PART 5

1502 Words
“Kau tak layak untuk putriku, Dave. Kau harus ingat siapa dirimu dan dari mana kau berasal.” Tuan Kenned Jhonson mengatakannya dengan suara lantang dan suara penuh penekanan, membuat Dave pun mengatupkan rahangnya dan menatap nanar laki-laki paruh baya itu. “Saya tidak akan pernah lupa akan hal itu, Tuan Jhonson. Hanya saja, apa yang kami rasakan adalah sebuah kenyataan. Kami saling mencintai dan akan tetap seperti itu, karena cinta tidak pernah salah,” sahut Dave tak kalah lantang dan cepat, sampai-sampai dadanya pun terlihat kembang-kempis. Dave menatap Kim dengan tatapan penuh harap, bahkan manik matanya yang berwarna abu-abu dan selalu menjadi kesukaan Kim itu, kini terlihat lebih keruh dari sebelumnya. “Kau tidak akan pernah bisa membahagiakan putriku, karena kau hanya—” “Ayah!” peki Kim memotong kalimat sang ayah. Napasnya memburu, melempar satu tatapan kecewa untuk ayahnya, “Aku mencintainya, dan aku—” “Tutup mulutmu, Kim!” bentak Tuan Kenned Jhonson kala itu dan air mata Kim pun langsung berjatuhan. Ia merasa napasnya tersekat dan kesakitan untuk menelan salivanya sendiri. “Saya akan segera membuktikannya pada Anda, Tuan Jhonson. Jika—” “Omong kosong!” potong Tuan Kenned Jhonson yang sukses, membuat bola mata Kim dan Dave melotot, bahkan ia juga menarik lengan putrinya, mencengkeram dengan kuat. “Dave ...” desis Kim dengan wajah basah air mata. Dave menatap istrinya dengan pandangan terluka. “Anda salah jika berpikir apa yang kami miliki hanya sekedar main-main, Tuan Jhonson.” Kedua laki-laki kesayangannya saling bertatapan dengan tajam. Kim tak pernah melihat Dave semarah itu. Wajahnya merah padam dan ia merasa suaminya siap meledak, sedangkan Tuan Kenned Jhonson tampak angkuh dan sombong. Ia menatap Dave dengan tatapan merendahkan, senyum miring dan seringai yang tak pernah Kim lihat sepanjang di usianya. Ya, Kim merasa dirinya benar-benar tak mengenali ayahnya. “Trevor! Bawa Kim ke dalam mobil!” perintah Tuan Kenned Jhonson dengan suara mengelegar. “Tidak, Ayah! Tidak!” teriak Kim ketika telapak tangan lebar Trevor meraih bahu dan juga menariknya, “Lepaskan! Cepat lepaskan tangan sialanmu dari tubuhu, Trevor!” tambahnya meracau sembari berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman tangan Trevor malah membuat usaha Kim menjadi semakin tak berarti. Trevor membawa dan memaksa Kim masuk ke dalam mobil, lalu setelahnya, semuanya terasa begitu menyakitkan. Teramat sakit dan belum terobati sama sekali. “Selamat siang, Nona. Apa Anda ingin minum kopi? Teh? Em, atau minuman lainnya?” tanya wanita cantik yang tak lain adalah pramugari maskapai penerbangan yang Kim naiki. Sang pramugari berada tepat di samping Kim dan membungkukan sedikit tubuhnya ke arah wanita tiga puluh dua tahun itu. Tak urung, Kim pun terlepas dari lamunan panjangnya dengan kedua kelopak mata yang mengerjap. “Ya,aku ingin kopi. Terima kasih, Miss,” jawab Kim setelah kesadarannya kembali pada tempatnya. Mungkin dengan sedikit kafein yang masuk dalam aliran darah, Kim merasa hal itu bisa membantu kerja otaknya untuk tetap bisa berpikir dengan baik dan benar. Pertemuan Kim dan Dave benar-benar akan terjadi dalam beberapa jam lagi. Seiring itu juga masa lalu mereka berdua, menyeruak dalam kepala Kim, terasa meletup-letup, bahkan sialnya ia tak dapat menyingkirkannya dengan cepat. “Ini kopi yang Anda inginkan, Nona,” ucap wanita pramugari itu sembari menyodorkan secangkir kopi yang masih mengepul kehadapan Kim, lengkap dengan sendok kecil, sebungkus gula dan selembar tisu. “Terima kasih,” kata Kim dan ia membalas dengan senyuman yang lebar sebelum beranjak pergi ke penumpang lainnya. Kim pun menghela napas Panjang dengan susah payah dan menghembuskannya keras-keras. Ia melirik ke sisi kanan dan kiri dari deretan kursi penumpang yang berada sejajar dengannya. Mereka tampak sedang menyibukkan diri masing-masing selama perjalanan menuju ke New York. Kim lantas menyeruput kopi dalam cangkirnya, meresapi rasa pahit ketika mengenai lidah, sebab ia telah menyingkirkan gula dalam bungkusan yang diberikan. Kim sangat menyukai kopi tanpa gula dan betapa ia begitu merindukan nikmatnya kopi dari perkebunan. Dulu, Dave selalu membawakannya setiap mereka bertemu secara sembunyi-sembunyi. “Ah, kenangan itu. Entah sampai kapan semuanya akan hilang dari isi kepalaku ini,” batin menghela napasnya, lagi, lagi dan lagi. *** Kim kini telah berpijak di tengah bandara, melangkah melewati pemeriksaan dan yang mengejutkan, saat namanya tertera di deretan penjemputan. Kedua bola mata Kim pun membulat sempurna, menatap seorang pria berjas rapi dengan tubuh yang tegap berada di tepian antrean dan memegang papan bertulis nama lengkapnya, Kimberly Rosemary Jhonson. Hal tersebut membuat langkah Kim berhenti untuk beberapa detik dan pria itu menyadari keberadaannya di sana. Mereka pun saling bertatapan dan ia bergeser ke arah jalan penumpang keluar, sementara Kim berusaha untuk melanjutkan pergerakkan, mendekat padanya. “Apakah Anda adalah Nona Jhonson?” tanya pria itu saat jarak di antara mereka sudah semakin berkurang. “Ya, Anda benar. Maaf, Anda—” “Tuan Stanton yang mengirim saya untuk menjemput Anda, Nona. Perkenalkan namaku Edy Murphi. Saya yang akan mengantar Anda bertemu dengan Tuan Stanton.” Pria bernama Edy menjelaskan segalanya dengan panjang lebar. Suaranya terdegar jelas dan Kim tersenyum usai kalimatnya selesai. “Anda bisa menunggu sebentar di sini, Nona. Saya akan mengambil mobilnya sekarang juga,” ucap Edy lagi dan Kim hanya bisa mengangguk. Edy berbalik, tetapi baru berjalan dua langkah, ia kembai berhenti, berputar untuk menatap Kim, “Koper Anda biar langsung saya masukan ke mobil jika—” “Ya, silahkan,” sahut Kim memotong. Edy pun mendekat dan menganbil koper beroda milik Kim, lalu berjalan meninggalkan wanita itu di tengah keramaian. Apa yang dilakukan pengacara Dave membuat Kim cukup terkejut. Mengirim seseorang untuk menjemput dirinya, seakan memastikan ia benar-benar datang atau tidak. Rrasanya terlalu berlebihan baginya. Sebuah mobil Range Rover berwarna hitam metallic, berhenti tepat di depan Kim. Kaca mobilnya pun depan sedikit diturunkan, menampakkan sosok Edy yang berada di balik kemudi. “Silahkan, Nona.” Kim mengangguk dan membuka pintu belakang. Jantung wanita berambut cokelat keemasan itu, tiba-tiba saja berdetak lebih hebat dari sebelumnya. Ia merasa kota New York tak pernah mati, terus berdenyut siang dan malam. Kesibukan orang-orang yang membawa kota ini menjadi tampak seksi untuk lembar-lembar dolar. Gedung-gedung pencakar langit, kesibukan yang menjadikan dunia seakan berlalu dengan begitu cepat. Edy menurunkan Kim dan kopernya tepat di sebuah lobi gedung perkantoran. Ia tak langsung melangkah masuk, melainkan mengamati bagian depan gedung dengan lobi yang besar. Di meja kayu berukuran sedang itu, terdapat dua orang pria bertubuh tegap, lengkap dengan alat pemeriksaan keamanan, dan Kim juga melihat seorang wanita di balik sebuah meja marmer, berpenampil menaril bersama rambut panjangnya yang dicepol ke atas. Kim metarik napas, memasukan sebanyak mungkin oksigen ke dalam rongga dadanya dan menghembuskannya dengan pelan, lalu melangkah masuk. Melewati pemeriksaan, pada akhirnya Kim diarahkan untuk menukar kartu identitasnya dengan sebuah kartu akses. Namun, semuanya berubah dalam sekejap, usai si wanita penerima tamu itu menerima satu panggilan telepon. “Anda bisa langsung saja menggunakan lift yang berada di paling ujung itu, Nona. Ini kartu aksesnya untuk Anda.” Tentu saja Kim menjadi terkejut dengan kedua mata yang membuatnya menatap wanita di hadapan dirinya. Tak ayal, sang resepsionis pun menatap balik dengan terheran-heran. “Tuan Stanton sudah menunggu Anda di sana, Nona. Silakan” imbuh wanita resepsionis itu. Kim pun tersenyum dan melangkah menuju ke pintu lift. Suara ding! Dilanjut dengan pintu lift yang terbuka, kini langkah Kim terasa semakin jauh. Keluar tepat di depan pintu kaca ganda, seorang pria membukakan pintu untukku dan dengan pergerakkan anggun Kim masuk ke dalamnya. Sekali lagi netra biru langit milik Kim itu, terbelalak saat mendapati tulisan besar pada dinding tepat di belakang meja penerima tahu. Tulisan yang berwarna keemasan, huruf kapital besar dengan pencahayaan yang membuat orang dapat membacanya dengan jelas. “Brown Corporate,” desis Kim dan ia sedang tidak salah membaca. “Ya Tuhan,” tambahnya dengan tatapan mata yang masih tertuju pada tulisan itu. Kim merasakan napasnya berhenti di tenggorokan, bahkan ia seperti lupa bernapas nyaris kurang lebih lima detik lamanya. “Aku sangat mencintaimu, Kimberly Rosemary Jhonson. Kau tahu itu dan kau pun mencintaiku, sama besarnya. Aku akan membuktikan semua keraguan Ayahmu padaku, Kim. Suatu saat nanti kau akan melihat apa yang dapat aku berikan padamu.” Kalimat Dave di suatu senja pada pertemuan mereka yang seakan menjadi sebuah janji tak tertulis. Janji pada diri sendiri, janji pada kehidupan yang terus berjalan hingga detik ini. Entah untuk ke berapa kalinya, Kim terus saja terjerembab dalam dunia di isi kepala, hingga tak menyadari kehadiran sesosok pria di belakangnya. “Kim.” Jantung Kim seakan berhenti berdetak. Ia terdiam, mengenali suara dari balik punggungnya. “Kaukah itu?” Orang itu kembali bertanya dengan suara yang sampai detik ini, belum bisa untuk Kim lupakan. Kim pun menghela napas sepanjang yang ia bisa, sebelum dirinya berputar di atas tumit wedges setinggi tujuh sentimeter, dan manik mata kami bertemu. “Dave.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD