Sepanjang perjalanan aku menahan tawaku mendengar cerita Bara tentang kesialannya hari ini. Mulai dari terlambat tiba di stasiun, nyaris salah tujuan, dan berakhir salah memilih tempat duduk sebelumnya.
Bara terus mengoceh sementara aku banyak diamnya. Malah aku berakhir tertidur di perjalanan.
“Nada.” Aku mendengar suara lembut memanggil namaku.
“Iya A,” jawabku lirih.
Aku membuka mataku dan mendapati wajah Bara begitu dekat denganku. Aku menerjap, sejak kapan aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Aku segera menegakkan tubuhku dan meminta maaf padanya.
“Kamu panggil aku Aa? Aa Bara, sounds good. Belum ada yang pernah memanggilku begitu,” ujarnya bahagia.
“Eh, bukan begitu—”
“Ayo, turun kita sudah sampai.” Aku ingin mengklarifikasi kesalahahaman panggilan itu, tapi dia sudah mendahuluiku.
Kami dijemput perwakilan dari rumah sakit yang akan membawa kami ke rumah sakit.
Bara melambaikan tangan ke arahku dari seberang saat kami membuat sebuah lingkaran tengah mendengarkan arahan. Ternyata aku dan Bara berada dalam satu tim. Saking acuhnya aku tidak memperhatikan anggota dalam tim-ku.
Bahkan saat duduk di bangku perkuliahan pun aku masuk dalam kategori mahasiswi kupu kuliah pulang, begitu hingga tamat. Aku malah berteman dengan Anas, anak fakultas ekonomi.
Aku juga bahkan dikenal sombong karena tidak banyak berinteraksi dengan mereka. Aku memang membatasi diri, trauma memiliki pertemanan yang fake. Dulu saat SMA semua temanku mendekatiku karena identitas papaku tersebar, aku lelah bersama mereka yang bermuka dua.
***
Seharian aku tak mendapat kabar dari Aa’. Pesan yang aku kirim juga belum dibaca olehnya. Saat ini pukul tujuh malam. Aku duduk di teras rumah yang aku tempati dengan beberapa dokter muda lainnya.
Karena tak mendapat respon dari Aa’ aku menghubunginya. Deringan pertama panggilanku langsung bersambut.
“Halo—”
“Aa’ ingkar janji! Katanya akan tetap balas dan terima teleponku,” protesku tanpa menyapanya dan memotong pembicaraannya.
“Bukannya sekarang saya sedang menerima teleponmu?” jawabnya membuat aku tambah kesal.
“Tapi pesan dari siang tidak dibalas, bahkan dibaca juga tidak.” Aku mengerutkan kening mendengar beberapa suara menyapa Aa’ dan ucapan terima kasih bergantian serta saling memberi pujian atas kelancaran operasi.
“Maaf, tadi beberapa rekan saya menyapa. Maaf juga karena tidak membaca pesanmu. Saya mengikuti operasi pasien berkelanjutan dan ponsel sedari tadi di ruangan. Saat ini saya baru selesai membersihkan diri dan bersiap untuk pulang,” jelasnya panjang lebar.
Aku menahan tawaku, ini kalimat terpanjangnya. Dia bahkan menceritakan sedetail itu padaku.
“Setelah ini saya akan ke kafe,” tambahnya. Aku senang mendengarnya melaporkan diri.
“Hm,” jawabku singkat seolah masih marah.
“Kamu marah?” tanyanya hati-hati.
“Sekarang sudah tidak.” Tanpa ditanya, aku menceritakan perjalananku dan perkenalan pertamaku tadi di rumah sakit. Aa’ lebih banyak diamnya, apa dia bosan mendengar celotehanku?
“Aa’ sudah mau berkendara?” tanyaku karena sedari tadi dia hanya diam saja.
“Tidak, saya masih di ruangan. Silahkan lanjutkan,” ujarnya. Apa-apaan kaku begitu, aku jadi tidak bersemangat melanjutkan ceritaku.
“Neng Nada.” Aku memutar tubuhku mendapati Bara mendekat. Apa-apaan tadi? Dia memanggilku Neng Nada, apa aku tidak salah dengar?
“Oh, sedang teleponan, ya? Aku akan menunggumu—ini minuman untukmu, nanti aku kembali lagi,” ujarnya mengecilkan suaranya kemudian beranjak pergi.
“Kamu tinggal di mess?” Suara Aa’ di seberang sana menyapa pendengaranku.
“Iya, eh, tidak. Maksudnya ini bukan khusus mess rumah sakit, tapi kami diizinkan menempati rumah ini. Aku bersama beberapa dokter muda lainnya,” jelasku.
“Lelaki dan perempuan dalam satu rumah?” Aku mengerutkan keningku karena Aa mulai banyak bertanya, tapi aku tetap menjawabnya.
“Tidak, lelaki dan perempuan di bangunan yang berbeda, tapi masih satu lingkungan yang sama.” Hening tidak ada pembicaraan apa pun. “Aa’ jalan dulu, deh, mau ke kafe ‘kan? Nanti kemalaman.”
“Kamu ingin menemui temanmu tadi?”
“Eh, siapa? Bara? Tidak, dia hanya menyapa.” Entah kenapa membahas Bara, mataku mencarinya, hingga aku menemukannya yang tengah duduk bersama rekan lainnya di gerbang depan. Dia bahkan melambaikan tangan ke arahku.
“Bara.”
Aku membenarkan dan menyudahi sambungan telepon. Sebelumnya aku memintanya menghubungiku setelah tiba di rumah nanti.
Setelah panggilan telepon berakhir, aku masuk ke dalam rumah. Aku akan beristirahat di kamar. Namun, langkahku terhenti saat Bara memanggilku.
“Nada.” Aku berbalik menunggunya yang tengah berlari menghampiriku.
“Sudah mau tidur?” Aku menjawabnya dengan anggukan. Tidak lupa aku berterima kasih atas minuman yang dia berikan padaku tadi. “Sama-sama. Pak Didit belum bisa menyewakan mobilnya untuk kita. Beberapa rekan lain menyewa motor, aku juga berencana menyewanya. Malam ini kami ingin mengambil motornya. Besok mau berangkat bersama?” ajaknya.
“Aku juga mau ikut menyewa,” pintaku. Bara bilang kesediaan motor untuk disewakan tidak banyak. Beberapa rekan juga akhirnya berbagi tumpangan, jelasnya. “Aku—”
“Aku tunggu kamu besok pagi, selamat malam, Nada,” ujarnya kemudian kembali ke tempatnya tadi berkumpul.
Aku mau tanya suamiku dulu. Aku ingin mengatakan itu, tapi kemudian aku berpikir, kalau pun aku bertanya apa Aa’ akan menanggapinya? Apa itu penting baginya?
Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, meregangkan tubuh di atas kasur mengambil ponselku hendak membaca n****+ online kesukaanku. Sayang sekali padahal aku penuh semangat, tapi n****+ online yang ingin aku baca belum update hari ini. Padahal aku sangat menunggunya—resiko pembaca n****+ online ongoing.
***
Semalam, niat hati ingin menunggu kabar dari Aa, aku malah lelap dalam tidurku. Begitu pagi menyapa entah dorongan dari mana aku berniat jogging pagi ini. Selain karena saat bangun tidur aku sangat bersemangat, daerah tempat aku tinggali ini luar biasa asri. Katanya setengah jam berkendara motor aku bisa menemukan pantai. Saat ada kesempatan nanti aku ingin bermain ke pantai.
Sebelum keluar, aku mengirim pesan pada Aa’ mengatakan bahwa semalam aku ketiduran hingga tak sempat membalas pesannya.
Baru saja hendak meletakkan ponsel, ponselku berdering dan nama Aa’ tertera di layar ponselku.
Si Raja Tega is calling.
“Selamat pagi, suamiku,” sapaku sumringah.
“Sudah bangun?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan retoris yang lebih dulu menyapa.
“Sudah, ini mau jogging. Di sini suasananya enak.”
“Membawa ponsel?” Aku tersenyum memdengar pertanyaannya.
“Tadinya berencana tidak, tapi karena suamiku menelepon aku tidak mungkin menyudahi. Soalnya aku rindu.” Hening, seperti biasa, dia si paling enggan berbasa-basi di telepon.
Aku sudah keluar dari rumah dan berjalan pelan. Aku mengenakan tas pinggang dan memakai earphone.
“Aku rindu ingin dengar suara Aa’ bukan napasnya,” protesku karena dia hanya diam saja. Padahal tadi terdengar semangat bertanya.
“Sudah dengar ‘kan? Kalau begitu saya mau bersiap berangkat ke rumah sakit.” Apa-apaan, dia yang menghubungi aku lebih dahulu. Ingin menyudahi seolah enggan berbicara denganku.
“Ngapain telepon, sih, A’ kalau cuma gitu doang? Aku udah senang padahal ditelepon duluan. Aku sampai bela-belain bawa tas pinggang untuk menyimpan ponselku.” Aku langsung berterus terang, aku kecewa padanya.
“Hari ini saya ada jadwal operasi.”
“Huum … lalu?” Aku tersenyum saat dia menceritakan kegiatan yang akan dilalui hari ini. Begini dong, jangan kaku-kaku banget. Aslinya supel dan ramah, kok, sama pawang sendiri kaku. Harusnya lebih luwes satset, gitu, loh.
Pembicaraan kami mengalir begitu saja, hingga sapaan Bara menghentikan pembicaraan Aa’.
“Pagi, Neng. Nanti jadi berangkat bareng ‘kan?”