“Angkat, Tuan Brown Yang Terhormat! Aku tidak akan bersuara!”
Deg!
Mendengar kalimat sinis itu, Dave merasa semakin bodoh dan t***l di waktu yang bersamaan. Dering ponsel yang semakin keras membuatnya tak punya pilihan, terlebih saat ini Kim tengah menatap tajam ke arahnya.
Hanya dua kata yang keluar dengan sedikit terbata-bata, “Ha..halo, Sasha?”
“What? Kau bilang aku Sasha? Kau memanggil namaku begitu saja, Honey?” Namun, berhasil memutus sejumlah pikiran aneh milik Dave, karena menurut Sasha tunangannya itu sudah melakukan satu kesalahan akibat melanggar perjanjian yang mereka buat dan sepakati.
Berpura-pura bodoh, Dave segera meralat ucapannya dan kembali berkata-kata, “Ah, maaf. Honey ... Ya, ada apa, Honey? Aku ada di jalan menuju ke tempat meeting yang sudah dijanjikan klien dari Kuwait kemarin.”
“Begitukah? Lalu mengapa kau menghubungiku, mengajak makan dan ingin menjemput tadi? Apa ada yang salah denganmu hari ini? Apa tidurmu belum cukup, Tuan Brown Yang Terhormat?”
“Hahahahahaha ...”
“Honey, kau menertawakanku? Memangnya apa yang lucu?”
“Tidak, Honey. Aku hanya teringat seseorang ketika mendengar kau memanggilku dengan nama Tuan Brown Yang Terhormat.” Dengan sigap Sasha pun membalas ocehan Dave, menciptakan kekehan tawa dan juga beberapa sambungan kalimat lainnya.
Tentu saja hal tersebut tak lepas dari pandangan mata Kim, sebab Dave menekan ikon pengeras suara ia menerima panggilan telepon dari Sasha tadi. Wanita yang baru tiba dari Texas itu tidak tuli, bahkan ia bisa merekam jelas semuanya.
“Benarkah Dave memang sudah bahagia? Perasaan sialan apa ini? Jangan katakana kau sedang cemburu padanya, Kimberly Rosemary Jhonson? Jaga kewarasanmu dan berhentilah menerka-nerka!” batin Kim mengingatkan dirinya sendiri.
Nyaris Tujuh menit menunggu, nyatanya Dave dan Shasa masih saja terus berbicang-bincang dengan sejumlah kalimat menyebalkan bagi Kim.
“Astaga! Dia tertidur, Greg?”
“Begitulah, Tuan. Mungkin kelelahan berada di dalam pesawat tiga lebih.”
Namun, pada menit yang ke delapan Kim terlihat begitu nyenyak di mata Dave. Ia tertidur pulas, lengkap dengan mulutnya yang sedikit terbuka.
“Dia benar-benar tidak berubah. Tidur di mana saja sesuka hati, keras kepala dan sekarang malah berubah menjadi semakin cantik,” gumam Dave yang masih bisa di dengarkan oleh Greg.
Sedikit banyak, dugaan yang sejak tadi ada di isi kepala sopir pribadi Dave itu mulai menemukan titik terang, “Jadi, Tuan? Apakah kita sekarang kita pulang ke apartemen?”
“Ya, Greg. Pulang saja. Kim sudah tidur dan mungkin kau memang benar. Dia kelelahan akibat ulahku yang sedikit memaksanya untuk datang dari Houston ke New York.” Greg merasa Kim adalah wanita dari masa lalu Dave, tetapi ia tidak berani bertanya, karena memang dirinya tak punya kepentingan satu pun di sana.
***
Kim merasa benar-benar terkejut saat mobil yang dikemudikan Greg sudah berhenti di lobi Woolworth Tower Residences, bangunan mewah yang menjulang tinggi, nyaris mencakar langit.
Kim merasakan lupa diri untuk beberapa detik begitu kakinya berpijak di atas lantai marmer, meyakinkan bahwa ia sudah terbangun dari tidurnya di atas mobil Dave beberapa saat tadi.
Seorang pria segera menyambut kehadiran mereka berdua dengan sebegitu ramah, menyapa dan Kim hanya bisa mengangguk seraya menghela napas panjang.
“Kim,” Dave memanggil Kim, menyuguhkan telapak tangannya di hadapan wanita itu.
Kim tak langsung merespons, terlihat bingung dan seakan baru sadar dari pikirannya. Ia melirik Dave dengan tajam, setelah mendapati uluran telapak tangan.
“Ayolah, kekasihmu tidak ada di sini,” sindir Dave dan dengan tidak sabar ia menyambar telapak tangan Kim, membawanya memasuki lobi yang berukuran sangat luas di hadapannya.
Jemari keduanya saling bersilang dan Dave tersenyum penuh kemenangan, saat ia merasa tak ada perlawanan dari Kim selama keduanya meluncur ke lantai atas.
“Kau benar-benar cantik, Baby girl,” batin Dave saat pandangan matanya mendapati Kim yang larut dalam lamunan. Ia merasa puas melihat wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu dari pantulan pintu lift.
Kim bergerak gusar, merasakan jemarinya yang bersilang dengan jari-jari Dave. Aroma tubuh laki-laki di sampingnya ini tetap sama, bahkan tak jauh berbeda dengan caranya menciumnya beberapa menit yang lalu.
Meski sempat merasa terbakar saat mencuri dengar percakapan telepon Dave dan Shasa, perlakuan romantis yang ia terima secara langsung seperti itu, membuat rasa kesal menguap perlahan-lahan.
Kim menelan saliva dengan susah payah, merasakan hawa panas hadir dari kedua pipi. Debaran jantungnya seakan terlepas, saat menyadari Dave sedang menatapnya dari pintu lift, meski beberapa saat kemudian pria itu memalingkan wajahnya ke sembarang arah.
“Kau terlambat, Dave. Aku sudah melihat apa yang kau perbuat tadi,” batin Kim terkekeh keras dalam hati, mati-matian mengatup bibirnya untuk tidak membuat seulas senyuman.
Ding!
Tak lama kemudian, denting pintu lift pun terdengar. Keduanya berjalan meninggalkan kotak besi itu dan Kim merasa kemewahan yang semakin nyata di depan pandangan matanya. Ia berpijak di atas karpet mahal, bahkan dinding sepanjang perjalanannya menuju ke unit milik Dave dihiasi lukisan yang indah.
Pintu yang dituju, ternyata letaknya tak jauh dari lift.
Jemari Dave menekan beberapa tombol yang terpasang pada pintu dan terbuka setelahnya.
“Silahkan,” ucap Dave memberi jalan lebih dulu pada Kim.
Pandangan mata keduanya sempat bertemu dan Kim melangkah masuk dengan ragu. Mata indah berwarna biru laut itu pun membulat dan langkahnya terhenti, mendapati ruangan luas terhampar. Nuansa yang seakan menariknya pada kisah masa lalunya bersama Dave, ketika mereka masih berada di perkebunan milik keluarga Jhonson.
“Aku harap kau menyukainya dan—”
“Kau menata apartemenmu seperti sketsa rancangan yang aku buatkan untukmu dulu, Dave?” potong Kim dengan sebuah pertanyaan, membalikkan tubuh menghadap ke tempat di mana Dave berdiri.
Keduanya saling menatap, merasakan gemuruh tak yang tidak bisa dikeluarkan oleh pita suara mereka masing-masing, bahkan dunia seakan berhenti saat itu juga.
“Apa kau sengaja melakukan ini padaku, Dave?” tanya Kim dengan suara bergetar.
Dave merasa Kim begitu marah padanya, karena kini wajah wanita itu tiba-tiba saja berubah menjadi kesal. Namun, semua itu memang benar adanya.
Apa yang Dave perbuat adalah bentuk dari sebuah kerinduan, berubah menjadi pengharapan besar, bahwa suatu saat mereka dapat kembali bersama dan hidup bahagia.
Desain interior apartemen bergaya klasik modern dan mengusung warna abu-abu pastel sebagai pemeran utamanya, memang impian seorang Kimberly Rosemary Jhonson. Tak akan bisa Dave Michael Brown lupakan ketika ia mengetahui alasannya, apalagi jika bukan karena netra miliknya yang sejak kecil disukai oleh si wanita berambut cokelat emas itu.
Pada akhirnya Kim benar-benar kembali ke hadapan Dave dan bisa melihatnya lagi secara langsung. Namun, pertemuan itu bukan untuk satu komitmen tentang meraih sebuah kebahagiaan, melainkan demi selembar surat cerai akibat pembatalan pernikahan yang tidak terjadi sama sekali saat Mendiang Kenned Jhonson masih hidup.
“Kau b******k!” sembur Kim beranjak pergi, tetapi kalah cepat dengan Dave yang sudah menyambar lengannya.
Kim kini terjebak dalam pelukan Dave, bersandar di sisi depan dinding kaca dan benar-benar terkurung dengan kedua lengan yang kokoh.
“Berhentilah dengan sikap menyebalkanmu, Kim,” geram Dave menatap ke dalam mata biru langit itu penuh hasrat, tetapi Kim tidak begitu.
“Kau yang sangat menyebalkan, Dave. Kau memang pria b******k!”
“Kau marah padaku sejak kita berdua turun ke di lobi kantorku, Kim!”
“Dan kau bersikap konyol dengan sibuk bermesraan di ponselmu. Apa yang kau harapkan, huh? Demi Tuhan! Ini sangat gila!”
Kim merasa kesal dan sedikit mendesak. Namun, seharusnya ia tidak menunjukkan hal itu sekarang, di depan Dave yang langsung mengganti mimik tergasnya dengan seulas senyum miring.
“Kau cemburu, Baby girl?”
“Sialan, jangan panggil aku dengan sebutan itu!” maki Kim. Ia berusaha menyelinap dari bawah lengan Dave untuk bisa melepaskan kungkungan tersebut
“Hemph!” Namun, saat itu juga Dave langsung menarik Kim kembali dan menciumnya dengan rakus.
Ya, entah untuk ke berapa kalinya dalam hari yang sama, Dave terus saja memberanikan diri untuk melepaskan satu demi satu kerinduanya.
Bibir Dave yang sengaja ia miringkan di atas bibir Kim, membuat wanita itu mau tak mau harus menyentuh dadaa bidang di depannya dengan telapak tangan.
“Baby girl ...” Membuat Dave mengerang dan berdiri membungkuk di atas Kim, tetapi mulut keduanya tetap saling menempel di sana.
“Hemph!” Sementara gerakan baru yang Dave ciptakan, sukses membuat Kim merasa tersentak, tak dapat berbuat apa-apa.
Mulut Dave yang penuh gairah bergerak menuruni leher Kim dan telapak tangannya juga begitu, tertempel di depan gundukan dadaa dan menangkupnya dari balik gaun bermotif Bunga tersebut.
“Dave,” desis Kim saat bibir Dave melepaskannya, menyisakan napas yang kembang kempis.
Jemari Dave telah berada di punggung Kim, menarik pelan ritsleting gaun yang membungkus tubuh mungilnya.
“Kau masih milikku, Baby girl,” ungkap Dave dengan mata berkabut gairah, meloloskan gaun itu hingga ke bawah lantai. Ia kembali menangkupkan telapak tangannya di depan gundukan dadaa yang juga tidak terbungkus apa-apa lagi, bahkan ujung jarinya pun turut serta membelai kulit halus Kim.
“Dave ...” erang nikmat Kim ketika lidah Dave membelai puncak dadanya, merubah menjadi keras dan juga tegang.
Dave ... kumohon ...” Gigi-gigi Dave juga mengigiti kulit kencang Kim dengan gerakan ringan, hingga wanita itu merasakan dirinya terbakar gairah.
“Aku merindukan dirimu memanggil namaku, Baby girl.”
Dave menyurukkan kepalanya pada belahan dadaa Kim, menghirup aroma permen yang menguar dari tubuh mungil yang begitu ia dambakan.
“Kau selalu manis, Baby,” desah Dave sebelum mengulum puncak dadaa Kim bergantian dengan isapan keras dan dalam. Kenikmatan menghujam Kim dan sekujur tubuhnya menegang kerena belaian yang diberikan pria itu.
“Kim, aku menginginkanmu, di sini, sekarang!” Dave bergerak di perut Kim, menjilat, membelai dengan gerakan yang sangat lembut dan mengerang gila di sana.
Dave kembali menatap Kim. Keduanya bersirobok dengan gairah yang tidak lagi mereka sembunyikan.
“Aku ...”
Kalimat Dave menggantung dan jarinya masih berada di nipplee Kim, menggerakkannya dengan lembut hingga wanita itu sudah payah menahan gairah dengan menggigit bibirnya.
“Bercintalah denganku, Baby,” ucap Dave sebelum ia kembali mencium Kim dan kali ini perlawanan apa pun seakan sia-sia belaka.
Keduanya saling melumat dan tanpa menunggu, Kim sudah mengalungkan lengannya di leher Dave. Dunia seolah berhenti, meninggalkan mereka dalam perasaan mendamba hingga suara ponsel di dalam saku berdering kencang dan menghentak pasangan itu.
“Ponselmu,” desis Kim saat ciuman Dave jatuh di daun telinganya, tetapi laki-laki itu acuh dengan ponselnya, memilih untuk terus menjelajah setiap inci kulit wanita kesayangannya.
Dering-dering panjang musik rock hingga beberapa detik masih saja terdengar, sebelum disusul suara bel dari arah pintu hunian mewah tersebut. Untuk hal yang satu itu, kewarasan Kim kini kembali muncul, membuatnya secepat kilat mendorong tubuh Dave.
“Honey-mu menelepon,” ucap Kim dengan perasaan bercampur aduk.
Keduanya bertatapan mata dengan binar tidak terbaca, pun kabut gairah yang belum sempat dituntaskan sama sekali. Suka tidak suka, pada akhirnya Dave mau menerima ponselnya dari tangan Kim.
“Dave, aku di depan pintu unit apartemen. Bisa kau membuka pintu sialan inni untukku, Honey.” Suara Sasha di ujung ponsel, membuat Dave terkejut dan bola matanya nyaris terpelocok.
Dave tak menyahut dan Kim langsung bergerak untuk merapikan gaunnya. Dia berbalik dan menyuguhkan punggungnya yang terbuka.
“Tolong naikkan ini dulu,” pinta Kim pada Dave untuk menarik retsleting gaunnya kembali.
Kim berbalik menatap Dave lagi setelah laki-laki itu selesai melakukannya, mengulurkan ujung jari telunjuknya dan menghapus noda merah lipstik yang tertinggal di bibir.
Dave terperangah menyaksikan Kim berjalan menuju ke pintu apartemennya sambil merapikan tatanan wajah, menyisir rambut yang acak-acakan, tetapi membiarkannya tetap tergerai.
Kim menghela napas panjang dan melirik ke arah Dave yang sudah tampak seperti semula, sebelum ia menarik pegangan pintu utama di unit apartemen itu.
Sasha Stephanie William yang menjadi tunangan Dave Michael Brown, benar-benar berdiri di sana.
Sasha adalah sosok wanita cantik dengan kulit seputih s**u, di mata Kim. Berambut merah dalam balutan gaun polos berwarna putih gading yang membungkus tubuh langsingnya siang itu. Bibirnya pun merona merah menyala, tetapi bola matanya membulat sempurna saat mendapati wanita lain muncul dari balik pintu.
“Kau?!”
Kim hanya bisa terus saja menenangkan degupan jantungnya, memasang tersenyum lebar dan melirik Dave dari balik bahunya.
“Honey, kau datang dengan siapa?” Namun, tidak pada Sasha, yang sudah memicingkan kelopak matanya, menatap Kim dan Dave secara bergantian dengan wajah penuh kecurigaan miliknya.