10. Murka

1417 Words
Raya berdiri di depan, sesekali menatap peserta rapat dan kembali fokus pada cahaya yang dipancarkan proyektor. Saat ini, dia sedang menjelaskan proyek pembangunan baru hunian idaman semua kalangan usia. "Bagaimana? Ada yang ingin menambahkan atau sekedar ditanyakan?" Raya menatap satu per satu peserta rapat. Rapat kali ini Raya yang memimpin karena ayahnya masih kurang sehat dan sang kakek juga berhalangan hadir. "Saya rasa ini sudah cukup. Beberapa poin yang ditambahkan sudah sangat bagus dibanding hunian yang kita bangun sebelumnya." "Baik. Ada yang lain? Pak Arya, bagaimana menurut Anda?" tanya Raya pada sang adik. Sebelum hunian itu dipasarkan, Raya harus memastikan pendapat semua orang. Setidaknya tidak akan menjadi masalah jika mungkin ada kekurangan, meski dia sudah menyiapkan materi itu dengan sangat matang. "Mungkin Nona Senja ingin menambahkan?" Arya melempar pertanyaan sang kakak pada Senja. Seluruh penghuni ruangan langsung menoleh ke belakang di mana Senja berdiri. Mereka cukup penasaran dengan nama asing yang tiba-tiba disebut dalam ruang rapat. "Sa-saya?" tanya Senja terkejut. "Ya. Saya ingin tahu bagaimana pendapatmu tentang hunian baru yang akan kami bangun," sahut Raya menimpali. Wanita itu tersenyum dengan raut tidak sabaran. Dia ingin tahu seberapa hebat Senja dilihat dari kualifikasi yang tertera. Apa benar Senja sehebat itu atau hanya tulisan semata. "Tapi, Bu, sa--." Ucapan Senja terpaksa terhenti karena melihat anggukan dari Raya. Dia merasa bosnya percaya bahwa dirinya mampu. Jika tidak, sepasang kakak dan adik itu tidak akan menunjuknya. Apalagi saat ini di ruangan itu terkumpul orang-orang penting Lazuar Group. "Me-me-menurut saya akan lebih sempurna jika ditambahkan beberapa fitur." Senja menunduk dengan bola mata yang terus bergerak. Kedua sudut bibir Raya naik sempurna seolah berkata bahwa saat inilah yang dia tunggu-tunggu. Selama ini, semua sesepuh selalu mengiyakan desain hunian yang dia presentasikan tanpa memprotes atau sedikit menambahkan. Paling hanya Arya yang terkadang menambahkan sedikit. "Santai saja, Senja. Anggap saja kamu sedang berada di depan kelas untuk melakukan presentasi." Raya tersenyum memberi semangat untuk Senja. Senja menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan sebelum akhirnya berkata, "Baik, Bu." "Jadi, fitur seperti apa yang kamu maksud?" Raya ingin segera mendengar ide brilian Senja yang diyakini mampu menarik konsumen dalam jumlah ribuan. Senja beralih menatap Arya dan mendapat sebuah anggukan. "Kalau fitur otomatis seperti buka-tutup pintu, menyalakan atau mematikan lampu, dan lain sebagainya sudah biasa. Jadi fitur yang saya maksud adalah fitur yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan." Zaman sekarang, sudah banyak sekali orang yang menggunakan teknologi ini, bahkan di semua kalangan terutama anak muda. Orang dewasa pun banyak yang menggunakannya sekedar penghiburan diri. "Baik, lanjutkan." Raya ingin tahu teknologi buatan seperti apa yang akan Senja maksud untuk hunian barunya. "Tapi jangan marah ya, Bu. Takutnya apa yang akan saya katakan terdengar tidak masuk akal," pinta Senja dengan raut takut. Sejak pertama kali Raya mengajaknya ikut ke ruang rapat, Senja merasa suhu tubuhnya menurun. Dia merasa telah berpindah tempat ke Stasiun Penelitian Vostok di Antartika. Kini, dia benar-benar merasa berada di Antartika dan bukan sekedar ilusi. Bagaimana bisa di hari pertamanya bekerja langsung diminta untuk melontarkan pendapat? "Tidak masalah. Ini 'kan sesi di mana peserta rapat diizinkan untuk berpendapat. Bukankah sudah saya katakan sebelumnya kalau kami yang akan memutuskan? Jadi, katakan apa-apa saja yang ada di benakmu. Saya yakin semua orang di sini sudah tidak sabar ingin mendengar, termasuk saya." Raya beralih menatap setiap peserta rapat. "Benar begitu?" "Ya, benar. Kami sudah tidak sabar ingin mendengar kelanjutan ide dari Nona Senja," jawab salah satu peserta rapat. Semua orang merasa tertarik dengan ide yang Senja lontarkan. Fitur kecerdasan buatan akan membantu calon penghuni merasa diperhatikan. Apalagi fitur ini ditujukan pada anak muda. Senja mengangguk. Dia berusaha mengumpulkan keberaniannya dan mulai menjelaskan, "Buat hunian baru kita ini dengan teknologi kecerdasan buatan yang bisa berbicara dengan pemilik rumah." Tatapan semua orang tertuju pada Senja. Hal itu membuat sang empu merasa takut akan salah bicara. Meremas jemarinya kuat-kuat dan berusaha tenang. "Menarik. Bisakah kamu jelaskan lebih rinci lagi?" pinta Raya dengan raut berbinar. Jika hunian seperti itu ada, Raya yakin akan sangat diminati konsumen. Bahkan dia sendiri langsung berminat membeli meski belum mengetahui gambaran sempurnanya seperti apa. "Sebenernya saya tidak terlalu yakin, Bu," kata Senja sambil memainkan jemarinya. "Tidak apa-apa, katakan saja. Kami hanya ingin mendengar pendapatmu. Untuk bagaimana nantinya, kami yang akan memutuskan," sahut Raya meyakinkan. Ide yang Senja lontarkan terdengar sangat menggiurkan. Namun, Raya tidak bisa langsung memutuskan sebelum memastikan baik buruknya. Apakah akan menguntungkan perusahaan atau justru merugikan. "Misalnya, sapaan setiap pagi dan malam sebelum tidur. Menanyakan kabar dan hal-hal remeh yang bisa menghilangkan sepi. Akan tetapi, fitur ini hanya ditujukan pada penghuni single saja. Selain fitur ini, kita bisa gunakan fitur yang sebelumnya saya sebutkan seperti buka-tutup pintu yang bisa digunakan untuk semua kalangan usia," lanjut Senja. "Apa masih ada lagi?" tanya Raya memastikan. "Sudah cukup, Bu," jawab Senja. "Terima kasih, Senja, atas ide yang luar biasa ini. Beri tepuk tangan untuk Nona Mentari Senja yang sudah memberikan ide cemerlang dalam rapat kita kali ini," kata Raya sebelum akhirnya memulai menepuk tangan. Sontak, seluruh isi ruangan bertepuk tangan. Memberi apresiasi pada Senja yang memberanikan diri mengutamakan ide di kepala. Sementara sang empu, dia tersenyum sambil menghembuskan napas lega. "Sekarang, saya ingin bertanya pada seluruh peserta rapat. Menurut Anda, apakah ide yang Senja berikan bisa digunakan di hunian baru kita?" Raya tahu pasti bahwa biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih besar dari anggaran yang sudah dia tetapkan. Dilihat dari keuntungan yang akan diraih pun tidak main-main. Akan tetapi, dia tidak bisa memutuskan semuanya sendiri dan menunggu pendapat eksekutif lain. "Saya setuju," kata Arya mantap. "Apa yang membuat Anda setuju, Pak Arya?" tanya Raya ingin tahu. Tidak mungkin adiknya akan menyetujui rencana itu tanpa ada alasan apa pun. "Jika saya konsumen single, saya akan memilih hunian ini. Tentu saja karena tidak akan merasa sepi. Selain itu, saya tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk sekedar membuka pintu, menyalakan atau lampu ketika lelah pulang bekerja," jawab Arya menjelaskan. Dari pandangan Arya dan Raya, hunian baru yang akan mereka luncurkan dengan ide Senja bisa menggemparkan kota. Akan ada banyak konsumen yang saling berebut untuk memiliki hunian itu. "Tepat, saya juga merasa seperti itu." Raya menjentikkan jari membenarkan pendapat sang adik. "Yang lain, bagaimana?" Raya dan Arya berpendapat sama bukan berarti para eksekutif lain juga. Apalagi hampir semua dari mereka sudah menikah dan memiliki anak. "Saya setuju, tapi biaya yang dikeluarkan juga akan membesar." Dari anggaran yang telah Raya sebutkan, sudah padat sesuai dengan pengeluaran hunian baru itu. Namun, biayanya akan bertambah sekitar lima belas sampai dua puluh persen persen jika ditambahkan beberapa fitur yang Senja sebutkan. "Itu yang saya pikirkan, tapi saya yakin keuntungan yang akan diraih jauh lebih besar. Atau kalau tidak, kita buat hunian ini terbatas untuk seratus orang pertama. Jika permintaan meningkat, kita bisa tambah lebih banyak lagi. Bagaimana?" "Saya setuju." "Ya, saya juga setuju." Terlihat, tidak ada satu pun peserta rapat yang keberatan. Mereka terlihat tidak sabar ingin melihat hasil yang menurut Raya akan sangat menguntungkan perusahaan. "Baik, rapat hari ini sudah diputuskan dan cukup sampai di sini. Selamat siang dan selamat melanjutkan pekerjaan yang tertunda," ujar Raya mengakhiri rapat. Perlahan, semua orang mulai keluar ruang rapat. Kini, tersisa Senja, Arya, dan Raya. Mereka pun bersiap kembali ke ruangan mereka masing-masing. "Kerja bagus, Senja. Saya menunggu ide-ide brilian kamu selanjutnya," kata Raya memuji. Senja hanya tersenyum menunduk. Jujur, dia tidak menyangka hari seperti ini akan datang juga. Bekerja di perusahaan besar dan mengembangkan bakat juga kemampuannya. Ternyata, semesta yang dia pikir enggan berpihak, kini berdiri kokoh di sampingnya. Memberi kesempatan setelah dua tahun dicekal. "Gue duluan, Kak. Senja, saya duluan, yah? Selamat bekerja dan tadi itu luar biasa," kata Arya sebelum akhirnya melangkah pergi. Senja tersenyum malu dan manik mata Raya menangkapnya. Dia yakin, sebentar lagi akan ada kelopak bunga bertebaran. "Yuk!" ajak Raya. Senja mengikuti Raya dari belakang. Bertepatan dengan waktu istirahat makan siang tiba, Senja sampai di ruangannya. Dia melihat ponselnya menyala dan muncul beberapa pemberitahuan. Puluhan panggilan tak terjawab dan hampir lebih dari sepuluh pesan masuk. Pesan terbaru muncul yang bertuliskan, "Cepet keluar! Gue udah ada di depan dari tadi." "Ih, Abang Wala ngapain, sih? Ngeselin banget, deh," gumam Senja sewot. Senja pikir, dia akan terbebas dari Cakrawala setelah bekerja. Namun, tetap saja sama seperti ketika di rumah. Mengganggu lagi dan lagi tanpa peduli dirinya keberatan. "Cepet atau gue samperin lo ke dalem!" Lagi-lagi pesan baru masuk. Kali ini berisi ancaman dan membuat Senja langsung berlari keluar. Di depan lift menuju lobi, dia bertemu dengan Arya dan berbicara beberapa patah kata. Namun, Cakrawala sudah telanjur melihat dan terlihat murka. Entah apa yang akan pria itu lakukan kali ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD