam dengan sesekali melirik kearah laptopnya. Sedari tadi gadis tersebut sudah menarik napas dan menghembuskannya lebih dari 15x dalam satu menit. Bayangkan betapa rakusnya gadis tersebut ketika keadaan kacau.
Tok! Tok!
"Masuk," sahut gadis tersebut dari balkon kamarnya.
Cklek!
Gadis tersebut masih terfokus pada layar yang menampilkan sebuah tayangan dimana salah satu orang yang dia sayangi tengah bersedih.
"Lia, kenapa masih di balkon jam segini?" panggil seorang pemuda tampan yang menjabat sebagai kekasihnya.
Gadis yang dipanggil Lia tersebut langsung mendongakkan kepalanya sedetik kemudian menggeleng lesu
"Ada apa? Cerita sama aku," bujuk pemuda tersebut.
Lia menghembuskan napasnya pelan. "Aku nggak paham sama mereka, kasian Adekku."
Pemuda tersebut menyetel ulang tayangan di laptop gadisnya dan memperhatikan dengan seksama. Di menit ke 6 video tersebut di pause dan sekarang ia mengerti alasan gadisnya selalu uring-uringan sehabis melihat laptopnya. Ternyata itu penyebabnya.
Pemuda tersebut membawa sang gadis kedalam pelukannya guna menenangkan. "Kita samperin oke, semua akan baik-baik aja."
***
Tok! Tok
"Masuk." Sahutan dari dalam membuat seorang pemuda mengikuti perintahnya.
Tampak kedua orang tua serta kedua Adiknya sudah berada di ruang kerja Ayahnya.
"Jadi apa yang mau dibicarakan?" tanya Erlang to the point.
Arta melirik satu persatu anggota keluarganya, kemudian menarik napas perlahan. "Ayah sudah dapat guru terbaik untuk Adik kalian, Eline."
Rafel yang sedari tadi hanya diam pun ikut angkat bicara, "Lalu?"
"Ayah harap tidak ada satupun dari kalian yang membawa Adik kalian keluar rumah entah alasan apapun, atau kalian yang menerima akibatnya." Kalimat sarat ancaman dilayangkan begitu saja oleh Arta.
***
Edgar tengah disibukkan dengan laptopnya guna mengerjakan perhitungan keuangan Cafe miliknya yang dihadiahkan oleh Arta sebagai kado ulang tahunnya yang ke 15. Cafe yang baru berjalan 2 bulan tersebut sedang dalam keadaan laris.
"Sssshhhhh ..." Secara tiba-tiba Edgar meringis karena tangannya yang terasa perih padahal ia tidak sedang terluka.
"Gila, efek kecapekan bikin tangan gue nyeri gini," gerutu Edgar sambil menggosok pergelangan tangannya.
Setelah semua beres, Edgar meregangkan ototnya yang terasa kaku karena terlalu lama duduk. Teringat sesuatu, ia pun keluar dari kamarnya dan menuju kamar Adiknya dengan langkah bahagia.
Segera dibukanya kamar bernuansa girly elegan tersebut.
Kosong
Mendekatkan telinganya ke pintu kamar mandi dan hanya terdengar suara gemericik air dari shower, Edgar memutuskan menunggu sambil merebahkan dirinya di Queensize milik Adiknya hingga tanpa sadar tertidur.
Sekitar satu jam, Edgar mengerjapkan matanya karena tersadar apa tujuannya. Setelah sadar matanya melotot karena masih mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi.
"Eline!!" panggil Edgar sambil mengetok pintu kamar mandi.
Hening
"Dek!!" Panggilnya sekali lagi.
Masih tak ada sahutan
BRAK!
"AAAAAAAAAAA ....!!!!"
***
Dikediaman Harison, mereka nampak berkumpul di ruang keluarga guna bersantai sembari berbincang ringan. Terlihat duo Raf sedang WAR game online dari ponselnya.
"Bang, yaelah ngalah kek!" gerutu Rafel saat melihat Abangnya terus menyerang.
Erlang mendecih sinis, "Mana ada WAR ngalah!"
Arta dan Avio yang menyaksikan perdebatan kedua Anaknya hanya mampu menggelengkan kepala
"AAAAAAAAAAAA ....!"
Suara teriakan dari lantai atas mengejutkan keempat orang yang berada di ruang keluarga. Sontak mereka berlari ke sumber suara guna memastikan.
"Bun, kamar Adek," panik Rafel mengguncangkan lengan Avio.
Ketika Arta akan masuk, mereka kembali dikejutkan Edgar yang berlari menggendong Princess mereka yang wajahnya sudah pucat pasi.
"MINGGIR!" teriak Edgar karena khawatir dengan Eline di gendongannya.
Mereka menyusul memasuki mobilnya masing-masing dan mengikuti arah mobil yang berisi Edgar bersama Pak Wisnu.
Di mobil, Edgar yang tengah memangku Adiknya pun tak henti meneteskan air mata. Ia mencoba menutupi luka menganga di pergelangan nadi Adiknya
"Sayang, kenapa bisa gini?" lirih Edgar dengan menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Adiknya.
Pak Wisnu yang menyetir dengan kecepatan tinggi sesekali melihat dari kaca kondisi anak majikannya. Ia bekerja sudah 3 tahun terakhir dan baru 2x melihat anak majikannya tersebut. Entah karena apa yang pasti Wisnu berpikir ada sesuatu yang terjadi sehingga putri bungsu keluarga majikannya seperti disembunyikan.
Tak lama mobil sampai di area pekarangan Rumah Sakit. Edgar segera turun menggendong tubuh ringkih adiknya yang sudah pucat.
"TOLONGGGG ....!!" Teriakan itu membuat orang disekitar segera membantu membawa brankar kearah sumber suara.
Dengan perlahan Edgar meletakkan tubuh pucat Adiknya diatas brankar dan segera suster mendorong kearah UGD.
"Mohon maaf, Tuan bisa menunggu diluar agar kami dapat memberikan tindakan dengan maksimal." Seorang suster datang memberikan pengertian karena Edgar akan menerobos masuk kedalam ruangan.
"Tap-"
"Biarkan saja tim medis bekerja maksimal untuk Eline, nak. Kita tunggu saja disini," sambar seseorang memotong ucapan Edgar yang memaksa masuk.
Tak menghiraukan, Edgar menuju kearah Bundanya dan menangis. "Bun, Adek Bun." adunya sambil memeluk Avio yang juga menangis.
"Maaf kondisi pasien kritis karena kehilangan banyak darah dan kami memerlukan golongan darah AB Rhesus negatif karena stok di Rumah Sakit saat ini kosong," ucap seorang suster yang datang dengan raut panik.
"A-apa sus?" Suara Arta tercekat membuat ketiga anaknya mengernyit bingung kecuali Avio.
Edgar langsung mendekati suster tersebut, "Apa tidak ada kantong darah tersisa dirumah sakit ini sus?"
"Maaf Tuan, kami kehabisan persediaan karena golongan darah tersebut sangat langka dan hanya dari pihak keluarga yang biasanya memiliki golongan darah sama," jelas suster tersebut.
Arta mengusap wajahnya kasar dan segera menelfon anak buahnya.
"Sebentar sus, saya masih mencarikan golongan darah serupa," jelas Arta setelah sambungan telfonnya terputus.
"Kenapa nggak Ayah yang donor in darahnya buat Adek?" tanya Erlang dengan nada dingin.
Arta menggeleng, "Golongan darahnya nggak sama nak."
Erlang melirik satu persatu keluarganya dan kompak mereka menggeleng.
"Baik saya tunggu 3 jam kedepan, jika tidak ... maka pihak Rumah Sakit akan menetapkan kondisi pasienmengalami koma." jelas suster itu dan berpamitan untuk kembali mengecek keadaan Raina.
***
Disebuah Cafe elite, seorang pemuda yang berprofesi sebagai waitress tengah sibuk mengantarkan pesanan ke pelanggan dengan senyum menawannya.
"Roy, lo baca berita hari ini nggak? Sekitar 1 jam lalu," tanya seorang temannya dengan membawa nampan kosong.
Roy yang sedang menata meja sontak menoleh, "Berita apa memangnya?"
Temannya yang mengajak bicara pun menunjukkan sebuah berita dari media informasi
Dicari siapapun yang bersedia mendonorkan darah dengan tipe AB Rhesus Negatif segera menuju ke Laboratorium RS Sinai. Akan ada imbalan setimpal bagi siapapun pendonor nya. Atau bisa hubungi Admin dari keluarga Harison terlebih dahulu.
Roy yang membaca berita itu heran, mengapa tidak dari pihak keluarganya yang mendonor? Bukankah golongan darah seperti itu hanya dimiliki seseorang yang memiliki ikatan darah? Pikir Roy.
"Kasian banget pasti mereka butuh," ucap Roy dengan khawatir.
"Kenapa lo tumben peduli banget sama urusan orang?"
Roy mengedikkan bahu. "Mungkin atas dasar kemanusiaan."
"Maksudnya?" tanya temannya tak paham.
"Tolong ijinin gue hari ini, gue mau donor in darah buat orang itu" Setelah mengucapkan itu, Roy melesat pergi.
"Bocah aneh." dumel teman kerjanya dan memasuki ruang manajer untuk mengizinkan shift nya Roy.
***