BYAN POV.
Melihat Luna memejamkan matanya, hati gue rasanya aneh banget. Perasaan ingin melindungi seketika muncul. Tanpa gue sadari, sudut bibir gue terangkat saat menatapnya.
Setelah beberapa saat Luna memejamkan kedua matanya, itu bocah tiba-tiba menjadi gelisah. Luna terus mengubah posisinya ke kiri lalu ke kanan. Begitu terus berulang-ulang.
Gue mengulurkan tangan untuk memegang tangannya sambil berkata, "Luna ... kenapa sih? Mas perhatikan dari tadi kamu gelisah banget?" tanya gue.
Luna membuka kedua matanya kemudian menatap gue dengan tatapan dalam. "Mas, Luna takut. Mau pulang," ujarnya.
Elah si Luna, belum juga beberapa jam dia di sini. Cairan infus aja masih banyak malah minta pulang.
"Tapi, cairan infus kamu masih banyak, Luna. Lagipula kita di sini baru aja loh."
Luna menggeleng sembari memelas. "Luna pokoknya pengin pulang, Mas," sahutnya bersikukuh.
Gue menghela napas, apalah daya kalau dia bersikeras pengin pulang.
"Ya sudah, kamu tunggu di sini dulu. Mas urus Administrasi kepulangan kamu dulu."
Gue beranjak keluar ruangan UGD kemudian menuju ruang Administrasi. Malam-malam begini berjalan di lorong rumah sakit rasanya horor juga. Mana di lorong ini cuman gue sendirian lagi. Seketika bulu kuduk gue merinding. Elah!
Disaat ketegangan gue berjalan di lorong rumah sakit, tiba-tiba gue merasakan handphone gue bergetar. Segera gue meraih benda pipih itu di dalam saku, ternyata sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal, lagi!
"Halo?"
"Selamat atas pernikahan kalian," suara aneh di seberang sana, gue nggak bisa memastikan itu suara laki-laki atau perempuan. Tapi anehnya dia selalu mengucapkan kata-kata yang sama.
"Siapa sih kamu?"
Tut tut..panggilan diakhiri secara sepihak.
Astaga, nih orang kayaknya kurang kerjaan banget dah!
Sesampainya di ruang Administrasi, gue langsung mengurus kepulangan Luna. Enggak perlu waktu lama, akhirnya si Luna boleh pulang juga.
***
Luna kelimpungan sendiri saat melihat kedatangan seorang perawat yang hendak mencabut jarum infus di tangannya.
"Mas Byan, Luna takut banget!" ujarnya hampir memekik. Nampak jelas banget kalau dia ketakutan setengah mati.
Gue memajukan langkah, berusaha untuk menenangkan Luna. "Hei..tenang, ada Mas Byan di sini," ucap gue.
Semakin perawat itu mendekat semakin Luna menggigil ketakutan hingga akhirnya dia menghambur ke pelukan gue. Tangannya melingkar erat di pinggang gue. Dan kalian tahu bagaimana reaksi gue karena pelukan dari Luna? Gue tiba-tiba mematung kayak orang bego!
Dengan sebelah tangan yang melingkar erat di pinggang gue, dan mata yang terpejam. Luna merasakan setiap sensasi tercabutnya jarum infus yang terpasang di tangannya.
"Luna, sudah selesai," bisik gue saat Perawat selesai dengan pekerjaannya
Luna membuka kedua matanya kemudian melepaskan pelukannya.
"Nggak peluk lagi nih?" goda gue.
"Apaan sih?" sahut Luna sembari beranjak turun.
Luna membuka langkahnya dengan gemetar.
"Mau pakai kursi roda nggak?" tanya gue.
"Nggak perlu, Luna bisa jalan sendiri kok," sahutnya percaya diri padahal kakinya aja gemetaran luar biasa.
"Okeee."
Hingga seperempat jalan kita melangkah, Luna tiba-tiba menghentikan langkahnya. Tangannya tiba-tiba mencengkram lengan gue.
"Mas Byan ... Luna nggak kuat lagi untuk jalan," ujarnya.
Kan gue bilang juga apa?
Dengan sigap gue meraih tubuh Luna untuk gue gendong. Tubuhnya yang mungil ternyata nggak seberapa berat. Okelah kalau digendong sampai tempat parkir juga gue nggak masalah.
Luna melingkarkan tangannya di leher gue. Sedari tadi matanya menatap wajah gue yang ganteng. Mungkin sekarang Luna baru menyadari betapa tampannya suaminya ini, hahaha.
"Nggak usah dipandang terus, nanti nafsu," ucap gue.
"Apaan sih Mas Byan?" sahut Luna setengah kesal karena ucapan gue.
Gue hanya terkekeh puas karena berhasil menggoda Luna dan membuatnya kesal karena ulah gue. Tapi tiba-tiba....
"Mas, Luna pusing. Kalau kayak gini Mas Byan nggak marah 'kan?" tanyanya meminta izin karena sudah menyandarkan kepalanya di d**a gue.
Gue mengangguk kikuk. Ck, ada apa dengan reaksi gue ini?
Sesampainya di depan mobil, gue langsung menurunkan Luna dan membantunya masuk. Dengan refleks tangan gue membantunya memasangkan seat belt dan mengubah posisi jok menjadi sedikit ke belakang supaya dia bisa tiduran.
***
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Di samping gue Luna terlihat memejamkan matanya untuk kembali beristirahat. Sesekali gue curi-curi pandang terhadap Luna. Melihat dia tertidur seperti itu, hati gue tiba-tiba terbesit ingin rasa melindungi. Hah! kacau semua rencana gue untuk membuat rumah tangga ini nggak akan bertahan lama dan segera berakhir. Karena sepertinya gue menjilat ludah sendiri. Karena jalanan yang sangat sepi jadinya kita berdua cepat sampai di kediaman Oma.
Gue membangunkan Luna yang tertidur dengan hati-hati.
"Luna, kita sudah sampai."
Luna membuka kedua matanya. Astaga nih bocah kenapa cantik bener dah meskipun dalam keadaan begini?
"Kamu tunggu di sini dulu. Biar Mas bantu kamu berjalan," ucap gue.
Gue berjalan melingkari mobil, lalu membantu Luna turun dari mobil.
"Mau digendong lagi nggak?" tanya gue.
"Boleh ... tapi nanti saat naik tangga," sahutnya.
Kedua mata gue seketika membola dan gue tersedak saliva sendiri. Cerdas juga otak Luna.
"Mas Byan, kenapa?" tanya Luna keheranan.
Gue menggeleng lemah. "Nggak apa-apa," sahut gue.
---
Sesuai permintaan Luna saat turun dari mobil beberapa saat lalu. Gue menggendong Luna sembari menaiki satu persatu anak tangga. Dan gue harus melakukan ini sampai ke lantai tiga. Bayangin!
"Mas, masih kuat 'kan?" tanya Luna.
"Masih."
"Kali aja udah nggak kuat, Luna jadi takut nih!" ujarnya lagi.
"Kalau kamu takut, jalan sendiri," sahut gue.
"Nggak kuat, lemes."
"Iya ... iya ... mending kamu diam dulu. Pejamkan mata kamu," imbuh gue memberi saran. Karena jujur aja, gue jadi tambah capek kalau sambil ngomong.
Setelah Luna menurut untuk memejamkan kedua matanya, keheningan kembali terjadi. Hingga akhirnya kaki gue menyentuh anak tangga terakhir.
"Akhirnya!!!" seru gue lega.
Segera gue menurunkan Luna dari gendongan gue dan menyuruhnya berjalan sendiri menuju kamar.
Kedua kaki dan tangan gue rasanya pegal minta ampun. Gue setengah berlari masuk ke dalam kamar kemudian menghempaskan tubuh gue ke atas kasur nan empuk.
"Hahhhh...." gue menghela napas berat.
Di samping gue, Luna ikut merebahkan diri kemudian membalut tubuhnya yang mungil dengan selimut.
"Mas Byan, makasih ya," ucap Luna terdengar tulus.
"Sama-sama. Tapi kenapa kamu sampai demam begini? Apa kamu nggak boleh terlalu capek? Tadi saat akad kamu juga pingsan," tanya gue.
Luna sedikit berdeham. "Kalau saat akad Luna pingsan karena belum makan. Dan sekarang demam karena Luna habis berendam, Mas," sahutnya menjelaskan.
Gue hampir mendesis mendengar sahutan Luna. Lagian ngapain berendam malam-malam, bocah!
Di tengah rasa kesal gue. Handphone yang berada di dalam saku kembali bergetar. Dan terpampang di layar nomor tidak dikenal itu lagi.
"Hah, dia lagi?"
Panggilan pertama gue reject namun segera dia menghubungi kembali. Dan lagi-lagi gue reject namun dia tetap terus menghubungi sampai rasanya gue kesal sendiri. Pada akhirnya gue harus menonaktifkan handphone gue karena orang iseng itu.