Calon Istri

1234 Words
Menikah dengan dokter Ganda sama sekali tidak pernah terbayangkan olehku sekalipun aku pernah menyukainya. Dulu aku pernah mengalami kecelakaan lalu lintas dan dokter Ganda yang menyelamatkanku. Dia melakukan pertolongan pertama di TKP dan mengantarku sampai ke rumah sakit. Mungkinkah ini takdir? Kalau diingat-ingat pertemuan ini singkat dan begitu cepat. Sudah berulang kali aku menjelaskan pada Papa perihal kejadian malam itu tetap saja Papa pada keputusannya yaitu menikahkanku dengan dokter Ganda. Pada akhirnya aku juga menceritakan permasalahan hubunganku dengan Rio. Aku memutuskan hubungan secara sepihak karena hubungan kami semakin menjurus kepada hal yang tidak sehat. Aku mundur teratur ketika dia terus mendesakku untuk making love. Meski dulu kami saling membahagiakan, tapi aku tidak akan memberi kegadisanku jika dia belum menjadi suami sahku. Walau terlihat tenang, papaku itu tegas. Dalam diam beliau tidak memberi ampun Rio dan lelaki itu siap di dekam di balik jeruji besi, saat ini prosesnya sedang berjalan. “Kenapa seperti banyak pertimbangan?” tanya Mama membuyarkan lamunanku. “Bukannya kamu memang menyukai dokter Ganda? Sudah Papa kabulkan,” sambung Mama. Aku tak bisa berkata-kata hanya mengembuskan napas panjang. Terakhir kali berbicara tentang dokter Ganda, aku memang sempat bercanda ingin dinikahkan dengan dokter tampan itu, tapi pernikahan mendadak ini bukan karena candaanku saat itu ‘kan? *** Siang ini aku bertemu dengan dokter Ganda. Dia menjemputku dan meminta izin pada Papa. Saat ini kami berada di sebuah kafe. Selama di Bandung, ini kali pertamaku datang ke sini. Dokter Ganda menyodorkan surat perjanjian pernikahan dengan tenggat waktu satu tahun. Aku tak menyangka dia sepicik itu. Dokter Ganda di mataku saat itu adalah seorang dokter muda yang tampan, ramah dan tulus, aku bahkan pernah sengaja datang ke rumah sakit bersama Mama mencarinya untuk memberikan bingkisan terima kasih karena telah menyelamatkanku meski kami tidak sempat bertemu. Benarkah hati seseorang mudah berubah? Dokter Ganda yang bersamaku hari ini adalah raja tega. Perjanjian pernikahan? Persetan dengan perjanjian itu. Seenaknya saja, lihat saja nanti, ku pastikan dia ter Nada-nada. Aku mengikuti semua permintaannya tanpa mengajukan permintaan apapun meski dia memberi kesempatan. Setelah dari kafe miliknya kami menuju kediaman keluarganya. Aku diperkenalkan pada kedua orang tuanya sebagai calon istri. Jujur aku sangat percaya diri selain karena respon keduanya baik, aku sudah mengenal Tante Ayu dan sepertinya dia menyukaiku. “Nada, kenapa kamu nggak cerita waktu itu kalau sudah dekat dengan Aa’?” tanya Tante Ayu dan aku hanya meringis malu, aslinya aku memang tidak tahu mau menjawab apa. Hari itu hingga hari ini kami bahkan hanya dua orang yang terjebak dalam situasi yang rumit karena campur tangan papaku. “Mama masak banyak hari ini, makan malam di sini, ya,” ajak Tante Ayu. “Iya Tante.” “Panggil Mama, dong.” “I—iya, Ma,” ucapku ragu. Saat Tante Ayu pamit untuk menyiapkan makan malam, aku berniat mengikuti ingin membantu beliau. Namun, langkahku terhenti saat dokter Ganda menahan tanganku. “Mau apa?” “Bantuin Mama.” “Tidak perlu setotal itu aktingnya,” ucapnya pelan. Aku menarik tanganku hingga terlepas dan meninggalkannya di ruang tengah. Tentu saja aku harus total, aku tidak sedang bersandiwara seperti dia. Aku tulus ingin menjadi menantu yang baik untuk Mama Ayu, walau nyatanya …. “Ma, ini apa sudah boleh dibalik ikannya?” tanyaku seraya menjaga jarak dari kuali yang sesekali memercikkan minyak. Karena tak kunjung mendapat jawaban aku menoleh dan mendapati Mama Ayu terkekeh geli melihatku. “Maaf, Ma. Jujur aku tidak pernah masak dan tidak pandai memasak, tapi aku mau belajar, kok.” “Nggak apa-apa, Mama dulu juga begitu.” Mama Ayu mendekat melihat ikan di dalam kuali. “Katanya kalau menggoreng ikan kepala tidak boleh bersejajar begini nanti mereka asyik gibah nggak mateng-mateng.” Aku mengerutkan kening dan Mama Ayu kembali terkekeh. “Ayo dibalik ikannya,” sambung beliau. “Okey.” Benarkah begitu? Aku membalikkan ikan dan menyusun silang kepala dan ekornya. “Cepat matang, ya, ikan baik. Calon suamiku tak sabar ingin melahap kalian,” gumamku. Ya, ini memang permintaan dokter Ganda. Padahal di meja sudah ada berbagai jenis lauk. Kata Mama Ayu, tiap kali datang ke rumah anak pertamanya itu selalu request masakan. “Perlu jas hujan atau helm?” tanya Mama Ayu meledekku. “Mama …,” rengekku dan beliau kembali terkekeh. “Kalau ada boleh, Ma.” Kini kami malah tertawa bersama. Aku menikmati makan malam ini dengan suka cita. Berbeda dengan lelaki yang duduk di sampingku, wajahnya kaku bak kanebo kering. Dokter Ganda hanya dua bersaudara, dia memiliki seorang adik lelaki yang duduk di bangku SMA, tapi malam ini tidak ikut makan bersama karena sedang futsal bersama teman sekolahnya. Dokter Ganda mengajakku pulang, padahal aku sedang asyik bercerita dengan mamanya di ruang tengah setelah makan. “Besok saya dan keluarga datang ke rumah masmu,” ujarnya. Saat ini kami sudah berada di mobil. Aku mengangguk saja. Tidak ada acara lamaran seperti kebanyakan pasangan di luar sana. Kedatangan dokter Ganda beserta keluarga hanya akan bertemu untuk saling mengenal dan menentukan persiapan untuk hari H nanti. “Kamu ingin mahar apa?” Uhuk! Uhuk! Tidak ada angin apalagi hujan, bisa-bisanya aku terbatuk-batuk. Dokter Ganda memberi sebotol air dan aku menegaknya. “Tidak perlu salah tingkah begitu, jawab saja.” Kenapa ada orang seterus terang ini? Tidak bisakah sedikit basa-basi atau berpura-pura tidak tahu. “Pikirkan baik-baik, hubungi saya kalau kamu sudah tahu mahar apa yang kamu inginkan.” Dokter Ganda menyodorkan ponselnya padaku. Memintaku menyimpan nomorku ke dalam kontak di ponselnya. “Sebaik-baiknya mahar adalah yang tidak memberatkan. Saya ikut dokter saja.” “Pernikahan ini saja sudah memberatkan saya,” gumamnya tapi aku dapat mendengarnya. Aku memilih untuk tidak menanggapinya dan mengembalikan ponselnya. Kupandangi jalanan yang padat kendaraan malam ini. Hingga deringan dari ponselku mengalihkan perhatianku. Oh, ternyata Anas, sahabatku. Aku mengangkat telepon Anas dan seketika ponselku terlepas dari tanganku dan menjauh dari telingaku. “Pak!” “Bicara,” ujarnya setelah menekan loadspeaker dan memberi ponselku kembali kemudian suara Anas kembali menyapa. “Woy, Nada!” “I—iya, Nas.” “Kak Sapto cariin kamu, Nada. Andro bilang Kak Sapto cari pekerja paruh waktu lagi, mau ‘kan?” Entah kenapa kepalaku menoleh begitu saja menatap ke arah dokter Ganda dan dia langsung menatapku tajam seraya menggeleng seolah tak setuju. “Maaf, Nas. Aku nggak bisa ikut kali ini. Mama dan papaku di Bandung.” Anas sempat menyayangkan, tapi dia juga memahamiku. “Apakah yang temanmu maksud Sapto Trimurti?” “Dokter kenal?” “Kamu part time di klub milik Sapto?” Aku menggeleng cepat dan mempertegas dengan gerakan tanganku. “Bukan, bukan di klub. Saya sesekali part time sebagai kasir kafe miliknya di daerah Braga.” “Sepertinya kamu tidak kekurangan materi hingga harus bekerja paruh waktu.” “Keluarga saya tidak tahu—dan jangan diberitahu, ya!” Aku sampai menunjuk ke arahnya. “Saya hanya menggunakan waktu luang saja dan selain Anas tidak ada yang tahu identitas Papa,” tambahku. “Terlalu luangkah waktumu hingga tempat tongkronganmu selalu di klub?” Aku melipat bibirku dan perlahan membuang pandanganku searah lain. Mobil yang dikendarai dokter Ganda sudah terparkir di depan rumah Mas Seno. Papa tidak mengizinkan aku tinggal di apartemen lagi sejak kemarin. “Terima kasih—” “Nada.” Aku yang semula menunduk menoleh ke arah dokter Ganda yang tengah menatapku. “Ya, Dok.” “Pernikahan kita … tidak perlu diketahui orang banyak agar tidak—” “Tidak sulit ketika berpisah?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD