Huh, lagi-lagi, sih, Bara.
“Kamu tidak sendiri?”
Tut! Tut! Tut!
“Aa’ … halo—yaa … habis batre,” kesalku.
“Nanti jadi bareng?” tanyanya sekali lagi.
Belum sempat aku menjawab dia yang sedang lari di tempat mengecek jam di tangannya berkata, “pukul tujuh sudah siap, ya. Yang lain berangkat lebih pagi karena briefing pagi, Bye, Nada.”
Bara ini hobinya ngacir aja, belum sempat aku bicara dia sudah berlalu. Bukannya aku tak paham, dia pasti tidak ingin menerima penolakan, dasar menyebalkan.
Setiba di rumah, benar saja beberapa rekanku sudah berpakaian rapi. Mereka sudah punya tebengan masing-masing. Karena tidak terlalu akrab kami hanya bertegur sapa dan saling melempar senyuman.
Pukul tujuh kurang lima belas menit, aku sudah bersiap. Ponselku baru menyala, tapi dayanya belum full.
Akhirnya aku memutuskan untuk menerima bantuan Bara sambil memikirkan cara pergi pulang keesokan hari dan setelahnya.
“Sudah siap?” Suaranya yang sudah sangat aku hapal menyapaku.
Aku mendekat ke arahnya, segera naik ke atas motor dan kami meninggalkan perkarangan rumah.
“Kamu terlihat sungkan.”
“Apa?” tanyaku karena suaranya tidak jelas melebur bersama angin.
“Kamu terlihat sungkan padaku.”
“Begitukah?” Bara menoleh seraya mengangguk.
Aku tak berniat melanjutkan pembicaraan mengingat tubuhku menjadi bertambah dekat jika berbicara dengannya di atas motor.
Tak lama motor yang Bara kendarai sudah terparkir di halaman rumah sakit.
“Jangan sungkan begini, Nada,” ujarnya seraya membantuku melepas helm.
“Terima kasih, ya.”
Bara tersenyum dan mengangguk.
Sebelum memulai kegiatanku hari ini, aku menyempatkan untuk mengirim pesan pada Aa’, menyampaikan permintaan maaf karena sambungan telepon kami sempat terputus tadi. Tidak langsung berbalas, tidak apa-apa. Aa’ bilang hari ini dia ada jadwal operasi, semoga lancar dan dia segera menghubungiku.
Seharian ini aku ikut bersama dokter senior untuk visit pasien. Sesungguhnya waktu yang dihabiskan seorang dokter sudah tidak asing lagi bagiku. Karena aku sudah tahu bagaimana rasanya ditinggal Papa seharian bekerja, tapi syukurnya Papa pandai mengatur waktunya hingga sekalipun sibuk, aku tidak kekurangan kasih sayangnya.
Hingga malam menyapa aku baru terlepas dari pekerjaanku.
Aku berbicara dengan perawat di nurse station mereka menyambut kami dengan ramah.
“Saya pikir Dokter Nada ini … maaf, sombong, tapi setelah kenal ternyata sangat ramah.”
“Saya belum menjadi dokter, Sus.”
“Semua yang ada di rumah sakit ini junior atau senior kami panggil begitu. Dokter muda, semoga pendidikannya lancar dan segera mendapat gelar dokter seutuhnya,” doa mereka.
“Semoga diijabah, terima kasih.”
“Dua hari kedepan saya ditugaskan pagi bersama Dokter Feri,” ujarku.
“Oh, Dokter Feri eh … beliau baik … baik banget. Katanya lusa beliau akan pindah ke kota.”
Aku mengangguk paham, setelah menemani dokter Feri, selanjutnya aku akan ikut bersama tim di IGD.
***
“Nada, ayo pulang,” ajak Bara—sudah melepas snelinya dan berganti pakaian santai.
“Ah, iya, Bara. Aku pulang dengan Suster Risa, kebetulan rumahnya dekat dari home stay kita.” Meski tampak kecewa Bara menghargai keputusanku.
Sambil menunggu Sus Risa, aku yang sudah mengganti pakaian duduk di taman dekat parkiran meraih ponselku berniat menghubungi Aa’.
Aku tersenyum saat melihat pesan singkat darinya. Meski semua dari pertanyaanku hanya dia jawab satu.
Me
“Sudah break A’. Makan apa siang ini?”
Si Raja Tega
“Sudah, nasi dan sop iga.”
Luar biasakan? Singkat padat dan jelas. Padahal sebelumnya aku sempat mengirim permintaan maaf, mengabari aku sudah tiba di rumah sakit, dan singkat kegiatanku setengah hari tadi.
Karena geregetan, aku menekan tanda hijau hingga suara deringan menyapa pendengaranku. Ya, aku memutuskan untuk menghubung Aa’, mana tahan aku tidak mendengar suaranya sehari saja.
Satu panggilan terabaikan, hingga aku kembali melakukan panggilan kedua.
“Selamat malam suaminya aku.”
“Nada.”
“Hadir ….” Aku tersenyum sendiri begitu keheningan yang menyapa.
“Kebiasaan deh, cuma dengerin napasnya doang,” rajukku.
“Saya masih di rumah sakit.”
Aku melihat jam yang melingkar di tanganku. Saat ini pukul setengah delapan malam.
“Saya juga.”
“Tadi kamu berangkat dengan Bara?”
“Kok, tahu?”
“Jawaban saya benar?”
Aku membenarkan kembali kemudian menjelaskan awal mula pertemuanku dengan Bara di stasiun hingga perihal kami tidak jadi pulang bersama malam ini. Aku menceritakan semua tanpa ada yang aku lebih dan kurangkan.
“Apa tidak sebaiknya kamu mencari kosan di dekat rumah sakit?” usulnya.
Bukan ide yang buruk, aku kan mempertimbangkannya.
Seperti biasa Aa’ tidak banyak bercerita, sikapnya yang biasa saja kini tampak berbeda. Dia semakin dingin. Meski banyak diam sekali bicara dia terlihat sewot.
Aku hanya berpikir dia lelah seharian, untuk itu aku segera mengakhiri panggilan kami.
“Ya ampun Suster Risa,” kejutku saat mendapati Suster Risa duduk di bangku yang tidak jauh dariku.
“Hehe … maaf, Dok. Ayo, kita pulang.”
***
Setelah tiba di rumah, aku langsung membersihkan diri. Naik ke kasur dan membawa ponselku.
Aku mengerutkan keningku melihat deretan pesan dari Aa’ yang intinya dia merekomendasikan tempat tinggal baru untukku.
Dengan cepat aku menghubunginya.
“Aa’ … belum dipesan ‘kan, kosannya?”
“Saya menunggu jawaban kamu.”
“Nggak usah dulu, deh. Aku nanti di bantu Teh Risa, dia warga di sini—perawat di rumah sakit tempatku. Dia mau rekomendasiin rumah saudaranya.”
“Rumah?”
“Eh, rumah. Kosan maksudnya.”
Hening. Karena khawatir dia tersinggung, aku meminta persetujuannya.
“Boleh nggak Aa’?”
“Silahkan. Kalau begitu saya minta Rey sewakan mobil untukmu.”
“Heh, mobil? Ngapain?”
“Transportasi tentu saja.”
Kali ini aku menolak mentah-mentah. Aku menjauh dari jangkauan Papa untuk menghindari fasilitas begini. Eh, malah dia cosplay jadi Papa.
Aku menolak sekalipun aku mendengar desak kesal dari seberang sana meski samar, ku tahu dia kecewa.
Daerah tempatku bukan desa tertinggal, di sini ramai penduduk hanya saja akses jalannya yang kurang memadai. Tetap ada yang mengendarai mobil, tapi tidak ramai. Lagi pula kosan yang di maksud Teh Risa sangat dekat dari rumah sakit.
Sambungan telepon kali ini berakhir dengan sangat kaku. Mau bagaimana lagi kedua sarannya tidak bisa aku terima.
***
Aku sudah mengabari Aa’ kalau aku pindah kosan. Seminggu di home stay dokter, aku memutuskan untuk pindah. Lingkungannya bersih juga nyaman dan tentunya aman. Setelah malam itu, aku juga sudah mengirim foto kos baru kepadanya dan dia tetap setuju.
Hanya kurangnya di sini, aku semakin jauh dari pantai. Padahal aku sudah berencana akan jalan sendiri ke pantai saat senggang.
Sejak hari itu Aa’ kembali bersikap dingin. Pesan singkatku dibalas sesempatnya, telepon juga menjawab seadanya.
Mulai hari ini, sudah bergabung dengan tim IGD dan aku bersama dengan Bara. Kami semakin karib, Bara sangat pintar dan cekatan. Seringkali dia membantuku di saat aku kurang mengerti.
“Katanya malam minggu ini ada pasar malam, mau pergi, nggak?”
“Kamu tanya aku?”
“Nggak, tanya Teh Risa. Ya, tanya kamulah, Neng.”
Perawat yang berada di nurse station tertawa melihat kami.
“Jangan ajak aku, ajak Teh Risa saja. Aku tidak suka pasar malam.”
Bohong, mana mungkin tidak suka. Tempat hiburan adalah yang paling menyenangkan, tapi aku tidak berniat pergi berdua Bara. Lebih baik aku pergi sendiri.
“Aku selalu ditolak, Teh. Tidak tahu dia yang mengantri jalan denganku banyak,” ucapnya sombong.
Aku hanya memeletkan lidah ke arahnya tak ingin banyak bicara. Gemas dengan sikapku dia mengacak rambutku.
“Anak poli pada jodohin Dokter Bara dengan Dokter Nada, loh,” ujar seorang perawat.
Aku menjeling malas ke arah mereka sedangkan Bara tersenyum tersimpuh.
“Jangan bilang kamu sudah punya pacar Nada. Putusin aja, sini sama aku—aah … Nada … sakit!”
“Aku sudah punya suami,” jawabku setelah mencubit lengan Bara. Semua yang berada di nurse station saling memandang, terdiam dan tertawa bersamaan.
“Kok, pada ketawa?”
“Jangan bercanda, Sayang, tidak lucu.”