Kepergok

1335 Words
“Apa-apaan kalian!” “Mama … Papa ….” Aku maju selangkah untuk menutupi tubuh Nada dan memberi pakaiannya. Wanita yang Nada panggil Mama itu mendekat dan menariknya menuju kamar setelah Nada mengenakan pakaiannya kembali. “Papa,” lirihnya, tapi pria paruh baya itu hanya mengangkat sebelah tangannya menatapku tajam tanpa menoleh ke arah Nada. Kemudian sang Mama kembali menuntun Nada masuk ke dalam kamar. Di sinilah aku sekarang, duduk berdua dengan Om Sagara, papa Nada. Aku sudah memperkenalkan diriku. Saat aku hendak berbicara menjelaskan kejadian yang tak pantas dilihat tadi, Om Sagara terus menahanku. Sebenarnya, aku sedikit bingung dengan situasi ini. Alih-alih mendengarkan penjelasanku atau menegurku, lelaki paruh baya itu justru menyajikan minuman hangat untukku dan sibuk dengan gawainya. Mama Nada keluar dari dalam kamar, mengatakan bahwa Nada menangis hingga tertidur. “Pernikahan kalian akan digelar sabtu depan.” Pernikahan? “Maaf, Om, sepertinya Om salah paham. Saya sama sekali tidak menyentuh Nada—” “Kamu pikir saya akan melepaskan kamu begitu saja setelah apa yang kalian lakukan di depan mata saya?” Aku memijat pangkal hidungku. Sungguh, bahkan kami tidak melakukan apa-apa. Aku kembali menjelaskan kronologi kejadian sedetail mungkin. Asal mula aku mengenal Nada hingga kejadian malam ini, tak lain hanya karena kebetulan. Aku tidak begitu mengenal Nada dan tidak memiliki hubungan khusus dengannya. “Saya tidak akan tinggal diam dan menindak keras perihal Rio, tapi saya tetap tidak terima dengan adegan yang kalian pertontonkan,” ucapnya tegas. “Saya di Bandung hanya seminggu, kamu bisa bawa orang tuamu H-3 hari pernikahan,” titahnya. Padahal Om Sagara tidak bertindak kasar, justru terbilang santai. Namun, aku seolah tunduk dan patuh karena pembawaannya yang tegas dan lugas. Sebentar, tidak bisa. Ini tidak benar, aku tidak melakukan hal apa pun yang melewati batas, dan yang terpenting aku tidak mencintai Nada. Bagaimana bisa aku menikahinya? Om Sagara meletakkan kartu nama di atas meja dan mendekatkannya ke arahku saat mendengar pembelaan dariku. “Saya tahu kamu orang yang bertanggungjawab. Perihal jadwalmu di rumah sakit, saya yang akan mengaturnya untuk kelancaraan acara nanti,” ujar Om Sagara. Setelah menatap kartu nama itu, aku mengangkat pandanganku, membulatkan mata, dan terkejut tak percaya. “P—prof. Satria Sagara.” “Saya tidak sembarangan memilih pendamping untuk putri saya, Dokter Ganda. Pembicaraan kita sudah selesai, kamu bisa istirahat,” ujarnya kemudian meninggalkanku. Tidak mungkin. Rasanya aku ingin memutar waktu. Seharusnya aku tidak kembali membantu Nada malam itu, atau aku abaikan saja dia malam tadi di klub. Mana aku tahu kalau Nada ternyata anak dari Prof. Satria Sagara, komisaris utama rumah sakit tempatku bekerja. Pantas saja beliau tampak tak asing bagiku. Aku terlanjut syok karena kepergok berduaan dengan Nada, hingga tak dapat berpikir jernih. Dan lagi, Prof. Sagara menetap di Jepang, suatu kehormatan bisa bertemu dengan beliau. Lalu, dari berita yang beredar, istri Prof. Sagara, Ny. Gania Satyatama adalah kerabat dekat Damar. Artinya aku akan berada dalam lingkaran Jingga dan Damar jika melanjutkan pernikahan dengan Nada. Takdir seperti apa ini? “Nak Ganda.” Lamunanku buyar mendengar Tante Gania menyapaku. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih hingga lupa dia masih menemaniku saat ini. “Tante mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Nada lagi. Anak itu tidak pernah cerita perihal sikap kurang ajar Rio pada kami.” “Ah, i—iya Tante.” “Sebentar, Tante ambilkan selimut untuk kamu, ini sofa bed bisa di setting—” “Tidak perlu, Tante, saya pulang saja.” “Oh, iya, Tante lupa kamu tinggal di unit sebelah.” Aku mengangguk hormat kemudian pamit kembali ke unitku. Aku juga merasa sedikit aneh dengan Tante Gania. Saat aku memperkenalkan diri dan mengatakan kalau aku tinggal di unit sebelah, Tante Gania sedang berada di kamar Nada. Apakah mungkin beliau mendengar obrolan kami dari dalam? Ya, aku rasa itu kemungkinan yang paling mungkin, hingga beliau tahu nama serta tempat tinggalku. *** Hari ini aku janjian bertemu dengan Nada di luar tepatnya di kafeku, ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan padanya. Kemarin setelah peristiwa itu, siangnya Tante Gania datang sendiri ke unitku untuk mengajakku ikut makan siang bersama dengan keluarganya, tapi aku tidak sempat bicara berdua dengan Nada. “Kamu mau pesan apa?” “Iced lemon tea saja.” Aku memesankan minuman pilihannya dan tiramisu cheesecake untuknya. Aku memberikan secarik kertas padanya, setelah membacanya dia mengangkat pandangannya. “Perjanjian pernikahan?” “Baik kamu atau saya tidak bisa membantah titah papamu, benar ‘kan? Saya tidak mencintaimu Nada—” “Belum, bukan tidak,” potongnya. “Nada.” Dia hanya mengedikkan bahunya. Prof. Sagara tidak main-main. Hari itu juga dia meringkus Rio mengantar lelaki itu ke balik jeruji besi. Dan menemuiku di rumah sakit bersama kepala yayasan. “Dokter Ganda, saya hanya ingin memastikan kalau Anda tidak membuat sesuatu yang membahayakan karir anda dan rumah sakit ‘kan?” tanya Dr. Herman khawatir sebelum membawaku masuk ke dalam ruangan pimpinan rumah sakit dan aku hanya menjawab dengan sebuah gelengan. Saat aku masuk dan duduk bersama dengan petinggi rumah sakit, Prof. Sagara dengan bangga memperkenalkanku sebagai calon memantunya. “Lalu, gimana? Saya malas baca, kasih tahu aja intinya.” “Dokter Ganda.” Lamunanku buyar saat Nada menyentuh punggung tanganku. “Ah, ya, maaf. Perjanjian pernikahan selama satu tahun setelah itu kita akan ….” “Berpisah?” Aku mengangguk, Nada dengan santainya menyesap minumannya dan ikut mengangguk paham. “Saya baru tahu kalau ternyata Dokter adalah orang yang tega, tidak apa-apa. Saya terima, tapi jangan salahkan saya kalau nanti Dokter jatuh cinta pada saya.” Jatuh cinta? Bagaimana bisa jatuh cinta jika hatiku saja sudah hancur tak berbentuk. “Jangan lihat saya seperti lautan yang indah dan tenang, Nada. Kamu tidak tahu sedalam dan sekelam apa saya hingga kamu bisa hanyut tenggelam.” Setelah Nada menyetujui perjanjian yang telah aku buat, kami pergi bersama menemui kedua orang tuaku. Susah payah aku menyusun kalimat yang tepat agar tidak membuat mereka terkejut. Nyatanya, setelah mereka melihat Nada dan menjelaskan maksud kedatangan kami, Mama sangat antusias dengan berita yang aku sampaikan, dan Ayah pun langsung setuju tanpa banyak bertanya. *** “Saya terima nikah dan kawinnya Ashara Nada Faqiah binti Satria Sagara dengan mas kawin tersebut tunai.” “Sah!” ujar saksi dan tamu bersahutan. Tak lama kemudian, Nada berjalan mendekat didampingi oleh kakak ipar dan mamanya. Saat melihatnya, aku refleks berdiri menyambutnya. Aku mengembuskan napas pelan ketika dia berdiri tepat di hadapanku. Kuraih tangannya dan menuntunnya duduk di kursi yang telah disediakan, melanjutkan prosesi selanjutnya. Meskipun pernikahan ini dadakan, lucunya semua berjalan dengan lancar. Mulai dari persiapannya hingga restu orang tua. Aku melirik ke arah Mama dan Ayah, kulihat ekspresi bahagia di wajah mereka. Begitu juga dengan Prof. Sagara dan keluarganya. Kenapa aku tak kunjung sadar, bukankah ini hanya mimpi? Sungguh, aku berharap semua ini hanya mimpi. Ketika aku mengumumkan keinginanku untuk menikahi Nada, Mama langsung menyetujuinya. Nada telah memberikan kesan yang baik pada Mama sejak pertemuan pertama mereka, membuat Mama dengan mudah menerimanya tanpa menaruh curiga pada kami. Sementara ayahku mengatakan selama aku bahagia, dia akan mendukung keputusanku. Aku tidak bahagia karena aku tidak mencintai Nada. Pernikahan ini bak musibah yang tak bisa kami hindari. Pernikahan digelar secara tertutup di sebuah hotel tanpa resepsi dan hanya dihadiri oleh keluarga serta kerabat terdekat dari kedua belah pihak. Setelah acara selesai, aku dan Nada masuk ke dalam kamar hotel yang telah disiapkan dengan dekorasi yang indah. Nada sudah melepaskan riasannya dan mengganti pakaian di ruangan terpisah yang sebelumnya dia gunakan untuk berhias. “Ehem—saya mau mandi lebih dulu,” ujarku. “Nada …,” panggilku dan dia menjawab lembut. “Kamu bisa singkirkan bebeknya jika mengganggu,” tunjukku pada kain yang dibentuk sedemikian rupa berhiaskan bunga di atas kasur. “Itu angsa, Pak, bukan bebek.” “Whatever,” ujarku sebelum masuk ke dalam ruang ganti. “Saya siapkan air mandi Bapak, ya.” “Tidak perlu.” Dengan cepat aku menahannya, menariknya terlalu keras hingga tubuhnya mendekat ke arahku. “Kamu tidak perlu bersikap layaknya seorang istri sungguhan, Nada.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD