Nada’s POV
“Kamu tidak perlu bersikap layaknya istri sungguhan, Nada.”
Aku mundur dan menarik tanganku hingga terlepas dari genggamannya.
“Jangan dekat-dekat. Kalau nyaman saya nggak tanggungjawab,” ujarku seraya menetralkan detak jantungku.
Aku berbalik berjalan, kemudian duduk di kursi meja rias. Dengan cepat aku meraih pouch khusus skincare, aku sempat mengintip dari sudut mataku dokter Ganda masih bergeming menatapku setelahnya kembali masuk ke ruang ganti.
Aku mengembuskan napas lega seraya menepuk pipiku lebih keras saat menggunakan skincare saking salah tingkahnya. Tadi wajah kami terlalu dekat hingga aku dapat melihat manik matanya yang begitu dingin, tubuh kami juga menempel bak dua kutub magnet yang saling bertemu enggan untuk dipisahkan.
Setelah memoles wajahku dengan berbagai jenis perawatan wajah, aku segera naik ke atas kasur. Tidak ragu karena dokter Ganda tidak akan macam-macam mengingat dia teguh pada hati dan pikirannya sendiri.
Lucu sekali di saat malam pertama adalah malam yang paling ditunggu bagi pasangan pengantin baru, malam ini akan tetap sama seperti malam-malam sebelumnya. Tiba-tiba, aku kembali mengingat malam pertemuan dua keluarga kemarin.
Saat itu, berbeda dengan dokter Ganda yang biasa saja, Mas Seno terperangah melihat sosok calon adik iparnya. Dia sampai menatapku bergantian, dari matanya tersirat dia ingin menyampaikan sesuatu padaku. Dan benar saja saat acara selesai, Mas Seno menemuiku di kamarku. Dia mengaku pernah bertemu dengan Dokter Ganda dulu bersama dengan Kak Damar, aku pun tidak bertanya lebih.
Setelah kepergok bersama dokter Ganda dan mengetahui Keputusan Papa, Mas Seno sempat mencecarku dengan banyak pertanyaan perihal malam itu. Aku juga mengatakan yang sejujurnya sama seperti yang aku ceritakan pada Mama dan Papa. Mulai dari aku yang menggoda dokter Ganda hingga dokter Ganda yang sama sekali tidak menyentuhku lebih jauh sekalipun aku dalam keadaan nyaris top-less.
Hanya Mas Seno yang mendengarkan penjelasanku, dia bahkan sempat menyuarakannya ketidaksetujuannya pada Papa perihal pernikahan dadakan ini sekalipun dia tahu aku mengagumi dokter Ganda sejak dulu. Dokter Ganda bukan orang asing lagi dalam keluargaku. Namanya selalu menjadi bulan-bulanan candaanku.
Awal mulanya saat aku lari dari kejaran Rio pasca kami putus, aku segera melajukan mobil meninggalkan parkiran restoran begitu sadar Rio menunggani motor sport-nya hendak mengejarku. Aku terjebak dalam tabrakan beruntun. Di saat semua orang menyalahkanku tanpa membantuku, dokter Ganda-lah sosok yang aku lihat terakhir sebelum tak sadarkan diri dan ketika aku kembali membuka mata.
“Nada.” Aku tersentak saat Mas Seno menarikku masuk ke dalam pelukannya. “Dia tidak mencintaimu,” ujarnya setelah larut dalam perbincangan kami malam ini. “Mas bisa melihat itu dari matanya.”
“Mas—”
“Ini akan menjadi perjalanan yang berat Nada. Seumur hidup itu lama sekalipun kamu menyukainya. Sebelum terlambat yakinkan hatimu apakah perasaanmu itu hanya sekedar rasa kagum atau memang mencintainya.”
Jujur, aku tidak bisa mengartikan perasaanku. Yang aku sadari saat ini aku tengah serakah ingin memilikinya dan menjadikan aku satu-satunya untuk dirinya.
Aku tidak menanggapi Mas Seno hingga dia melanjutkan kalimatnya.
“Mas akan bantu kamu kabur jika kamu mau.”
Aku mengurai pelukan Mas Seno dan menatapnya. Ini kali pertama dia ingin melawan titah Papa, seberharga itu aku di matanya.
Aku tersenyum untuk meyakinkannya.
“Aku baik-baik saja, Mas.” Hanya itu yang bisa aku ucapkan, jujur aku bukan seseorang yang pandai merangkai kata-kata bijak. Memang itu yang aku rasakan sekarang, entah kenapa aku yakin dan tidak menghiraukan kehidupan seperti apa yang akan aku hadapi nanti setelah menikah.
Malam itu, aku kembali mengabulkan permintaan dokter Ganda. Aku meminta pernikahan kami dibuat tertutup dan sesederhana mungkin dengan alasan aku ingin mempersiapkan diri untuk koas, terdengar tidak masuk akal, tapi kedua keluarga mau memahamiku.
“Kenapa belum tidur?” Aku tersadar dari lamunan panjangku dan mendapati dokter Ganda sudah berdiri di samping kasur tengah mengambil bantal.
Aku menggeleng kemudian membalikkan badan menunggunginya.
***
Bisa-bisanya aku pulas tertidur hingga matahari mengusikku karena cahayanya.
“Mau tidur sampai kapan, Nada?”
Aku membuka mataku perlahan, mataku yang semula sayu membulat sempurna mendapati dokter Ganda duduk di pinggir kasur sedang tanganku melingkar erat di pinggangnya.
“B—bapak.” Aku menerjap meski tak melepas tanganku. Wangi aroma tubuhnya membuat otakku membeku. Tatapannya yang dingin memikat pandanganku hingga tak bisa berpaling.
“Sudah bisa dilepas?” Aku langsung melepas tanganku dan duduk ke pinggir kasur di sisi yang berbeda.
Aku tidak tahu bagaimana bisa dan apa yang aku lakukan hingga berakhir memeluk pinggang dokter Ganda. Lagian kenapa dia dekat-dekat denganku. kalau nantinya dia nyaman, aku bisa apa?
Selalunya aku takut saat berduaan dengan lelaki selain keluargaku karena bayangan Rio yang selalu mencari kesempatan saat kami tengah berdua, tapi dengan tak tahu dirinya aku malah yang lebih dulu menyentuh dokter Ganda. Aku memejamkan mata merutuki diriku.
“Mandi sekarang, Nada. Keluarga sudah menunggu di restoran hotel,” ucapnya kemudian duduk di sofa.
Aku melihat tumpukan bantal di ujung sofa, berarti semalam dokter Ganda memilih tidur di sofa alih-alih di kasur.
Setelah selesai mandi, aku merias wajahku se-natural mungkin. Sementara dokter Ganda masih duduk di sofa sibuk dengan ponselnya.
“Bisa lebih cepat, Nada?”
“Sedikit lagi.” Kulihat dia bertanya tanpa menoleh ke arahku. Sejak tadi aku bolak-balik bak setrikaan dia pun tidak terusik olehku.
Aku berdiri tepat di hadapannya. “Selesai, ayo, Pak.”
Dokter Ganda mengangkat pandangannya menatapku tanpa berkedip. Saat aku menaikkan alisku seolah bertanya dia menerjap sesaat.
“Tidak ada baju lain?”
Aku menunduk melihat ke arah tubuhku.
“Kenapa dengan baju ini?”
Saat ini aku mengenakan midi dress tanpa lengan yang panjangnya hingga atas lutut.
“Ganti.”
“Loh, kok, ganti?”
“Jelek.”
Tanpa banyak menawar aku gegas menuju ruangan ganti. Baru kali ini ada lelaki yang mengatakan aku jelek dengan pilihan outfit-ku, mana dia orang aku suka pula mendadak aku insecure. Aku melangkah pelan dengan hati sedih, aku juga tidak membawa banyak pilihan pakaian.
Belum sempat masuk ke dalam ruang ganti langkahku terhenti saat dokter Ganda memanggilku.
“Ganti dengan atasan yang ada lengannya dengan bawahan yang lebih panjang,” pintanya.
Aku tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam ruang ganti. Kucari satu per satu pakaian di dalam mini koperku, kutemukan satu stel atasan dengan bawahan rok yang menggantung tidak jauh di atas mata kakiku.
Aku kembali berdiri di hadapannya tanpa menyapanya, tapi dia sadar akan kehadiranku.
“Sudah?” Aku mengangguk.
Dokter Ganda menyimpan ponselnya setelah bangkit dari sofa. Dia tidak lagi komplain dengan pakaianku. Apa begini lebih baik?
“Tidak jelek lagi?” tanyaku ragu.
“Masih jelek,” jawabku acuh melewatiku.
“Bapak …,” rengekku.
Dokter Ganda berbalik menatapku.
“Saya bukan Bapak kamu Nada. Kita sudah menikah, bukankah sebaiknya kamu merubah panggilan kamu terhadap saya?”
Aku tersenyum kemudian memicingkan mataku menggodanya, lalu mengerutkan dahi hingga memajukan bibirku karena mendapat sentilan di dahiku.
“Mikir apa kamu? Memang tidak ada istri yang memanggil suaminya, Bapak.”
Aku mulai berpikir panggilan apa yang tepat untuknya mengingat jarak usia kami hampir sepuluh tahun.
“Ok, Aa’ saja kalau begitu.”
“Ganti, kamu tidak boleh panggil saya Aa’.”
“Loh, Mama saja panggilnya Aa’,” ujarku heran.
“Semua orang boleh panggil saya Aa’ kecuali kamu,” jawabnya ambigu.
Aku berpikir keras, kenapa? Kenapa hanya aku yang tidak boleh memanggilnya begitu? Ada banyak ribuan orang yang menggunakan sebutan itu. Aku melipat bibirku menahan senyum.
“Sayang.” Dokter Ganda yang sudah berbalik hendak membuka pintu kamar menoleh kembali ke arahku dengan wajah datar. “Mau dipanggil Sayang, ya?” godaku.
Dokter Ganda membuka pintu tak menghiraukanku dan berlalu meninggalkanku.
“Loh, kok, ditinggal. Tunggu, Sayang.”