BAB 10 - LUNA

1004 Words
LUNA POV. Karena rasa dingin yang semakin menusuk, gue memutuskan untuk menyelimuti seluruh tubuh gue dengan selimut. Kenapa gue sakit di saat yang nggak tepat gini sih? Gue nggak tahu sudah berapa lama bersembunyi di balik selimut, tapi lama- kelamaan gue tiba-tiba merasa sangat gerah. Gue melepaskan satu persatu pakaian yang ada lalu melemparnya ke lantai lalu kembali bersembunyi di balik selimut. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, gue yakin itu adalah Mas Byan yang hendak tidur. Mas Byan manggil nama gue, sebenarnya gue dengar tapi gue sengaja nggak menjawab karena gue nggak punya kekuatan untuk membuka suara. Karena nggak ada sahutan dari gue, Mas Byan pun membuka selimut yang menutupi seluruh tubuh gue. Dia langsung memegang dahi gue kemudian beranjak dari tempat tidur, entahlah dia kemana dan mau ngapain. Nggak lama setelah beranjak dia balik lagi lalu memeriksa suhu tubuh gue pakai termometer. Ternyata Mas Byan ngambil ini toh. "Panas kamu tinggi sekali," ucap Mas Byan panik. Badan gue lemas banget, akhirnya Mas Byan pun menggendong gue mungkin untuk dibawa ke rumah sakit. Tapi Mas! Gue kagak pakai baju ini! Woy lah Ferguso masa gue ke rumah sakit begini doang. Karena kondisi gue yang lemas, gue jadi nggak bisa kasih tahu Mas Byan kalau gue cuman dibalut selimut tanpa sehelai pun pakaian. Apa dia nggak lihat atau nggak sadar sih dengan keadaan gue sekarang? Mas Byan menggendong gue dari lantai tiga ke lantai satu, dan gue berusaha agar tetap terjaga dan jangan sampai pingsan. "Oma, Luna demam tinggi. Byan mau antar dia ke rumah sakit," ucap Mas Byan karena saat ini kita berpapasan dengan Oma. "Tunggu..tunggu sebentar. Kamu bawa Luna seperti ini. Kamu yakin?" ucap Oma. Syukur sekarang ketemu Oma, kalau aja enggak mungkin gue dibawa ke rumah sakit dalam keadaan bugil. "Astaga! Byan panik Oma jadi nggak sadar kalau Luna nggak pakai baju." Ck, kan bener apa kata gue pasti dia nggak sadar. "Ya sudah, kamu letakkan dulu Luna di sofa. Kemudian ambil bajunya di kamar," titah Oma. Oma mengusap puncak kepala gue, samar-samar gue lihat wajah Oma yang tersenyum. Apaan dah nih orangtua, gue lagi sakit juga malah senyum, mungkin Oma kagum kali ya sama kecantikan gue. Sakit-sakit gini juga gue masih cantik meskipun pucat pasi. Dah lah kalian jangan protes, kalau nggak diri gue sendiri yang bilang cantik terus siapa? "Luna, Oma yakin pasti Byan sudah jatuh cinta sama kamu. Buktinya sekarang dia panik saat kamu demam tinggi sampai nggak sadar kalau kamu cuman dibalut selimut," ujar Oma dengan sedikit kekehan. Tiba-tiba pandangan gue menjadi buram. Gawat! gue pasti mau pingsan. *** Samar-samar gue mendengar suara mas Byan yang lagi ngomong, entah dia ngomong apa karena gue dengernya kurang jelas. Yang pasti saat ini Mas Byan lagi memegang tangan gue. Saat gue benar-benar sadar gue panggil namanya, sebenarnya buat ngasih tahu dia kalau gue sudah sadar. Mas Byan menatap gue sambil tersenyum, ganteng juga ternyata. "Masih pusing?" tanya Mas Byan dan gue hanya menjawab dengan menggelengkan kepala. Gue memperhatikan tubuh gue yang lengkap dengan piyama. 'Syukurlah sekarang gue pakai baju,' batin gue. "Kamu tenang aja, Oma yang melakukannya," ucap Mas Byan. Aneh deh, gue nggak nanya kali! "Kamu istirahat lagi saja, biar cepat sembuh," ucap Mas Byan lagi. Hmm, nggak disuruh juga gue mau istirahat ini, gue ngantuk pengin tidur lagi. Gue memejamkan mata mencoba untuk tidur, karena pusing ini sudah menjungkirbalikkan penglihatan gue. Semua terasa dan terlihat berputar-putar. Sialnya, saat gue memejamkan mata gue berasa melayang-layang di angkasa. Gaya bener dah ucapan gue, macam pernah ke luar angkasa aja. Tapi serius dah, gue merasa melayang gitu, nggak berasa lagi tidur di atas brankar. Di saat sakit seperti ini, gue jadi kangen Ibu. Biasanya gue selalu dipeluk kalau lagi demam begini. Kan nggak mungkin kalau gue minta dipeluk sama Mas Byan, yang ada gue takut di apa-apain lagi sama dia. Rasanya gue pengin nangis juga, nggak ada enak-enaknya pisah sama orangtua. Nikah sama Mas Byan juga nggak enak, makan hati. Meskipun orangtua dan Oma nya baik banget sama gue, tapi tetep aja nggak enak. Gue sakit hati sama perlakuan Mas Byan beberapa jam yang lalu. Emang bener kata Bang raja dangdut, kalau sudah tiada baru terasa. Dulu gue sering menganggap Ibu terlalu rewel dan banyak mengatur sampai gue kesel sendiri sama Ibu, kadang-kadang. Sekarang gue merasa ada bagian yang hilang dalam hidup gue, yaitu rewelnya Ibu. Ibu, Luna kangen! Tiba-tiba gue jadi penasaran apa yang dilakukan Mas Byan, karena seperti nggak ada aktifitas di sekitar gue. Baru juga gue mau buka mata Mas Byan sudah bersuara, sepertinya panggilan telepon. Gue nggak berusaha menguping karena Mas Byan ngomongnya lumayan keras jadi telinga gue mau nggak mau harus denger. Percakapannya sangat singkat hingga panggilan itu berakhir. Gue sedikit penasaran juga sih siapa yang nelepon Mas Byan tengah malam begini. Tapi gue nggak berhak juga untuk nanya, lagian gue juga gengsi. Gue membuka mata lalu mengedarkan pandangan ke arah tempat Mas Byan duduk, yaitu di samping gue. Mukanya kelihatan lagi penasaran akan sesuatu, mungkin dia penasaran dengan siapa penelepon tadi, karena gue denger Mas Byan tanya siapa dia saat di telepon tadi. "Loh, nggak tidur?" tanya mas Byan sembari menatap gue, tangannya membetulkan rambut yang menutupi pipi gue. "Nggak bisa tidur, Luna pusing banget," keluh gue. "Mau dipijat kepala nya?" tanya Mas Byan ramah. Jujur, gue sedikit kaget mendengar tawaran Mas Byan untuk memijat kepala gue. Meskipun kepala gue rasanya pusing banget. But, Sorry, sayangnya gue nggak suka dipijat di kepala, selain mbak-mbak salon yang mijatin. Gue menggelengkan kepala pelan. Menatap Mas Byan dengan tatapan nanar. "Luna maunya dipeluk Ibu," lirih gue. Mas Byan sedikit berdeham. Kemudian menjawab, "Tapi kan Ibu di rumah, Luna. Memang kenapa mau dipeluk Ibu?" Mas Byan mengerutkan keningnya. Gue menghela napas pelan, lalu menghembuskan nya perlahan. "Luna biasa dipeluk sama Ibu kalau lagi sakit," beritahu gue. "Tapi Ibu di rumah. Kalau Mas yang peluk, mau?" Mas Byan merentangkan kedua tangannya. Apaan dah si Ferguso, jangan harap gue mau pelukan sama lo! "Nggak mau!" sahut gue spontan. "Ya sudah, kalau nggak mau." final Mas Byan sembari mengusap pipi kanan gue.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD