6. Lepas Kendali

1130 Words
"Wala!" panggil Mahesa sambil menggertakkan gigi. Pria paruh baya itu tidak tahu apa yang ada di kepala putranya. Jalanan di sana lebar dan bagaimana bisa Cakrawala menabrak bahu Arya cukup keras? Jika tidak sengaja, sang putra harusnya langsung meminta maaf. Akan tetapi, Cakrawala langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Terlihat sekali bahwa apa yang terjadi memang disengaja, tetapi kenapa? Bukankah tidak ada yang salah dalam pembicaraan mereka? "Sudah, Pa, mungkin Wala memang nggak sengaja," kata Wulan menenangkan. Akhirnya wanita itu tahu maksud dari ucapan putra tirinya semalam. Lepas kendali yang dia maksud mungkin seperti yang dilakukan saat ini. Menyenggol bahu Arya secara terang-terangan tanpa merasa takut sedikit pun. "Maafkan Wala, Arya. Mungkin dia memang tidak sengaja atau memang ada yang salah dengan kepalanya," ujar Mahesa dengan perasaan kesal. "Tidak masalah, Om." Arya kembali menatap jam tangannya. "Ngomong-ngomong, apa masih ada yang ingin Tante Wulan katakan?" "Tidak ada. Tante cuma mau minta tolong itu saja," sahut Wulan mengulas senyum. Di sampingnya, Senja meremas ujung baju berusaha melampiaskan kekesalan. Namun, Wulan sama sekali tidak peduli karena sudah bertekad untuk menjauhkan Cakrawala dari putrinya. Jangan sampai ada hubungan asmara di antara kedua anaknya meski statusnya hanya saudara tiri. "Baiklah. Nanti jangan lupa kirim CV ke saya agar bisa langsung diserahkan ke kakak saya." "Pasti. Terima kasih banyak yah, Arya," sanggah Wulan bersemangat. "Kalau begitu, saya permisi, Om, Tante." Arya mengulurkan tangan menyalami Mahesa dan Wulan. Tidak lupa pula dengan menyalami Senja. Setelah itu, dia masuk mobil dan pergi. "Astaga! Wala ini benar-benar. Sebenarnya dia kenapa, sih?" Mahesa melangkah cepat meninggalkan Wulan dan Senja menuju mobil putranya. Detik itu juga, Mahesa harus meminta penjelasan dari Cakrawala. Apa yang terjadi beberapa saat yang lalu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Andai Arya orang biasa dan tidak terlibat kerjasama dengan nilai milyaran, mungkin hanya dengan meminta maaf sudah cukup. "Buka, Wala, buka!" Mahesa menggedor jendela mobil karena dikunci dari dalam. "Apaan, sih, Pa?" keluh Cakrawala setelah membuka pintu. "Kamu yang apa-apaan?! Maksud kamu apa nabrak-nabrak bahu Arya?!" tanya Mahesa geram. Bukannya merasa bersalah atas apa yang telah dilakukan, Cakrawala justru bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Kali ini, Mahesa benar-benar tidak bisa memahami putranya. "Wala nggak sengaja, Pa," sahut Cakrawala beralasan. "Terus, kenapa nggak minta maaf?" tanya Mahesa tidak habis pikir. "Perut Wala sakit banget, Pa, makanya tadi buru-buru masuk mobil." Cakrawala menyentuh perut dan berpura-pura kesakitan. Tidak ada alasan lain yang terpikir di kepala Cakrawala. Namun, dia yakin hanya dengan mengatakan perutnya sakit sang ayah akan langsung percaya. Tidak mungkin akan meragukan ucapannya, sedangkan sejak dulu dia tidak pernah berbohong. "Perut Abang sakit?" tanya Senja berpura-pura terkejut. Sejak pertama kali sang ibu membahas perihal pekerjaan dengan Arya, Senja sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Jadi, dia ingin memanfaatkan perbuatan menyebalkan Cakrawala. "Ayo kita ke rumah sakit, Pa, Ma. Kita naik mobil Abang aja biar nanti mobil Papa, Mang Simin yang urus." Jika mereka berempat berada dalam satu mobil, otomatis Cakrawala tidak akan berani berbuat macam-macam. Senja juga tidak perlu berduaan dengan kakak tirinya hingga membuat sesak. "Nggak perlu. Ini cuman sakit perut biasa. Paling sebentar lagi juga udah baik-baik aja," tolak Cakrawala. "Kamu serius?" tanya Mahesa memastikan. "Iya, Pa," sahut Cakrawala mengangguk. "Kalo nggak, Papa sama Wala ke kantor bareng aja. Jadi, biar Papa yang nyetir. Nanti mobil Papa mama yang pake sama Senja. Gimana?" Wulan menaikkan sebelah sudut bibirnya. Dia tahu apa yang terjadi dan tahu harus berbuat apa. Jika tidak bertindak sekarang, dia yakin Cakrawala akan melakukan kegilaan lain. Apalagi setelah apa yang dilakukan mengenai Senja dan Arya. "Ng--." Ucapan Cakrawala terpaksa terputus karena Mahesa menimpali secara tiba-tiba. "Ide bagus itu. Ya udah, ini kunci mobilnya." Mahesa menyerahkan kunci mobilnya pada sang istri. "Wala baik-baik aja, kok. Jadi, biar Senja Wala yang antar pulang. Papa antar Mama aja ke butik." Cakrawala tidak tahu kalau perbuatannya akan membuatnya dirugikan. Andai tadi bisa menahan diri sedikit saja dan tidak menabrak bahu Arya. Mungkin kebohongan tentang sakit perut tidak akan terlontar dan dia bisa bersama Senja lebih lama. "Senja dan Mama duluan ya, Pa, Bang." Senja sengaja mengabaikan Cakrawala, tidak peduli apa yang akan terjadi nanti. Dia meraih lengan ibunya dan menariknya ke mobil sang ayah. "Sial! Arya, b******k!" umpat Cakrawala dalam hati. Andai bukan karena Arya, mana mungkin akan terjadi hal seperti ini. "Turun, biar papa yang nyetir," kata Mahesa. Cakrawala pun berpindah ke kursi sebelah sambil menghembuskan napas kasar, sedangkan Mahesa masuk ke kursi kemudi. Kini, ayah dan anak itu bersiap pergi ke kantor. *** "Gimana? Udah kirim CV ke Arya?" tanya Mahesa di tengah makan malam mereka. Tadi pagi setelah sampai di perusahaan, Wulan menghubungi Mahesa dan meminta agar dia mengirim nomor telepon Arya pada Senja. Jadi, dia ingin memastikan apakah putrinya sudah mengirim berkas untuk melamar sebagai sekretaris direktur pemasaran di Lazuar Group atau belum. Sementara itu, Cakrawala menatap ayahnya terkejut. Menghentak-hentakkan sendok dan garpu ke piring tanda protes. Namun sayangnya, sang ayah sama sekali tidak paham. Hanya Senja dan Wulan saja yang memahami sikapnya. "Udah, Pa, tadi pagi. Arya bilang, malam ini dia bakal kasih kabar," sahut Senja sambil menatap sang ayah. Wanita cantik dengan senyum memukau itu melirik Cakrawala sinis. Sang kakak tiri menatap tajam seolah tatapannya bisa menusuk jantung. Namun, Senja tidak merasa takut sama sekali. Tidak seperti sebelumnya yang sedikit-sedikit langsung ketakutan ketika diancam. "Yang bener, Sayang?" tanya Wulan berbinar. "Iya, Ma, makanya Senja bawa handphone ke meja makan." Senja meraih ponsel di sisi kiri dan menunjukkannya pada sang ibu, "Ya ampun! Senja udah nggak sabar pengen buru-buru kerja," imbuhnya bersemangat. Tiba-tiba, ponselnya berdering dan dilayar terpampang nama Arya. "Nah, baru dibilang. Berhubung Senja udah selese makan, Senja mau ke kamar sekalian angkat telpon." "Iya, Sayang. Mama titip salam ya, buat Arya." "Siap, Ma." Senja bergegas keluar area ruang makan. Kini, tersisa Cakrawala, Mahesa, dan Wulan. Cakrawala sudah tidak bisa menahan diri lagi. Napasnya memburu dengan raut memerah. Dia membanting sendok ke piring dan berdiri. Mahesa dan Wulan menatap Cakrawala terkejut. Baru saja Mahesa ingin membuka suara, Cakrawala sudah lebih dulu berbicara. "Wala udah kenyang," ujarnya dingin sambil melangkah pergi. Dengan langkah besar, Cakrawala menuju lantai dua. Dia ingin melampiaskan kekesalannya pada Senja karena telah mengabaikan peringatannya untuk menjauhi Arya. "Oh, jadi besok pagi saya sudah langsung bisa bekerja?" Bertepatan ketika Cakrawala membuka pintu, Senja berbicara di telepon sambil tersenyum senang. Hal itu membuat kemarahan pria itu memuncak. Menutup pintu dan menguncinya. Lalu, melangkah mendekat dan mengangetkan pemilik kamar. "Apa lo lupa apa yang gue bilang semalem, Senja?!" tanya Cakrawala menggelegar. "A-abang?" Senja terkejut dengan suara terbata. Tangannya diturunkan dengan ponsel yang masih dalam genggaman, bahkan lupa menutup panggilan. "Kalo lo nggak mau denger, gue bakal bikin dia kayak cowok yang berani deketin lo. Atau gue bisa ngelakuin hal yang lebih parah dari itu. Gue bakal bunuh Arya tepat di depan mata lo," ancam Cakrawala menunjuk-nunjuk Senja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD