Ternyata Tetangga

1502 Words
Hari-hariku terasa lebih mudah dari yang kuduga. Lingkungan tempatku bekerja selalu memberikan hal positif yang membangkitkan semangatku. Dalam sekejap saja, aku bisa melupakan kisah asmaraku yang telah kandas. Aku benar-benar telah menyelesaikan hubunganku dengan Keysa maupun keluarganya secara baik-baik. Bagaimanapun juga kedua orang tua kami sangat saling mengenal. Berpisahnya kami tidak harus membuat dua keluarga memutuskan silaturahmi, bukan? “Dokter Ganda, sedari tadi ponselnya terus berdering,” ujar salah satu rekan sejawatku begitu aku memasuki ruangan dokter. Aku mengangguk, juga berterima kasih, dan dengan cepat meraih ponselku. Tersenyum saat melihat nama Mama yang memenuhi deretan daftar panggilan tak terjawab itu. Beliau adalah ibu sambungku. Dulu aku pernah mengabaikannya, tapi kasih sayangnya tak pernah pudar meski aku berkeras hati kala itu. Dan sekarang dialah orang yang paling aku tunggu kabarnya. Aku menghubungi beliau dan dalam hitungan detik panggilanku langsung diangkat. “Halo, Ma. Jadi mau diantar ke rumah Tante Ve?” tanyaku tanpa basa-basi. “Tidak jadi. Mama ketemu Tante Ve lain waktu saja karena hari ini beliau mendadak ada urusan. Kamu masih lama di rumah sakit?” “Aku di jalan menuju apartemen, Ma.” “Syukurlah, Mama sudah sejam menunggu. Kamu ganti password unitmu?” Ah, iya. Aku memang mengganti password unitku secara berkala. Selalunya aku membagi password terbaruku, pasalnya Mama sering datang ke apartemenku untuk sekedar mengisi kulkas dengan stok makanan buatannya. Namun, kali ini aku benar-benar lupa memberi tahu beliau. Aku sempat khawatir Mama menungguku sendiri di lobi, tapi katanya beliau menungguku di unit tetanggaku. Unit di lantaiku hanya ada tiga pintu dan ketiganya penghuni lelaki termasuk aku. Aku meminta Mama untuk segera masuk ke dalam unitku dan mengirim password kepada beliau setelah sambungan telepon berakhir. Sepanjang perjalanan aku mengabsen satu per satu tetanggaku yang keduanya adalah pengacara dan dokter. Aku yakin sekali keduanya lelaki. Karena masih khawatir pada Mama, aku kembali menghubungi beliau, tapi tidak kunjung diangkat. Dengan langkah cepat aku menuju apartemenku, tak ingin membuat beliau lama menungguku. Saat aku hendak membuka pintu setelah menekan password pintu unitku, aku mendengar suara Mama bersamaan dengan suara perempuan yang terdengar cempreng, tapi juga manja bersamaan. “Nah, ini anaknya sudah pulang,” ujar Mama seraya tersenyum ke arahku. Aku mengangguk pelan dan beralih menatap wanita yang tengah Mama rangkul. Aku sangat ingat dengan jelas wajahnya. “Aa’ sini kenalin.” Aku menarik tangan Mama lembut hingga beliau melepas rangkulannya pada lengan Nada. “Nada, ini anak Tante. Namanya Ganda.” Nada meringis, lalu melambaikan tangannya ke arahku. “Ayo, masuk, Ma,” ajakku cepat pada Mama tanpa menyapa Nada. Aku menuntun Mama masuk ke dalam unitku, sebelumnya beliau sempat berpamitan pada Nada. “Dokter Ganda.” Aku menoleh saat Nada memanggilku. Dia tersenyum seraya kembali melambaikan tangannya. Entah kenapa melihatnya aku merasa akan terusik lagi olehnya. Huh, cobaan apa lagi ini. Hidup lagi tenang-tenangnya, aku kembali dipertemukan dengan wanita yang sangat tidak ingin aku temui. Belum lagi Mama terus memuji-mujinya. *** Malam ini aku diundang oleh Farhan ke acara ulang tahun kekasihnya di sebuah klub. Padahal bulan lalu, kami sempat mengalami masa-masa galau bersama. Beberapa minggu setelahnya, dia memutuskan untuk kembali bersama kekasihnya. Aku memilih untuk memisahkan diri, duduk di kursi dekat pagar pembatas di lantai dua, sambil memperhatikan keramaian orang-orang yang berjoget mengikuti irama dentuman musik di bawah sana. Entah mengapa, aku tertarik memperhatikan dua wanita di dekat meja bartender. Di mana satu wanita sedang berjoget menggoda temannya yang hanya duduk diam di kursi tinggi. Namun, perhatianku tiba-tiba tertuju pada seorang lelaki bertopi yang mendekat dan terlihat memasukkan sesuatu ke dalam minuman wanita yang tengah duduk, sementara temannya telah bergabung dalam kerumunan manusia yang asyik berjoget. Lelaki itu kemudian menjauh, tetapi mataku terus mengikuti langkahnya hingga dia duduk di kursi tidak jauh dari tempatku berada saat ini. Aku merasa pernah melihatnya sebelumnya. Sesaat lampu klub menerangi wajahnya ketika dia melepas topinya menyapa temannya, mataku membulat. Rio, tidak ragu lagi, dia adalah lelaki yang aku hajar malam itu. Jika benar dia Rio, apakah wanita yang ada di bawah sana itu Nada? Aku memalingkan pandanganku ke arah wanita itu. Pikiranku bergejolak, meskipun otakku menolak untuk ikut campur dalam kisah asmara mereka, hatiku tidak tega melihat lelaki itu memanfaatkan kepolosan Nada. Darahku berdesir ketika aku melihat Nada meraih gelasnya, tapi tidak meminumnya karena masih sibuk berbicara dengan temannya yang baru saja kembali. Aku melangkah cepat, setengah berlari menuruni anak tangga menuju Nada. Akhirnya, aku mengikuti kata hatiku. Terlambat, saat aku sampai di hadapannya, dia sudah menyesap minumannya dan terkejut melihatku. Aku meraih gelas di tangannya, meletakkannya di atas meja, dan memberikan beberapa lembar uang kepada temannya yang terkejut sama seperti Nada. Kemudian, aku menarik Nada pergi bersamaku. “Pak, ada apa?” Aku tak menjawab dan terus menuntunnya keluar. “Lepas,” protesnya. “Pak Dokter … Pak, lepas.” Aku baru melepas genggamanku begitu kami berada di samping mobilku. “Kamu tahu saya seorang Dokter?” tanyaku menelisik wajahnya yang tampak salah tingkah. “S—saya … saya lihat tanda pengenal dokter di kamar Bapak hari itu,” jawabnya lirih. “Pulang dengan saya, Nada,” titahku. Kemudian aku membuka pintu mobil untuknya, tapi dia menahanku. “Tidak mau. Kenapa tiba-tiba—” Belum sempat aku menyuarakan maksudku, aku melihat Rio baru saja keluar dari klub. Nada mengikuti arah pandangku, dia mendekat ke arahku saat Rio berjalan ke arah kami. Aku kembali meminta Nada segera masuk ke dalam mobil. Kali ini tanpa penolakan Nada mengikuti perintahku. “Lo lagi!” Aku menghalangi langkah Rio saat dia berusaha meraih Nada, membuat dia kesal dan hendak memukulku. Cepat aku menendang tubuhnya hingga dia tersungkur. “Jangan pernah menampakkan lagi batang hidungmu di hadapan Nada,” ujarku sebelum masuk ke dalam mobil. Rio berteriak seraya mengumpat saat mobil mulai menjauhinya. Kini mobilku udah melaju jauh membelah sunyinya malam. Sejak tadi Nada hanya menunduk dan terlihat gelisah. “Maaf—” “Sudah dimaafkan,” jawabku cepat. Dia mendengus kesal saat aku memotong kalimatnya. Ternyata dia ingin memintaku menurunkan pendingin mobil ini. Dia mulai mengipasi dirinya dengan tangannya padahal aku sudah menurunkan suhu mobil, tapi tidak yakin ini akan mengurangi panas yang dia rasakan. Dia terus mengeluh kepanasan. Aku menahan tangannya saat dia hendak membuka kancing bajunya. “Nada, kita hampir tiba di apartemen.” Aku mendengkus kesal karena sedari tadi tidak menemukan apotek di sepanjang jalan. Nada mengerutu resah, kemudian meraih panel pendingin mobil mengatur sendiri sesuka hati. Dia mulai mengerang dan napasnya berderu cepat. Sial, seberapa banyak dosis yang lelaki itu berikan dan seberapa banyak yang Nada minum. “Apa kamu tadi membawa mobilmu?” “Tidak, saya bersama Anas,” jawabnya seraya kembali mengipasi dirinya dengan tangannya, menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan. “Kenapa kamu bisa ada di sana?” tanyaku lagi guna mengalihkan perhatiannya. “Menemani Anas bertemu dengan kekasihnya.” “Maksudnya?” Aku terus mengajaknya bicara dengan harapan apa yang dia rasakan dapat sedikit teralihkan. “Kekasih Anas bartender di klub itu—Dokter Ganda.” Aku menoleh ke arahnya sekejap setelah kembali fokus pada kemudiku. Sial, tampaknya usahaku sia-sia. Dia kembali mengerang manja, meraih lenganku. Mobil sudah terparkir sempurna di basemen apartemen. Saat hendak turun, Nada meraih tanganku mendekatkan ke pipinya. “Dingin, enak,” ucapnya manja. Jelas saja dingin, sedikit saja lebih lama lagi berada di mobil ini bisa-bisa aku hipotermia. “Dokter Ganda.” Aku melihat sepasang mata indahnya menatapku sayu. Aku menggeleng cepat, gegas membawanya naik ke lantai sepuluh di mana unit kami berada. Saat aku membuka unitku, dia menolak ikut masuk dan berjalan menuju unitnya. Tidak mungkin aku meninggalkannya seorang diri dalam keadaan begini. Akhirnya, dengan berat hati aku ikut masuk ke dalam unitnya. Begitu masuk Nada langsung melepas bajunya dan menyisakan bra berwarna hitam dan rok span di atas lutut. Dia berjalan terus ke arah dapur menuju wastafel membasuh tangan dan wajahnya. “Saya buatkan kamu s**u hangat. Sambil menunggu kamu minum ini.” Aku memberinya segelas air dan habis dalam sekejap. Nada menunjuk tempat penyimpanan di kitchen set-nya. Aku terkejut saat dia berusaha melepas roknya dengan cepat aku berlari kearahnya dan menghentikan niatnya. “Hentikan Nada, pakai kembali roknya.” Dia mengeluh kepanasan dan merengek menatapku seolah ingin melahapku. “Nada.” Aku memegang dan menjauhi tangannya saat dia meraba bibirku dengan tatapan dan gerakan yang sensual. “Jangan seperti ini Nada. Pakai kembali bajumu,” pintaku meraih bajunya yang aku pungut tadi. “Dokter Ganda, sungguh, saya tidak bisa menahannya.” Aku mengusap air matanya yang mengalir, ku tatap netranya yang memikatku hingga tak bisa berpaling. “Kamu percaya saya?” Dia mengangguk. “Sekarang kamu duduk, dengar dan turuti perkataan saya. Saya buatkan kamu s**u hangat—” “Bukan itu, Pak Dokter. Rasanya sangat menyesakkan, tolong,” lirihnya mendekat ke arahku. Dia meraih dan menangkupkan kedua tanganku di pipinya dan memintaku mengusapnya lembut. “Iya seperti ini,” lirihnya menikmati sentuhanku. Perlahan dia memejamkan matanya, mendekatkan wajahnya dengan wajahku. “Nada!” Nada membuka matanya kami sempat saling memandang, kemudian melempar pandangan ke arah datangnya suara bentakan penuh emosi. “Apa-apaan kalian!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD